Mari sambut Pengintai dari balik Ruang Lain!
Bias jingga di langit seharusnya menjadi pemandangan indah sore ini. Burung camar yang meliuk-liuk, suara deburan ombak, dan alunan dari alat musik milik Joanna ternyata tidak merubah suasana pilu di hati Lou. Dua pengawal Lou bahkan saling tatap dan mengangguk di belakang Lou sebagai apresiasi tidak langsung untuk permainan musik Joanna yang sangat indah. Entah bagimana, Joanna tahu Lou tidak menyukai dirinya. Ya, Lou memang tidak suka pada pelayan suaminya itu. Ia membawa Joanna karena ingin melihat apa Joanna sebaik yang suaminya katakan.
Joanna tidak secantik Lou. Orang gila pasti bisa melihat itu. Itulah kenapa Lou berpikir keras kenapa dari sekian banyak pelayan di istana, Alexander bercerita betapa mengagumkannya Joanna. Kalau Alexander mengagumi Joanna karena permainan biolanya, Lou lebih menguasai biola daripada Joanna. Lou bisa memainkan alat musik lain, bahkan yang lebih sulit daripada sekedar biola. Apa istimewanya Joanna di mata Alexander?
Lou terus memutar otak, apakah suamiku mencintai Joanna?
Serta merta, Lou mengangkat telapak tangannya untuk menghentikan bunyi dari biola milik Joanna yang lama-kelamaan seperti suara pekikan kesakitan di kepala Lou. Lou terbatuk dan menyapukan sapu tangan krem yang sejak tadi ia remas di tangan kirinya. Sapu tangan itu nyatanya tidak mampu menampung darah segar yang keluar dari mulut Lou. Darah itu jatuh sampai membasahi gaun.
"Tidak perlu. Aku bisa melakukannya," ucap Lou cepat dengan suara parau begitu Joanna mencoba mendekati. Lou dengan jemarinya yang gemetar susah payah membersihkan noda di gaun putih sambil menyingkirkan airmata yang menyambangi pipi dengan punggung tangannya. Joanna hanya menunduk dan mundur beberapa langkah.
Joanna sangat ingin mengulang saran yang ia lontarkan dengan sangat hati-hati sebelum memainkan biola. 'Yang Mulia, di sini terlalu dingin.'
Keinginan Joanna tertahan karena terlalu iba kepada Lou yang akan menghabiskan sisa tenaganya untuk membentak lagi, 'jangan coba-coba memerintahku!'
Sekarang Joanna hanya berdoa semoga sang Raja mau menjemput Nyonya mudanya itu. Terakhir kali, Lou melakukan ini, meninggalkan sang Raja tanpa pamit, dua hari lalu. Itu karena Lou marah ketika sebelum tidur di malam hari, Alexander bercerita perihal pelayan berbakat favoritnya—Joanna—lagi. Yang membuat Lou kesal, malam itu adalah malam ketiga Alexander menyinggung soal Joanna.
Joanna memang tidak tahu, mengapa kiranya sang Ratu sampai meninggalkan istana tanpa pamit kepada sang Raja. Joanna tidak tahu bahwa itu disebabkan oleh dirinya. Yang Joanna tahu, alasan kali ini sepertinya memang sama seperti dua hari yang lalu. Joanna bisa lihat dari airmuka sang Ratu Lou.
Lou masih terbatuk-batuk, kali ini lebih terdengar menyayat hati. Darah dari mulutnya masih saja menyembur bahkan setelah batuknya selesai. Sebagian penduduk kerajaan tahu Lou sudah kacau sejak lahir dan bertahan hidup adalah sebuah keajaiban.
Joanna mengeluarkan suara di tengah lamunan Lou, "Yang Mulia Raja berada di sini, Yang Mulia." Joanna mundur dan memutar kursi roda dengan sangat hati-hati setelah Lou meminta. Lou serta merta menunduk dengan wajah datar begitu melihat suaminya, Alexander, berada di sini.
Pengawal Alexander, dayang-dayang, dan pengawal Lou hanya diam. Tidak terdengar apapun selain sisa batuk yang berusaha Lou redam. Alexander masih diam dengan tatapan datar mengarah kepada Lou yang menatap entah apa dengan pandangan kosong. Alexander menarik nafas beratnya hingga ia mendengar derit mengerikan di kerongkongannya. Wanita itu sudah menguras semua pasokan kesabaran yang ia punya.
"Seharusnya ibu percaya padaku. Kau tidak berkenan mengandung putraku. Seharusnya ibu berpikir lagi kenapa sampai memilih wanita kacau sepertimu." Lou semakin terbatuk-batuk karena dadanya sesak sekaligus karena mendengar kata-kata Alexander. Joanna cepat-cepat menghampiri Lou dan berniat membantunya, meski itu tidak akan membantu sama sekali. Belum sampai tujuan Joanna, Alexander membentak, "kembali ke tempatmu, Joanna! Biarkan dia seperti itu." Lou semakin kesal demi mendengar itu. Alexander menyebut nama pelayan itu.
Joanna terkejut di tengah isakannnya. Bagaimana mungkin sang Raja tahu nama pelayan rendah sepertinya. Keheranan itu menular kepada pengawal lain yang saling mendelik begitu sang Raja selesai dengan murkanya.
Lou juga tidak ingin bertahan. Kalau ada yang bersedia membunuhnya, Lou akan mempersilahkan dengan hormat, mendudukkan orang itu sebagai penguasa di kerajaan ayahnya kelak bila perlu.
Alexander tidak melepas pandangannya sedikitpun dari Lou. Wanita itu berjuang sendiri di kursi rodanya, menggeliat-geliat meremas dadanya sampai mendongak menghadap langit. Alexander berusaha terlihat baik-baik saja di depan para pengikutnya. Meski gagal. Joanna menangkap kegelisahan di wajah Alexander.
Joanna merangkak dari posisinya dan berlutut di bawah kaki Alexander, menangis tersedu-sedu. Joanna tidak berkata-kata. Hanya menangis.
Kini tidak terdengar suara batuk dari Lou. Lou sudah tidak sadarkan diri. Alexander berteriak kepada seluruh pengawalnya. "Bawa dia!" dengan nada getir namun berusaha tegar. Alexander segera menghapus setitik airmata di pipinya.
***
"Beruntung kandungannya baik-baik saja, Yang Mulia." Tabib istana mengatakan itu setelah memberitahu bahwa setidaknya Lou masih bertahan hidup dari penyakitnya sampai ia melahirkan sang bayi. Hal itu tidak serta merta menjadikan Alexander senang. Lou akan pergi meninggalkannya seperti empat mendiang istrinya.