Sekelebat burung-burung tampak terbang di langit yang jingga. Riak air yang menyambangi telingaku terasa menenangkan pikiran. Embusan angin sore, gemericik air yang terhalang batu, pekikan katak di pinggir sungai, semua masih sama. Aku ingat terakhir kali ke tempat ini bersama ayah dan pesawat capung milik ayah.
Aku melihat diriku dan ayah duduk di sebuah batu besar. Ayahku bernyanyi dengan suara basnya yang khas. Can't Help Falling in Love selalu menjadi lagu favorit ayah, karena itu akan mengingatkan ayah pada Ibu. Secara otomatis aku menangis mendengarnya, aku merindukan ini. Semua jelas masih sama seperti terakhir kali aku kemari.
Sebelumnya terimakasih, Alex, dan tolong jangan bangunkan aku. Aku ingin berlama-lama di tempat ini.
"Ayah sudah berkeliling waktu, Laura."
Aku mendengar suara tawaku ketika ayah selesai mengucapkan itu. Ayah tersenyum. "Ayah menemukan ibu saat berkeliling waktu?" Waktu itu aku bertanya untuk menanggapi lelucon ayah.
"Tidak. Ayah menemukan ibumu di tempat ini juga. Kami dulu bertetangga seperti kau dan Eru."
"Apa itu berarti aku dan Eru akan sepertimu dan Ibu?"
Ayah tertawa kecil dan bilang, "belum tentu. Kau juga akan berkeliling waktu dan mencari teman selain Eru."
Aku kembali tertawa dan itu membuat ayahku tersenyum kala itu.
Tiba-tiba aku mengingat Alex yang mendongeng soal pengelana waktu. Apa ayahku tidak sedang melucu ketika itu? Apakah aku dan ayahku sungguh bisa melakukannya? Berkelana waktu?
"Ayah..." 'Diriku' memanggil ayah. Aku ingat percakapan ini.
"Ya, sayang." Ayahku melirik.
"Aku selalu ingin keluar dari tempat ini."
"Setelah ayah pergi, kau akan pergi kemana saja. Kau akan bebas. Berkeliling waktu, kemanapun kau mau."
"Itu sudah termasuk keluar dari desa menyebalkan ini?"
"Tentu."
"Ayah akan kemana?"
Ayahku tersenyum dan mengatakan "menemui ibumu."
***
"Ayah..." Beberapa kali seseorang mengguncang bahuku lembut. Apakah akan berakhir? Apa Alex akan mengakhiri ini? Aku terbangun dan mendapati Alex tengah bersandar di rak sambil menatapku. "Kenapa membangunkanku?"
"Mimpinya hanya sampai di situ."
Aku menatap jam di pergelanganku. Sudah waktunya pulang sekolah dan perpustakaan sudah diisi oleh satu dua orang. Meja bundar kecil yang berada di sudut rak kini diisi oleh seseorang. Dari penampilannya, aku tahu mereka adalah siswa junior.
"Kau tukang tidur." Alex tertawa kecil dan memperbaiki duduknya.
"Aku menyukai mimpi itu."
Alex hanya menggembungkan pipinya lalu menatap beberapa buku di atas kepalaku. Setelah memilih dengan pandangannya, Alex menarik salah satu. Ia menatapku dan ingin mengatakan sesuatu tetapi tertahan. Ia membolak-balik lembaran buku di tangannya.
"Apa kau tahu sesuatu tentang darimana aku dan ayahku adalah pengelana waktu?" tanyaku. Ya, sejujurnya kalau aku tahu tentang itu saja, maka pelan-pelan aku bisa mengerti bahwa kedua kekuatan mejik itu sungguh ada: Alex dengan kemampuan melihat takdirnya dan aku dengan kemampuan mengelana waktu yang ia sebut-sebut itu. Katakan asal-muasalnya saja, maka aku akan percaya. "Aku tdak bisa percaya ini dengan mudah," ucapku hati-hati.
"Kei dan nenek bernama Laura itu belum membuktikan, Laura?"
"Pertama, nenek bernama Laura itu, aku tidak bisa pastikan itu nyata atau hanya mimpi..."
"Hey dengar! aku menunjukkan mimpi yang di dalamnya kau tengah mengelana waktu..." Alex memotong ucapanku dan menatapku dengan tatapan kesal. Aku tahu ia tidak terima dengan semua ini, tetapi tak bisakah Alex tidak memaksa agar aku mempercayainya.
"Kedua, Kei, aku tidak pernah bertemu dengannya. Aku belum yakin tentang Kei meski kau bilang dia adalah adikmu." Aku menenggelamkan wajahku di kedua telapak tangan dan menumpunya di lutut. "Maaf."
"Kau pikir aku menipumu, Laura?"
"Aku percaya dengan kelebihan yang kau punya. Tetapi mengelana waktu, bantu aku untuk mempercayai itu, Alex!"
Alex menghela nafas beratnya. "Aku sudah menunjukkan semuanya, tapi kau menolak untuk percaya."
Entahlah, aku tidak benar-benar yakin dengan apa yang sudah kupercayai.