Ruang Lain

tukang sedih
Chapter #14

14. Rutinitas Baru

Aku mendapatkan dua sepatu dari Eru. Salah satunya adalah flatshoes yang kukenakan pagi ini. Sebelumnya di toko Eru bilang flatshoes itu untuk Shanaz. Ya, aku percaya saja. Tapi ternyata sesampainya di rumah aku tidak tahu kalau Eru menyelipkan flatshoes itu di rak sepatuku dan menulis 'Aku lupa Shanaz sudah punya yang seperti ini' di sebuah kertas kecil di kotak sepatu. Eru takut aku tidak akan menerimanya kalau Eru membelikanku dua pasang sepatu. Dan benar, kalau aku tahu keduanya adalah milikku di toko malam itu, maka aku tidak akan menerima flatshoes itu juga.

Lilly menyadari sepatu baruku, mungkin karena selama ini aku selalu memakai sepatu yang itu-itu saja. Kuberitahu bahwa Eru yang membeli flatshoes lucu itu dan sebuah sepatu berhak tinggi berwarna abu-abu. Lilly menggodaku untuk tidak mengabaikan Eru lebih lama. Aku sudah terbiasa dengan anjuran yang seperti itu. Bahkan Lilly yang jelas-jelas tahu bagaimana perasaanku kepada Eru saja masih sering melakukannya.

Setelahnya, aku menceritakan soal Evan yang akan menjemputku pulang sekolah. Dan seperti dugaanku, Lilly akan merespon itu dengan respon yang berlebihan.

"Evan?" tanyanya sambil memandangku dengan tatapan tak percaya. "Semua sudah jelas sekarang, kenapa Mrs. Lisa sampai begitu perhatiannya kepadamu. Ia ingin menjodohkanmu dengan anaknya." Lilly menyimpulkan. Aku tidak langsung senang dengan kesimpulan Lilly mengingat betapa sempurnanya Evan itu. Sementara aku? Apa yang bisa diharapkan dariku?

Ah, kalau Eru mendengar ini lagi maka habislah aku diberikan nasihat seperti tadi malam.

Aku dan Lilly berpisah ketika jam pelajaran kedua akan dimulai. Sejak pagi hingga saat ini, aku tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana momen pulang sekolahku akan berjalan. Apa yang akan kuucapkan pertama sekali ketika Evan muncul. Apa obrolan yang cocok agar Evan tidak bosan mengobrol denganku. Apa yang akan dikatakan orang-orang ketika melihat sang Evan sengaja datang untuk menjemputku. Gila! Aku bisa gila!

Begitu jam pelajaran kedua usai, aku tidak menemukan Lilly di luar ruangan. Mungkin Lilly belum keluar. Aku menghampiri Lilly ke ruang kelasnya yang lebih jauh dari pintu lorong. Benar sekali, Lilly belum keluar kelas. Aku mengintip dari luar ruangan dan melihat Alex di ruangan itu juga. Ah, soal mimpi selanjutnya, kapan aku bisa tidur bersama Alex lagi?

Selang beberapa detik, kelas Lilly bubar. Aku menjauh dari pintu dan berdiri lumayan jauh dari sana. Mae, Grace dan Lilly berjalan berdampingan sementara Alex berjalan di belakang mereka. Aku ikut nimbrung dengan mereka bertiga karena topik pembicaraannya adalah soal Lilly dan Alex yang baru saja berpacaran. Mae dan Grace cukup antusias karena mereka berdua juga sangat tahu soal perasaan Lilly selama ini.

Tiba-tiba Alex menarik tanganku dari belakang. Tidak ada yang memperhatikannya karena lorong terlalu ramai. Aku terkejut karena aku dan Alex sangat dekat sekarang. Alex berbisik di telingaku. "Kapan kau ada waktu tidur bersamaku lagi?" Orang yang mendengar itu tanpa tahu maksud yang sebenarnya pastilah akan berpikir yang bukan-bukan. Apalagi mereka tahu kalau aku adalah sahabat Lilly, maka akibatnya menjadi dua kali lebih parah. Lagipula siapa yang akan berpikir positif ketika seorang laki-laki menanyakan 'kapan kau ada waktu tidur bersamaku lagi?'. Aku saja yang mengerti maksud Alex terkejut dengan pertanyaan itu.

"Aku tidak tahu. Kau sibuk, akupun begitu," jawabku sekenanya. Begitu keluar dari lorong, Mae dan Grace berpisah arah dengan Lilly. Aku cepat-cepat berdiri di samping Lilly dan mengabaikan Alex di belakang.

"Hey, itu Evan!" pekik Lilly senang. Aku langsung mencari Evan di tengah keramaian. Evan berdiri di tempat parkir seperti mencari-cari seseorang. Ya, Evan tentu sedang mencariku.

Evan seperti pertunjukan gratis di pelataran sekolah. Kebanyakan dari mereka memang hanya menyapa dan bertanya kabar. Yang melakukan itu adalah kakak-kakak senior yang mengenal Evan. Selebihnya adalah junior yang mengenal Evan lewat Mrs. Lisa, guru Kalkulus yang galak. Lisa memang sering mengagung-agungkan anaknya jika sedang mengajar di dalam kelas.

Aku, Lilly dan Alex baru sadar telah melakukan hal yang bodoh ketika Evan memanggil namaku. Kami berdiri melongo melihat Evan di parkiran. Kudengar Lilly berbisik di telinga Alex, "Laki-laki itu menjemput Laura."

"Oh, ya?" Alex menanyakan itu dengan ekspresi datar. Mungkin ia tengah mengutuk diri karena sudah melakukan hal bodoh dengan memperhatikan Evan seperti tadi.

Aku segera mendekati Evan dengan ekspresi yang mudah-mudahan tidak menunjukkan kalau aku sedang berusaha memperbaiki degup jantungku. Yang membuatku semakin tidak bisa bernafas adalah, Evan membuka kacamata hitamnya dan tersenyum. Tuhan! Ini benar-benar cobaan untukku. Belum lagi pandangan tak bersahabat dari siswi lain yang mengepungku.

Lilly terus menggodaku dari belakang. Evan menoleh ke belakang dan kubilang pada Evan agar tidak mempedulikan Lilly. Evan hanya tertawa kecil dan menatapku beberapa detik. Aku tidak kuat jika harus menatapnya balik.

"Aku merindukan suasana sekolah," ucapnya tiba-tiba selang beberapa detik kami terdiam di parkiran yang ramai. Aku belum tahu apa yang akan kami lakukan di sini. Yang mana kendaraan Evan? Aku harus masuk kerja sebentar lagi.

Lihat selengkapnya