Ruang Lain

tukang sedih
Chapter #19

19. Lily Yang Malang

Pagi ini aku berangkat sekolah bersama Mrs. Lisa dengan jeep merahnya. Aku menginap di rumah Mrs. Lisa karena seperti janjiku, aku akan makan malam bersama keluarga Evan sebelum ayahnya kembali ke luar kota. Mrs. Lisa dan suaminya bekerja di dua kota yang berbeda, sementara Evan lebih banyak menghabiskan waktunya bersama sang ayah di luar kota daripada di kota ini, berhubung Evan dan ayahnya bekerja di kota yang sama.

Mendadak, Evan memutuskan untuk pulang bersama ayahnya minggu ini. Evan memutuskan itu di acara makan malam kemarin. Mrs. Lisa bahkan terkejut mendengarnya. Seharusnya liburan Evan berakhir sebulan lagi. Asumsiku, Evan sedang ingin menenangkan diri karena apa yang sudah terjadi dengan kami beberapa hari yang lewat.

Aku mendapat perhatian penuh dari siswa-siswi yang ikut memarkirkan kendaraanya di tempat parkir atau mereka yang sekedar berlalu lalang. Mrs. Lisa memang sangat jarang tampak ramah seperti pagi ini. Ia memperlakukanku seperti putrinya sendiri. Mrs. Lisa menuntunku di lorong koridor hingga ke depan ruang guru. Di depan khalayak, ia meraih daguku lembut dan bilang, "jangan pedulikan mereka. Mereka tidak lebih baik darimu ketika menyerukan kebencian," ucapnya, lalu memasuki ruangan.

Aku beralih ke arah lokerku untuk mengambil beberapa buku yang kubutuhkan. Kelas akan dimulai lima menit lagi dan Mr. Seth tidak pernah suka ada yang mengetuk pintu ketika kelasnya sudah dimulai. Belum menggeser tumpukan buku yang tidak rapi di dalam loker, aku langsung tertarik dengan sebuah amplop surat yang masih terekat rapat di atas tumpukan buku. Cepat-cepat aku merobek amplop surat dan menemukan secarik kertas berwarna merah muda dengan tulisan familier di kedua sisinya. 'Lara, aku sudah menunggu kau melepaskan Alex dan meminta maaf di hari itu. Tetapi aku salah. Aku menunggu yang sia-sia.' Wajah Lilly serta merta menyambangi kepalaku.

Aku belum melihatnya pagi ini. Aku merindukannya. Aku membalik kertas dan menemukan tulisan lain di sana. 'Maaf. Aku tidak kuat dengan semua ini. Hidupku hancur, keluargaku hancur. Aku tidak bisa melanjutkan ini. Aku kecewa padamu tetapi ini bukan kesalahanmu sepenuhnya. Jangan beritahu surat ini kepada siapapun. Aku menyayangimu, Lara. Aku sudah memaafkanmu sebelum kau meminta maaf.'

Aku mendadak lemas dan memikirkan hal yang bukan-bukan. Sesuatu yang keras menimpa kepalaku. Buru-buru aku mengembalikan kertas beserta amplop surat itu ke dalam loker dan menutupnya dengan keras sampai mengundang perhatian. Aku menggigit bibirku kuat-kuat. Segala hal yang buruk menyerang pikiranku. Sangat mungkin kalau Lilly bunuh diri karena apa yang telah aku dan Alex lakukan padanya.

Aku seperti orang gila di lorong. Orang-orang tidak mempedulikan pertanyaanku perihal Lilly. Itu hanya membuat mereka menggeleng tak percaya. Mereka melihatku jijik, seperti sampah yang seharusnya berada di tempat sampah, bukan tersesat di antara mereka seperti ini. Semenjak insiden di telepon, aku tidak pernah mau bertemu dengan Lilly dan menghindar ketika ada yang mengobrol perihal dirinya. Sungguh aku tidak membuka diri untuk apapun yang terjadi pada Lilly.

"Mereka berdua bermasalah. Jalang Bodoh dan Gadis Psikopat!" Ujaran kebencian itu diarahkan kepadaku, tetapi aku tidak bisa mencernanya saat itu juga. Siapa yang mereka sebut Jalang Bodoh dan siapa Gadis Psikopat? Apa aku keduanya?

Orang-orang itu terkesan mengepungku di lorong.

Serta merta aku membelah keramaian begitu bel tanda masuk berbunyi. Persetan dengan Mr. Seth, aku tidak akan masuk hari ini. Alex berlari ke arahku begitu aku keluar dari kepungan orang-orang. Mereka sudah menghambur dan masuk ke dalam kelas masing-masing. Alex memelukku kebingungan dan aku terlalu lemah untuk membalas pelukannya. "telah terjadi sesuatu kepada Lilly.." ucapku lirih. Alex merenggangkan pelukannya dan melihatku dengan tatapan sedih. Wajahnya memucat. Alex tampak mengetahui sesuatu. Apa Alex melihat sesuatu di dalam mimpinya tentang ini?

Alex mengusap wajahnya frustasi. Aku semakin kalang kabut melihat ekspresinya itu. "Aku tidak tahu kalau mimpiku seminggu lalu akan terjadi hari ini." Alex kembali memelukku dan berbisik, "kau harus kuat, Lara, ini akan sulit." Aku berusaha keras menjauhkan diri dari tubuh Alex. Aku ingin penjelasannya sekarang. Semua yang terjadi pada Lilly saat ini pastilah bermula dari kesalahanku.

Koridor sudah sepi sementara Mr. Luca yang baru saja keluar dari ruangannya hanya menatapku dan Alex tanpa memerintahkan kami untuk memasuki kelas masing-masing. Beberapa detik memperhatikan keadaan koridor yang sepi, Mr. Luca kemudian masuk ke ruangannya. Aku semakin bingung apa yang sudah terjadi di sini.

"Lilly masuk sel tahanan. Lilly membunuh ayah tirinya yang ingin memperkosa Lilly," ucap Alex berhati-hati. Aku mendadak tertawa sambil menangis mendengar itu. Ini bukan saatnya untuk bercanda. Alex pasti berbohong. Jelas-jelas itu tidak sesuai dengan surat yang Lilly letakkan di lokerku. Ia meminta maaf. Ia ingin pergi. Aku tahu telah terjadi hal yang lebih buruk dari itu. "Sampai saat ini aku hanya bisa memberitahu itu. Lara..."

Aku memotong perkataan Alex, "Lilly memberiku surat. Lilly meminta maaf dan mengatakan sesuatu tentang pergi." Alis Alex terpaut. Aku melihat kebingungan di wajahnya. Seruan kebencian Jalang Bodoh dan Gadis Psikopat itu ditujukan kepadaku dan Lilly. Lilly benar-benar membutuhkan seseorang di sampingnya. Aku harus pergi dan menemuinya.

Aku meninggalkan Alex. Tak berapa lama ia menyusulku hingga langkah kami sejajar. Alex begitu sedih dan itu berarti sesuatu yang buruk terjadi kepada Lilly selain dijebloskan ke dalam sel tahanan. Alex menghentikan langkahku dan bilang, "kau harus tenang, Lara. Kita berada dalam masalah kalau kau seperti ini." Alex mengulurkan jemarinya yang bergetar.

"Tidak, Alex. Aku harus menemui Lilly. Lilly tidak membenciku. Lilly sudah memaafkanku. Sekarang aku adalah satu-satunya yang dibutuhkan Lilly." Aku menolak Alex dengan kasar. Setelahnya aku berlari dan meninggalkan Alex di koridor. Aku belari sekencang-kencangnya untuk menghindari Alex.

Begitu sampai di gerbang, ponselku berbunyi. Aku hanya mengabaikannya. Aku melirik ke belakang, takut kalau-kalau Alex berhasil menyusulku sebelum bus berhenti di halte. Benar, Alex sudah sangat dekat dan bus sudah berhenti di depanku.

"Laura, aku akan beritahu mimpi itu!" teriaknya.

Mendengar itu, aku memilih untuk menunggu Alex dan menenangkan dadaku yang sesak karena berlari. Ponselku terus berdering sementara Alex dengan wajahnya yang datar mengentrupsiku untuk menerima panggilan itu. Panggilan dari Grace.

Lihat selengkapnya