'Dia adalah hujan di musim kemarau'
“Sebentar lagi tahun ajaran baru. Aca udah siapin berkas buat kuliah? Udah pilih mau tes di kampus mana?” ucap seorang laki-laki yang sudah lanjut usia. beliau duduk di hadapan ke-tiga anaknya. Saat ini pandangannya sedang tertuju pada si bungsu.
Si bungsu yang paham betul dengan pertanyaan yang sudah ditanyakan berulang kali ini sepertinya sudah sangat malas untuk menjawab, gadis cantik itu hanya menggeleng pelan.
“Ini sudah kelulusan kamu tahun ke-berapa, Ca? Kapan lagi coba, mumpung sekarang Bapak sama Ibu masih sanggup buat bayarin kuliah kamu. Bahkan sampe S2 kalo kamu mau.”
“Aca udah bilang dari awal kan, Pak. Aca nggak sanggup buat nyambung ke Universitas, otak Aca nggak kuat, nggak enak juga kalo terpaksa, takutnya malah berhenti di tengah jalan. Aca juga nggak sepinter Mas-Masnya Aca, Bapak juga tau itu!”
Suasana ruang keluarga berubah hening, kedua Kakak Aca sudah paham betul bahwa sebentar lagi akan ada keributan antara Aca dan Bapak.
“Lihat Kakak-kakakmu, mereka semua Sarjana, dan sekarang jadi orang yang berhasil. Punya penghasilan yang pasti, yang bisa menjamin masa depan mereka, lagian orang yang lanjut belajar ke Universitas itu bukan karena mereka pintar, tapi karena mereka mau belajar untuk jadi pintar!”
“Bapak kan tau kalo sekarang, Aca, lagi ngembangin kafe, sama Saras sama Niken.”
“Mereka itu Sarjana, kalo kafe itu tutup mereka bisa kerja apa aja, lagian Saras sama Niken itu usianya di atas kamu, mereka juga sudah menikah, punya suami yang bisa tanggung jawab sama hidup mereka. kalo kamu? Kamu mau jadi apa, Ca?” setiap kalimat yang keluar dari mulut Bapak mulai menyakiti perasaan Aca.
“Ini maksudnya apa ya? Bapak, ngedoain kafe Aca tutup?” tanya Aca dengan sedikit sinis, yang langsung di jawab Bapak untuk meluruskan paham Aca.
“Bapak cuma ngasih tau kemungkinan terburuknya, makanya Bapak minta kamu kuliah, belajar lagi dulu, kalo udah punya bekal, kemana aja enak”
“Belajar bisa di mana aja, Pak. nggak harus di Universitas, Aca nggak sanggup, dan emang nggak mau juga!” Aca mulai menaikkan nada bicaranya.
“Tapi kalo kamu kuliah seperti Kakakmu, jadi Dokter, Dosen, kamu nggak akan pernah punya kemungkinan untuk bangkrut apalagi gagal.”
“Aca, bakal berusaha semampu, Aca. Kalaupun itu kejadian, Aca janji Aca nggak akan nyusahin, Bapak. Lagian semua orang punya gagal mereka masing-masing, gagal bisa dateng ke siapa aja, nggak peduli dia Sarjana atau bukan!” jelas Aca menatap mata Bapak dengan sangat tajam.
“Ca, lihat Mas Arya yang jadi Dokter, atau Mas Aryo yang jadi Dosen, mereka nggak ada kemungkinan untuk hidup susah kayak, Bapak dulu. Banting tulang cuma buat makan hari ini, kamu mau begitu?” Bapak menunjuk Kedua Kakak Aca yang diam mematung di sana, tanpa pikir panjang, Aca berdiri karena tersinggung dengan ucapan Bapaknya yang selalu membandingkan Aca dengan kedua Kakaknya.
“Terus Bapak nggak suka punya anak kayak Aca? Nyusahin, nggak kayak Mas-Mas Aca yang sukses, berhasil, jadi orang, gitu?”
“Aca, kalo ngomong sama Bapak nggak boleh gitu” ucap Aryo melihati Aca dengan tajam.
“Duduk, Ca,” suruh Arya, namun Aca masih berdiri menunggu jawaban Bapaknya, “Aisyah duduk, minta maaf sama Bapak.” Arya mengulangi kalimatnya, sambil menarik tangan Aca untuk duduk, tapi Aca menepis tangan Arya dengan cepat, Aca melanjutkan kalimatnya.
“Aca minta maaf karena Aca nggak tumbuh seperti apa yang Bapak mau. Aca bukan Dokter, Aca bukan Dosen, Aca bukan pegawai negeri yang hidupnya terjamin, Aca juga satu-satunya anak Bapak yang nggak pinter, tapi Bapak nggak usah khawatir toh Aca juga orang, kan? Walaupun bukan Dokter ataupun Dosen!” Aca berjalan meninggalkan ruang keluarga dan menaiki tangga menuju kamarnya.
Suasana ruang keluarga menjadi bisu, Arya dan Aryo hanya saling menatap takut, Bapak menarik napas panjang, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Bukan sekali keributan seperti ini terjadi, tapi sudah berulang-ulang sejak beberapa tahun lalu, Bapak pikir dia bisa mengubah keputusan Aca, nyatanya tidak.
-||-
Aisyah Hadiwijaya, begitu nama lengkapnya. Kita bisa memanggilnya dengan sebutan ‘Aca’, seperti panggilan dari keluarganya. Keluarga yang hidup dengan begitu sederhana. Tahun-tahun berat sudah pernah dilewati oleh keluarga, Aca. Masa kecilnya habis dengan ratapan sepanjang hari.
Dunia seperti sangat tidak adil untuk mereka, ketika semua anak bisa mendapatkan hadiah ketika mereka berulang tahun, bisa membeli mainan yang mereka suka, atau sekedar membeli makanan yang mereka mau dengan mudah, semua itu tidak untuk ke-tiga anak bernama belakang Hadiwijaya ini. Aca dan kedua Kakaknya harus hidup prihatin sejak mereka kecil, berhemat setiap hari, menabung sebanyak mungkin bukan untuk bisa membeli mainan impian mereka, tapi untuk membantu orang tua mereka membiayai pendidikan mereka sendiri.
Aca anak bungsu dari tiga bersaudara, satu-satunya perempuan. Ayah yang dipanggilnya dengan sebutan Bapak adalah seorang karyawan biasa, mereka hidup dari gaji perbulan yang tidak jarang membuat kekurangan. Seorang Ayah bernama Hadiwijaya ini adalah orang yang pekerja keras, apa saja akan beliau lakukan untuk keluarganya, beliau memiliki tiga orang anak yang harus dibesarkan, disekolahkan, semua yang terbaik harus diberikan untuk ke-tiga anaknya. Baginya keberhasilan anak-anaknya adalah hal yang utama, tidak peduli bekerja hingga larut, asalkan anak-anaknya tidak bernasib sama seperti dia.
Di dalam keluarga, Aca ‘Perintah Bapak’ adalah MUTLAK! tidak ada tawar-menawar, dari hari ke hari hak dan kewajiban terjadwal rapih, tidak boleh ada yang terlewatkan, apalagi tidak dilaksanakan.
“Caaa!" suara panggilan ini menggema di setiap sudut rumah, "Jaket, Mas Arya yang kemaren kamu pake mana?” Ini suara teriakan Arya Hadiwijaya, Kakak sulung Aca, 32 tahun, belum menikah, seorang Dokter yang sangat tampan, saat ini Arya bekerja sebagai, Spesialis Bedah Saraf di salah satu rumah sakit di Jakarta, tidak jauh dari rumah mereka.