Aku menunggu bus di halte. Pria tambun yang membawa tas besar di sampingku beberapa kali melihat penampilanku dengan wajah prihatin. Aku pergi dari rumah Zoe tanpa pamit, dan aku tahu betapa memprihatinkannya penampilanku.
Aku tidak ingin melihat Zoe memohon-mohon agar aku tetap tinggal di rumahnya. Zoe terlalu khawatir dengan keadaanku. Ia pikir aku akan mengakhiri hidupku setelah semua yang menimpaku akhir-akhir ini. Aku memberitahunya soal Lilly dan Alex yang masuk sel tahanan, memberitahu apa yang sekolah perbuat kepadaku, bercerita pada Zoe seharian penuh. Aku memberitahu segala kepedihanku. Itulah kenapa Zoe memintaku untuk tidak pergi.
Pria tambun itu akhirnya menyapa, bertanya apakah aku baik-baik saja dan berbaik hati menawarkan bantuan sekiranya aku membutuhkannya. Aku sungguh membutuhkan bantuan, aku kelaparan, terlalu mengantuk, dan kepalaku begitu sakit. Aku pergi dari rumah Zoe ketika matahari belum terbit. Aku masih memiliki uang di tasku. Hanya saja, begitu sampai di halte, tubuhku mendadak lemah dan tidak kuat untuk berjalan ke rumah makan yang hanya beberapa bangunan dari sini.
"Aku haus. Bisa tolong berikan aku air?" Sebetulnya aku bisa saja mengetuk rumah Mrs. Lisa yang masih gelap. Namun aku terlalu lemah untuk menceritakan hal mengerikan itu lagi. Mustahil wanita itu tidak bertanya.
Pria itu merogoh tasnya yang besar dan botol minuman yang besar segera ia sodorkan kepadaku. Dadaku begitu sakit ketika menyelesaikan tegukan yang terakhir, mungkin karena aku terburu-buru. Pria itu tertawa sambil mengalihkan perhatiannya dariku. "Kau lapar?" tanyanya.
Ya. Aku lapar. Aku hanya mengangguk. Pria itu merogoh tasnya dan memberikan sepotong roti kepadaku. Aku berterimakasih dan langsung melahap habis roti itu. Lagi-lagi ia tertawa. Belakangan bertanya, ternyata pria itu seusia ayahku. Aku mulai memperhatikan penampilannya. Ia memakai kaos tipis dan celana pendek. Yang paling menarik ia membawa tas besar yang terisi penuh. Aku lupa menanyakan apa isi tasnya itu ketika kami akrab berbincang.
"Padahal kota ini buruk." Ia mengucapkan itu dengan begitu kesal lalu menatapku tak percaya. Setelah berkenalan dan merasa bahwa pria itu adalah teman mengobrol yang baik, aku menceritakan bahwa aku dari Serdam dan berencana ingin menetap di Slav. Ia langsung tertarik dan mengatakan fakta bahwa tidak ada yang selamat ketika melewati perbatasan itu kecuali dia adalah keturunan manusia setengah dewa.
"Manusia setengah dewa?" tanyaku. Ia semakin bingung dengan pertanyaanku.
"Kau tidak tahu, Nak?" Ia balik bertanya. "Kau pikir kenapa kau bisa berada di sini dan keluar masuk desa?"
"A—aku tidak tahu, tolong beritahu aku."
"Ini adalah cerita lama. Semua orang di kota ini maupun di desamu seharusnya tahu. Nyatanya hanya sedikit sekali yang tahu. Yang mereka tahu, ketika seseorang keluar atau masuk Slav adalah tindakan bunuh diri." Rasa lelah di tubuhku mendadak membaik ketika kupikir pria itu akan bercerita. Aku sangat suka mendengar cerita meski cerita itu terdengar gila. Halte seharusnya sudah ramai sekarang. Seolah mendukung suasana, hujan turun membasahi bumi. Pria itu mau tidak mau harus menetap di halte karena tidak membawa mantel untuk pergi dengan motornya. Aku memeluk tasku satu-satunya bersama lututku, kemudian memperbaiki posisi dudukku senyaman mungkin untuk mendengarkan cerita dari pria tambun di hadapanku.
"Ceritakan padaku.."
"Kalau kau tidak berbohong soal apa yang kau lakukan selama ini, keluar-masuk desa dan tidak tahu kenapa kau sampai bisa melakukan itu, maka menceritakan ini adalah kewajibanku." Ia mendongakkan wajahnya ke luar halte, ke arah langit.
Ia bercerita, dulu ada sepasang manusia setengah dewa yang menetap di kota ini. Dulu sekali. Bahkan sebelum Serdam dikenal dan sebelum Slav ramai penduduknya. Orang-orang di Slav segera tahu kalau mereka berdua adalah manusia setengah dewa yang diutus untuk menjadi guardian di Slav. Mereka percaya bahwa setiap wilayah di bumi ini memiliki guardian yang diutus sang Dewa. Beratus tahun kemudian, manusia setengah dewa yang diutus itu melenceng dari tugasnya. Hillary—mereka menyebutnya—, mencintai seorang anak manusia yang bertugas melayani Hillary dan Andrius--kekasih manusia setengah dewanya. Andrius sangat marah dan membunuh manusia itu. Konon katanya, Andrius membuang manusia itu ke luar wilayah Slav. Atau yang sekarang dikenal sebagai perbatasan Slav dan Serdam.
Penduduk yang memuja-muja Hillary dan Andrius pada akhirnya berbalik membenci mereka dan meminta kepada sang Dewa untuk mengutuk keduanya. Sang Dewa mengabulkan, Hillary dan Andrius menjadi penduduk biasa dan hidup di tengah-tengah kebencian penduduk lainnya. Tidak sampai di situ, sang Dewa yang murka, menghilangkan Andrius dari ingatan Hillary, sementara Andrius diberikan ingatan yang sangat baik perihal Hillary kekasihnya. Andrius menetap di Slav dan Hillary dilempar ke luar Slav yang sekarang disebut desa Serdam. Hillary hidup dengan seekor anjing di sana. Sang Dewa menumbuhkan janin layaknya manusia di perut Hillary agar memiliki keturunan dan hidup bersama penduduk desa lainnya.
Kemudian, karena terlalu murka kepada Hillary yang mengkhianati Andrius, sang Dewa akan memusnahkan setiap penduduk desa yang melewati perbatasan. Hillary memohon agar sang Dewa mengecualikan keturunannya. Sang Dewa mengabulkan, namun memberikan satu kutukan lagi. Setiap satu permintaan akan diikuti satu kutukan. Keturunan Hillary dan Andrius akan berakhir jika kelak kedua keturunan mereka sampai bertemu dan jatuh cinta. Sepasang kekasih itu menjadi penutup keturunan Hillary dan Andrius. Selain itu, masalah bertubi-tubi akan menghampiri keturunan keduanya, terus-menerus hingga orang-orang yang mereka sayangi hilang satu demi satu.
Penduduk desa tidak paham cerita aslinya, mereka mengira bahwa sang Dewa mengutuk kedua wilayah tersebut agar tidak saling bertemu. Sehingga ketika penduduk desa mengetahui ada penduduk kota yang berhasil lolos, mereka akan membunuh penduduk kota tersebut dan menjadikan mayat-mayat itu seperti tumbal di perbatasan. Dan penduduk kota yang mengetahui yang sebenarnya (bahwa penduduk kota sesungguhnya diperbolehkan keluar masuk Serdam) dan sekaligus berpengetahuan jauh di atas penduduk desa, satu dekade belakangan menjadi lebih gencar menawarkan teknologi dengan cara diam-diam tanpa diketahui oleh banyak pihak, terutama dari pihak Serdam. Sebagian kecil penduduk desa yang tidak meyakini adanya cerita manusia setengah dewa itu membantu penduduk kota yang menawarkan teknologi dan tentu saja dengan cara sembunyi-sembunyi.
Tampaklah hingga saat ini, desa itu jauh tertinggal. Penduduk Serdam mendapatkan teknologi yang sangat minim seperti sekarang itu bahkan sudah menelan banyak korban jiwa. Desa yang di kelilingi oleh hutan itu memulai peradaban yang lebih modern seperti sekarang hanyalah berasal dari Slav.