Sinar matahari yang masuk dari selal-sela ventilasi membangunkanku secara paksa. Belum lagi suara-suara keributan dari kamar sebelah yang membuatku mau tidak mau harus terbangun. Setelah keributan di kamar sebelah, aku mendengar suara Alan dari luar kamar, memanggil-manggil nama Alex.
"Alex! Alex!"
Alex masih sangat nyaman dengan tidurnya, sementara jika aku yang membuka pintu, maka Alan akan berpikir macam-macam karena aku berada di kamar Alex di pagi hari seperti ini. "Alex!" panggilku dengan berbisik ke telinganya, lalu melihat tempat ini sejenak. Meskipun harus bersembunyi dari Alan, tempat ini terlalu sempit untuk ide bodoh itu, jadi kuurungkan saja untuk bersemubunyi. Lagipula Alex hanya bergerak sedikit lalu tertidur lagi. Sialan!
Aku membuka pintu dan segera menampakkan wajah Alan yang sedikit kesal sekaligus terkejut secara bersamaan. Ia mengatakan, "Hey, Laura? Kenapa berada di —"
"Alex masih tidur. Kami tidak melaku—. Frans..."
"Ya—ya, aku tahu, aku mengerti..."
"Kau tahu rumahku cukup jauh dari kota, kan?" Alan mengangguk-angguk untuk menunjukkan bahwa ia sangat paham dan seperti memintaku untuk tidak perlu menjelaskan lebih jauh lagi. Namun kukira Alan harus diberikan alasan yang lebih kuat, kalau perlu aku harus beri penjelasan yang masuk akal, "pulang bekerja aku melihat Alex, ya kukira aku harus menghibur karena apa yang sudah menimpanya." Alan hanya tertawa dan mengangguk-angguk lagi. Yah! Alasanku itu memang terkesan dipaksakan, sehingga membuatnya tertawa.
Alan segera mengalihkan perhatiannya ke sampingku. Alex sudah bangun. Alan segera memeluk Alex dan mengatakan beberapa bait kalimat bela sungkawa. Kemudian Alex memberikan buku tugas milik Alan dan mengucapkan terimakasih. "Aku akan mengatakan pada Mrs. Valery kalau kau sedang sakit, Laura. Bisakah kau jaga temanku ini untukku?" tanya Alan kepadaku sambil menatap Alex yang geleng-geleng ikut tertawa. Aku tidak tahu lelucon macam apa yang sedang mereka sembunyikan.
"Laura ingin masuk kelas pagi ini. Lagipula aku akan masuk di mata pelajaran kedua." Alex yang menjawab.
"Baiklah kalau begitu, kau ikut denganku saja, ya!" Alan memasukkan buku tugasnya ke dalam tas dan menunggu kesediaanku. Tentu aku tidak akan menolak karena ini sudah terlalu siang kalau harus menunggu bus di depan.
Begitu selesai dengan urusan tas, aku menerima jaketku dari tangan Alex dan segera memakai sepatu. Aku pamit kepada Alex dan mengingatkannya untuk datang ke sekolah di jam kedua. Karena kalau Alex hanya sendirian begini, ia akan terus merasa sedih dan memikirkan hal yang bukan-bukan karena apa yang telah menimpanya.
***
Begitu keluar dari ruangan kelas, aku langsung disambut dengan teriakan khas Lilly yang kutahu itu adalah tanda bahwa ia sedang senang bukan main. Lilly memelukku masih dengan teriakannya, tanpa tahu kalau pekikannya itu membuat telingaku dan telinga orang-orang yang berlalu-lalang pasti sangat terganggu. Aku buru-buru melepas pelukan Lilly dan bilang kalau itu membuat dadaku sesak dan leherku hampir patah karena ia melakukannya dengan segenap tenaga yang ia punya.
"Alex! Alex!!!" Begitu Lilly meneriakkan nama itu, pandangan orang-orang semakin mengepung aku dan Lilly. Ya, meskipun aku dan Lilly termasuk siswa yang tidak peduli dengan rasa malu, kali ini aku cukup risih dengan tingkah Lilly. Aku sudah tahu kalau Lilly pasti akan memberitahu kalau Alex sudah menge-chat dirinya, atau mengajaknya makan malam, atau barangkali mereka sudah berjanji akan bertemu di perpustakaan pulang sekolah, atau... "Alex mengatakan kalau dia mencintaiku." Beberapa detik, entah bagaimana aku belum memilih untuk menanggapinya. Ya, Alex sudah mengatakan itu sebelumnya, kenapa aku harus terkejut seperti ini?
"Wow!" ucapku. Sebenarnya responku dengan Wow itu sangat terlambat dan itu bukan kata yang pada tempatnya kalau dipikir-pikir. Tapi kenyataannya aku tidak percaya kalau Alex akan bertindak secepat ini. "Jadi kau tidak masuk kelas, Lilly?" tanyaku. Sungguh aku senang melihat Lilly seperti ini. Wajahnya senang sampai merah. Akupun tak bisa menahan euforia dari Lilly dengan senyuman paling baik yang pernah kupunya. Ya! Aku ikut senang. Sampai-sampai mencubit kedua pipi Lilly karena gemas dengan rona merahnya.
"Aku tidak bisa menolak Alex begitu ia mengirimiku pesan tadi pagi." Sambil berjalan ke arah lokerku, Lilly menceritakan setiap detail kejadiannya. Lilly bilang, ia sudah sempat masuk kelas ketika Alex memutuskan untuk bertemu dan tidak masuk lagi sampai jam pelajaran usai. "Aku hanya gugup dan tidak bisa mengatakan apa yang ada di pikiranku selama berada di dekat Alex." Lilly ekspresif sekali sampai-sampai kedua tangannya yang memperagakan bagaimana senangnya ia bisa mengepung akses orang-orang di lorong koridor.
"Oh, ya, Lilly, kau membawa baju ganti untukku?" Begitu sampai di depan lokerku, aku mengingat sesuatu. Ini karena Tommy yang duduk di sampingku di kelas Fisika. Ia menyadari kalau aku tampak berantakan dan bau. "Apa aku bau?" Ah, seharusnya aku tidak menanyakan pertanyaan konyol ini kepada Lilly di saat-saat ia menceritakan hal yang sangat penting di dalam hidupnya.
Lilly membaui aku dan mengatakan, "ya, kau bau," Lilly tertawa dan menggodaku. Kemarin malam setelah meminta untuk membawa pakaian ganti untukku via pesan, Lilly bertanya aku menginap di mana malam itu. Aku mengatakan akan memberitahunya ketika di sekolah. Tapi tampaknya Lilly sudah tidak mempedulikan itu. Lagipula akan sangat sulit menjelaskannya jika aku jujur tentang menginap di rumah Alex. Ia merogoh tas selempangnya dan memeriksa apa yang dibawa. "Aku hanya membawa pakaianku. Jane lupa menaruh pakaianmu entah dimana," terang Lilly. Jane adalah adalah salah satu pekerja di rumah Lilly. Usianya tidak jauh berbeda dengan aku dan Lilly.
"Sekarang ikut aku ke toilet yang ada di belakang!" Aku menarik tangan Lilly agar ikut denganku. Aku tahu ia masih ingin menceritakan betapa bahagianya ia hari ini, tapi karena urusan pakaian dan apa yang disinggung Tommy, mau tidak mau membuat Lilly harus menghentikan curahan hatinya.