Ruang Lain

tukang sedih
Chapter #17

17. Neraka Bernama Sekolah

Hari ini untuk pertama kalinya aku mengerti kenapa ketika Evan menjemput sepulang sekolah, hatiku tidak segirang saat bertemu atau sekedar berpapasan dengan Alex di lorong koridor. Apa yang terjadi di perpustakaan sudah menjelaskan semuanya: aku hanya mengagumi Evan.

Kali ini Evan mau aku makan malam bersama keluarganya dan menginap. Tidak ada hambatan untuk itu. Hanya saja aku tidak ingin berpura-pura dengan hubungan ini. Aku tidak mencintai Evan. Aku harus mengakhirinya sebelum semua terlalu larut.

"Ayahku sengaja pulang untuk melihatmu."

"Aku tidak bisa, Evan. Maaf."

"Atau kita bisa mengganti hari. Sabtu bagaimana? Mungkin ayahku bisa pulang ke Boston di hari Minggu."

"Aku tidak bisa," jawabku cepat bahkan tanpa berpikir.

"Ada apa?" tanyanya lembut sambil meletakkan sepasang jemarinya di kedua bahuku. "Apa sesuatu mengganggu pikiranmu?"

"Tidak. Aku hanya tidak bisa."

"Beritahu aku alasannya, Laura."

"Maaf, Evan. Aku harus pulang sekarang."

"Aku akan mengantarmu." Evan menggenggam tanganku dan menuntunku ke pelataran kafe. Kali ini Evan membawa jeep tua berwarna merah yang sering parkir di depan rumahnya. Selama di perjalanan, Evan tak banyak bicara. Evan selalu tahu kalau aku malas bicara sepulang bekerja. Diam-diam aku memperhatikan Evan lewat ekor mataku. Dia begitu tenang dan tersenyum sesekali sambil menikmati Dust in The Wind yang mengalun. Aku penasaran bagaimana wajah Evan ketika aku memutuskan hubungan kami. Ah, aku harus mengakhiri semua ini sebelum semuanya semakin sulit diperbaiki.

Evan mengurangi volume musik sehingga lagu milik Kansas itu kini hanya berupa gumaman. Ia menatapku sambil tersenyum. "Ibuku sudah menganggapmu seperti putrinya sendiri, Laura. Makan malam itu seperti makan malam keluarga. Kau bagian dari keluarga kami. " Evan menatap ke depan dan tampak berpikir, "mudah-mudahan setelah mengatakan itu, kau mau memenuhi undangan dari ibuku."

"Yang jelas tidak malam ini, Evan."

"Kau mau?"

"Ya."

"Tidak kusangka akan berubah pikiran secepat itu." Evan tertawa kecil. Beberapa detik terdiam—aku dengan lamunanku tentang kejadian hari ini—, Evan kemudian bertanya, "Kau memikirkan sesuatu?" Evan menyadari sesuatu yang berbeda dariku. Mungkin aku tidak seperti hari-hari kemarin. Ia sungguh penasaran dan aku tidak bisa sembunyi lama-lama. Aku ingin mengakhirinya saat ini juga.

"Aku baru memikirkannya akhir-akhir ini dan kukira sudah matang. Aku ingin kita berpisah saja," ucapku datar dan tanpa ragu-ragu. Kupikir Evan tidak akan marah atau panik hanya karena ini. Aku mengenalnya. "Begitu memikirkan ini, kurasa aku tidak bisa membiarkan kita larut sementara salah satu dari kita sudah benar-benar ingin mengakhirinya."

Evan tersenyum miris. Aku bisa lihat kekecewaan di wajahnya dan berusaha agar tampak baik-baik saja. Evan mengusap wajahnya kuat dan belum mau membuka suara. Akupun demikian.

Beberapa detik akhirnya Evan bersuara. "Aku sudah tebak ini sejak awal, kau tidak benar-benar mencintaiku. Pertama, kau hanya kesepian setelah temanmu yang bernama Lilly memiliki kekasih atau yang kedua, kau hanya berusaha mencari orang lain untuk kau cintai alih-alih mencintai laki-laki itu." Aku tidak benar-benar tahu apakah sudut pandang Evan itu benar adanya atau hanya pelampiasan amarahnya, yang jelas Evan hanya tersenyum seperti semua ini ia tahu akan terjadi.

"Entahlah, Evan. Aku hanya ingin kita berakhir dengan baik."

"Ya, kau mengakhirinya dengan baik."

"Kau tidak marah padaku, kan?"

"Tidak. Aku harusnya tahu dari awal, kau hanya membutuhkan seorang teman untuk bicara, tapi aku malah mengatakan perasaanku." Evan memandangku sebentar lalu mengangguk-angguk setelah melihatku mengangguk-angguk. Kami seperti orang asing sekarang. "Ta-tapi aku tidak menyesali yang sudah-sudah. Aku suka mengobrol denganmu," ucapnya sambil membetulkan posisi duduknya.

Aku tersenyum menatap wajah rupawannya itu, selalu membuatku marasa teduh dan nyaman berada di sebelahnya. "Apa undangan makan malam itu masih berlaku untukku, Evan?"

"Seharusnya aku yang bertanya, Laura. Ibuku yang mengundangmu."

"Aku pasti datang." Evan mengacak rambutku lembut dan tersenyum. Sekarang aku dan Evan tidak lebih dari sekedar bersahabat, atau kalau Evan kelak bersedia, aku ingin menjadi adik yang selalu ada untuknya.

Lihat selengkapnya