Mari sambut Pengintai dari balik Ruang Lain!
Di udara, burung-burung jenis elang beterbangan. Meliuk-liuk tanpa tujuan. Sewaktu-waktu burung itu menukik ke bawah, menyambar ikan, dan sesekali anak ayam di pinggir pantai. Nelayan-nelayan yang baru saja mendarat dari berburu ikan di laut hanya bisa mengumpat kesal untuk burung-burung itu. Langit sore sebentar lagi akan memuntahkan hujan. Biasanya nelayan-nelayan itu tidak secepat ini meninggalkan laut dan memilah-milah hasil tangkapannya.
Seorang nenek berjalan tergopoh keluar dari hutan dengan langkah terseok-seok. Isak tangisnya membuat dua nelayan mau tidak mau harus menghentikan aktivitas mereka dan menghampiri wanita tua itu. Nelayan yang paling tua bertanya apa yang sudah menimpa nenek ringkih itu. Laura menerima uluran tangan kedua nelayan yang menatapnya iba. "Saya mencari suami saya.." lirihnya dengan nada getir.
"Ke mana Nyonya akan mencarinya?" tanya nelayan yang lebih muda.
"Seseorang yang membawa suamiku mengatakan tentang pelabuhan. Kami tinggal di bukit Scoop.." Laura si nenek berusaha berdiri sendiri dan melanjutkan, "tolong beritahu saya jalan menuju pelabuhan." Dua nelayan itu saling tatap dan meringis sejak Laura mengatakan bahwa suaminya dihubung-hubungkan dengan pelabuhan. Hanya satu kemungkinan yang terjadi pada suami Laura, mati.
"Pelabuhan sedang perang, Nyonya. Kalau benar suamimu dibawa oleh tentara berseragam hitam-hitam, maka kemungkinan besar suamimu sudah tewas."
Laura mendongakkan kepalanya demi melihat wajah salah satu nelayan yang mengucapkan itu. Begitu kesalnya ia sampai menghempaskan genggaman tangan nelayan yang membantunya berdiri. "Beritahu saja, Tuan! Tidak perlu menyumpahi suamiku."
"Lebih baik Nyonya pulang saja," nelayan yang dipelotot oleh Laura memberi saran. Ia sungguh khawatir kepada Laura. Betapa mengerikannya pelabuhan itu sampai-sampai ia kemudian memohon agar wanita tua itu tidak pergi ke sana.
"Beritahu aku, anak muda," pintanya kepada nelayan yang lebih muda.
"Kau hanya harus berjalan lurus mengikuti jejak jalan ini, Nyonya. Kalau pergi sekarang, maka kau akan sampai besok pagi. Lebih baik Nyonya ikut dengan kami ke desa dan bermalam di salah satu rumah penduduk, kemudian berangkat besok pagi. Atau kalau bersedia, Nyonya boleh bermalam di rumahku. Ibuku pasti akan mengizinkannya." Pemuda itu mendapati wajah nelayan yang lebih tua tengah memberi kode kepadanya. Nelayan yang lebih tua tidak tega jika wanita tua itu akan pergi ke pelabuhan. Setidaknya wanita tua itu tidak pergi ke pelabuhan dengan informasi dari mereka.
"Terimakasih, anak muda."
Nelayan yang lebih tua menginterupsi anak muda itu untuk memberikan bekal yang ada di kapalnya untuk Laura ketika ia mulai berjalan pergi.
"Terimakasih, anak muda," ulang Laura lagi. Ia berlalu dengan langkah terseok-seok. Telapak kakinya sudah terluka parah. Jarak dari gubuk dan menyusuri bukit Scoop bukanlah hal mudah untuk mereka yang berbadan kekar dan sehat. Terlebih nenek tua yang ringkih itu. Namun seperti yang ia tahu sendiri, hanya harapan yang membawanya sampai sejauh ini.
Laura menyesal hanya menunggu selama berhari-hari. Ia terjaga hampir setiap malam. Menatap langit dan berdoa untuk suaminya. Ia memutar kilas balik hari di mana suaminya, Alex, diciduk di gubuk derita yang mereka tinggali sepuluh tahun belakang. Alex tua layaknya penjahat yang dibekuk malam itu. Alex ditendang sampai mengeluarkan bunyi mengerikan dari mulutnya. Di dalam gelap, Laura sudah berpikir kalau Alex sudah mati begitu tentara-tentara itu menendang perutnya kalau sampai Alex tidak bersuara, "Laura, aku masih bertahan."
Laura menendang-nendang udara di dalam gelap. Ia berusaha meraih tentara-tentara bajingan itu. Nyatanya, begitu Laura menyentuh mereka sedikit saja, Laura terhempas jauh ke belakang dan tubuhnya bertubrukan dengan benda-benda keras.
Laura menggeleng dari lamunannya dan menyingkirkan setitik airmata yang jatuh ke pipi. Alih-alih melakukan itu, Laura terkejut mendengar dentuman keras dengan cahaya yang menjulang ke udara dari kejauhan. Jantungnya yang sudah tak sekuat saat muda terkaget-kaget sampai wajahnya pucat. Laura melihat ke sekeliling dan mengusap dadanya, kemudian menenangkan diri dengan mengatakan, "semua baik-baik saja," dengan wajah Alex yang lebih jelas menyambangi kepalanya.
Laura sudah terbiasa dengan perut yang kosong seperti malam ini. Namun kali ini, begitu cacing di perutnya mengerang minta diisi, Laura buru-buru menghentikan langkahnya yang terseok-seok. Perutnya sedikit nyeri. Ia duduk di pasir pantai tanpa peduli apa yang ia duduki saat itu. Sambil membuka bungkusan kain yang ia genggam sejak tadi, Laura melebarkan matanya demi melihat makanan lezat yang diberikan oleh nelayan tua yang ia bentak tadi. Laura melahapnya hingga habis di bawah cahaya bulan yang berpendar. Hingga akhirnya Laura tua terlelap beralaskan pasir beratapkan langit, memimpikan Alex sedang menunggunya di pelabuhan.
***
Yang jelas pagi belum datang ketika tiga orang manusia bejat itu datang dan membawa si Laura tua dari pasir pantai tempat ia tidur, dan menyeretnya cepat-cepat ke semak belukar. Laura sudah mendengar orang-orang itu ketika mendekati tempatnya berbaring. Ia berpikir kalau hanya menutup mulut dan tak bergerak tidak akan membuat orang-orang itu sadar kalau dirinya tengah berbaring di sana. Begitu salah satu dari mereka menyadari bahwa ada seseorang di tempat itu, orang itu berteriak pada yang lain tanpa banyak berpikir. "Ada penyusup!"
"Jangan bergerak!"
Dua orang meloncat ke arah Laura dengan sigap sambil mengarahkan bedil mereka di kepala Laura. Salah satunya mengarahkan senter ke wajah Laura lalu berguman, "kali ini mereka menjadikan wanita tua sebagai mata-mata."
"Jauhkan benda ini dari kepala saya!" teriak Laura dengan suara parau.
"Diam!" kata yang menyenter sekali lagi. Belakangan ternyata namanya adalah Petrus. Dari arah yang lain, ada yang memerintah untuk menangkap Laura, namanya Henk.
"Ayo jalan!" Laura diperintah untuk berjalan di depan sedangkan dua dari mereka masih tetap mengarahkan bedil ke kepala Laura seraya berjalan di belakang. Mereka mendorong Laura ke depan ketika wanita itu berjalan lebih lamban dan tertatih. "Cepat!" sambil sesekali memukul bokongnya seperti kerbau. Laura hanya pasrah seraya menangis. Kalau memang ini adalah akhir hidupnya, ia sungguh rela.
Setelah melewati semak belukar dan bambu-bambu berduri, sampailah mereka di sebuah bivak. Ada yang berteriak dari bivak begitu melihat ketiga orang itu datang membawa seorang nenek. Petrus berbisik di telinga Jonas, orang yang menunggu di bivak. Jonas memperhatikan Laura lama, lalu bertanya "Siapa kau, nenek tua?" tanya Jonas yang ternyata adalah pemimpin dari ketiga orang yang membawanya.
"Saya hanya mencari suami saya, Tuan." Laura bersujud lemah di bawah kaki Jonas. Jonas melihat ketiga anak buahnya yang menggeleng. Mereka sepakat bahwa Laura telah membohongi mereka. Mereka cukup yakin bahwa Laura adalah mata-mata dari musuh.
"Kau mata-mata!" teriak Petrus yang paling pendek di antara mereka. Laura mencari sumber suara itu dan meyakinkan orang itu bahwa ia bukanlah mata-mata.