Ternyata Evan tidak menjemputku seperti janjinya siang tadi. Aku tidak terlalu kecewa karena setidaknya aku bisa bertemu Evan besok. Ketika menelepon, Evan bilang akan menemuiku besok sepulang sekolah. Kupikir Evan jera dipandangi oleh siswi-siswi genit di sekolah, atau makan bersamaku di warung sempit di seberang, nyatanya setelah kukatakan tidak perlu menemuiku karena takut merepotkan, Evan bilang tidak apa-apa dan tetap kukuh akan datang sepulang sekolah.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain berteriak senang ketika Evan mengakhiri sambungannya siang itu.
Malam harinya Alex menghubungi, ketika aku sedang membaca pesan beruntun dari Eru yang mengajakku makan malam di luar. Aku berada di depan jendela dan mengangkat panggilan dari Alex.
"Laura?" Suaranya dari seberang. Aku belum sempat menyahut ketika kemudian Alex bersuara lagi, "apa laki-laki yang tadi siang... adalah kekasihmu?"
"Tidak," jawabku sekenanya. Kenapa juga Alex menghubungiku untuk menanyakan hal itu? Alex sesekali terdengar meracau. Apa ia sedang mabuk di seberang?
Aku yakin ini bukanlah tujuan utamanya untuk menelepon.
"Ada perlu apa, Alex?"
"Tidak apa-apa. Hanya mengingatkan agar jangan terlalu memikirkan nenek tua bernama Laura dan kakek bernama Alex yang berada di mimpi, di tengah-tengah perasaan yang sedang kau rasakan saat ini kepada laki-laki yang menjemputmu tadi siang," ucapnya memelan. Aku tidak sedang memikirkan itu. Lagipula kenapa juga aku harus memikirkan itu?
"Aku baru memikirkannya saat kau menelepon."
"Yang benar saja? Kau tidak memikirkan itu sebelum ini?" tanyanya seperti tak sungguh-sungguh.
"Tidak."
"Baiklah, aku bangga karena kau cukup tangguh dengan kenyataan kita ke depan."
"Memangnya apa yang buruk dari si kakek tua Alex sampai-sampai aku harus tangguh untuk menghadapinya?"
"Entahlah, tapi aku tidak suka si nenek cengeng itu."
Aku tertawa mendengarnya. Wajahku yang tua kembali menyambangi pikiranku. "Itulah kenapa Alex tua pergi dan meninggalkan sang nenek sendiri di gubuk jelek?"
"Tentu saja tidak!"
"Oh, ya? Kau tahu kelanjutan mimpi itu?"
"Tidak. Dan aku tidak berharap untuk tahu kelanjutannya."
"Kenapa seperti itu?"
"Aku inginkan yang spesial, aku bosan dengan alur hidup yang selalu kuketahui bagaimana kedepannya akan terjadi."
Aku tidak mendengar suara apapun dari seberang. Bahkan kupikir Alex sudah memutus panggilan ketika aku menyalakan lampu di luar kamarku. Aku hanya menempelkan ponselku di telinga tanpa memanggil Alex.
"Laura?" panggilnya.
"Ya?" sahutku.
"Aku harus menutup teleponnya." Apa Alex menghubungiku hanya untuk mengatakan itu? Oh, kupikir Alex benar-benar tengah mabuk malam ini.
"Okey."
"Entah kapan, tapi aku pasti akan menunjukkan mimpi selanjutnya kepadamu." Sebelum aku menanggapi itu, Alex sudah menutup sambungannya. Aku setuju dengan rencana Alex yang ingin menunjukkan soal mimpi selajutnya, tetapi aku tidak bisa dekat-dekat dengan Alex apalagi sampai tidur berdua, karena ada Lilly yang kupertaruhkan perasaannya.
Sampai sekarang, aku masih tidak habis pikir dengan semua mimpi-mimpi aneh itu. Apalagi soal berkelana waktu, soal Kei adik Alex, soal aku yang menghubungi Lilly dari alam mimpi. Mau tidak mau aku harus mengakui kalau itu benar dan nyata, karena memang benar-benar nyata. Kalau soal nenek ringkih di gubuk itu, aku sama sekali belum memutuskan untuk memikirkannya lebih jauh, hanya menghargai kepercayaan Alex yang terobsesi dengan takdir lewat mimpinya. Meski di lain waktu, seperti saat ini, aku masih berpikir, kenapa nenek tua di dalam mimpi itu sangat mirip denganku?
Aku melirik ke kamar Eru. Dari sini aku bisa lihat kaki Eru di kasur. Ia tengah berbaring. Aku mengetik 'hey, maaf mengabaikanmu.' dan "ayo kita keluar," di kolom pesan. Aku tahu Eru sedang merajuk karena kuabaikan. Yaaa, semoga menerima ajakannya untuk keluar tidak membuatnya marah lagi.
'Aku akan kerumahmu' adalah isi pesan yang Eru kirim. Setelahnya aku langsung bergegas dan menemui Eru di teras.
***
Aku tidak tahu apakah setelah kemarin malam masih ada kesempatan untukku berbicara atau setidaknya bertemu muka dengan Eru. Aku memberitahu soal orang tua bernama Laura dan Alex yang beberapa hari sebelumnya kumimpikan. Eru tidak banyak merespon dan hanya tertawa hambar mendengarnya. Ia hanya merespon dengan "mungkin kau menyukai Alex sampai terbawa mimipi" malam itu. Setelahnya kuceritakan bagaimana mimp-mimpi aneh sebelumnya terjadi. Soal Kei adik Alex, bagaimana terkejutnya Lilly setelah tahu aku menghubunginya dari alam mimpi, dan soal mimpiku tentang Alex si Dr. Strange sebelum bertemu dengannya di sekolah, soal aku yang beberapakali tidur dengan Alex untuk melihat takdir, soal aku yang Alex bilang sang pengelana waktu.
Eru hanya diam setelah itu kuceritakan semuanya. Tanpa respon sama sekali.
Aku mengajaknya mengobrol hal lain setelah tahu hawa di sekitar menjadi sangat mencekik. Tapi Eru tetap bungkam. Namun itu tidak membuatku menyesal mengatakan semua. Aku tidak tahu harus mengatakan kepada siapa soal kebingungan ini. Kepada Alex, tentu hanya menambah kegilaanku. Kepada Lilly lebih tidak mungkin.
Malam itu aku menyadari Eru tidak akan membaik. Wajahnya berubah suram dan pergi meninggalkanku di kafe, tanpa membayar tagihan, setidaknya tagihan untuk makanan yang ia pesan. Setelah kuhitung-hitung, biaya makanku malam ini setara dengan biaya makanku dan adik-adikku empat hari ke depan. Sial!
***