Di hari-hari berikutnya, kesibukan memakan waktu dan menuakan orang tua yang terkadang mulai merasa sepi. Satu-satunya anak di keluarga ini yang masih menyempatkan diri untuk di rumah adalah, Aca. Sebab dia bekerja pada bisnisnya sendiri, bisa pulang kapan saja, meski tidak setiap waktu bisa begitu, setidaknya dia mewakili kedua Kakaknya untuk menemani orang tua mereka.
Hampir setiap pagi, Aca selalu menyempatkan diri untuk sarapan bersama orang tuanya. Setelah sarapan, Aca baru akan pergi menuju kafe. Seperti biasa untuk pergi kemana-mana, Aca tidak pernah menggunakan kendaraan pribadi, meskipun, Aca memiliki mobil sendiri, turunan dari, Arya, yang sekarang sudah membeli mobil baru. Aca hanya akan mengandalkan superhero yang siap sedia, alias ojek online. Jakarta itu memang harus ditembus dengan motor, Aca hanya akan menggunakan taksi online atau mobil sendiri, kalau cuaca hujan, selebihnya Aca jauh lebih bahagia bersama tukang ojek.
“Pak, pelan-pelan aja ya! Kafenya nggak jauh kok, jadi nggak perlu ngebut,” peringat Aca kepada driver ojol yang baru saja tiba.
“Siap Neng.” jawab driver yang sudah cukup tua itu, kemudian menjalankan motornya.
Bagi Aca, 60 Km/Jam itu sudah seperti akan menarik nyawanya saat itu juga. Barometer kecepatan yang paling cepat bagi Aca untuk menaiki motor adalah 40 Km/Jam itu sudah mentok, “Pak, jangan ngebut dong. Kan, tadi saya udah bilang!” Aca menepuk pelan punggung driver ojek itu.
“Ini biasa Neng, nggak ngebut.” jawab driver tua itu sambil sedikit melihat ke, Aca melalui spion motor.
Dan benar saja, tiba-tiba ban belakang motor itu pecah, membuat motor menjadi oleng, kemudian apalagi kalau bukan memaksa Aca berpelukan dengan aspal.
“Aw, tuh kan, Pak kita jatoh. Saya bilang juga apa pelan-pelan aja!” Aca menahan telapak tangannya yang mulai berdarah karena menahan tubuh di aspal, sepertinya terkena ujung batu yang cukup tajam.
“Maaf neng, maaf ya jangan marah, jangan laporin saya ke pihak perusahaan.” Bapak driver itu tidak memperdulikan motornya, dia hanya membungkuk di depan Aca, takut Aca marah dan melaporkannya ke perusahaan, dari wajahnya terlukis jelas bahwa beliau ketakutan.
“Saya nggak marah, Pak. Gimana, Bapak ada yang luka?” Aca melihati driver itu dari ujung kaki hingga ujung kepala.
“Nggak ada Neng, tapi itu tangannya Eneng berdarah,” Aca tersenyum mendengarnya, Bapak driver tua itu masih penuh dengan khawatir, Aca membuka tasnya dengan susah karena kini tangannya sudah penuh dengan darah.
“Gapapa, ini ongkosnya, sama uang buat benerin bannya ya, Pak. Saya jalan kaki aja, kafenya udah deket.” Aca tersenyum memberikan uang tiga ratus ribu ke tangan Bapak driver itu.
“Makasih ya Neng.” ucap Bapak itu, Aca hanya tersenyum.
“Hati-hati ya, Pak!” Aca bergegas berjalan untuk cepat tiba di kafe, bahkan berlari kencang, ketika Aca masuk ke dalam kafe. “Mbak Aca, kenapa Mbak?” tanya salah seorang karyawan yang melihat tangan Aca penuh darah.
“Gapapa kok tadi jatoh di depan, saya ke atas ya.” Aca berlari menaiki tangga dengan darah di tangan yang sudah membasahi bajunya, “Niken, Saras!” Aca mendorong pintu dengan kencang dan meneriaki nama kedua sahabatnya.
“Iya?” jawab Niken dan Saras kompak melihat ke arah pintu ruangan mereka. Ruangan itu tampak sedikit ramai, Aca berdiri bingung, bertambah dua orang laki-laki di sana, yang satunya, Yoga, suami Saras, dan satunya lagi entah siapa.
“Heh, Aca. Tangan lo kenapa?” teriak Niken, Niken adalah manusia dengan super kepanikan di atas rata-rata, Niken berjalan melihat Aca yang masih berdiri di dekat pintu.
“Jatoh dari ojek.” jawab Aca yang masih memperhatikan isi ruangan dengan wajah yang menahan rasa sakit.
“Hah? Terus gimana? Lo udah sering gue bilangin, kan? kalo nggak kita jemput ya naik taksi, jangan motor, bandel banget sih lo!” teriak Saras mendekat.
“Bisa tolong obatin dulu nggak? Ngomelnya pending bentar dong.” Aca merasakan tangannya mulai bergetar.
“Oh iya sini-sini!” Niken dan Saras menarik Aca untuk duduk dan mengobati tangan Aca.
Niken mengobrak-ngabrik isi kotak P3K yang ada di ruangan mereka, “Jangan langsung di kasih obat merah” teriak seorang laki-laki yang tidak Aca kenali itu. Niken langsung menghentikan tangannya yang ingin meneteskan obat merah pada luka Aca, “Kenapa? Caranya salah?” Niken ketakutan.
“Dicuci dulu tanganya, baru dipakein obat merah, terus diperban!” jelas laki-laki itu.
“Oh, ok.” Niken berdiri membawakan air untuk mencuci tangan Aca.
“Pelan-pelan dong!” teriak Aca menarik tangannya.
“Iya, bawel lo ah.” Saras memegangi tangan Aca dengan kencang, agar tidak bergerak.
“Itu kayaknya harus dijahit deh,” laki-laki itu membuat Aca terkejut dengan kalimatnya barusan, “Ha? Enggak lah, perban aja perban!” teriak Aca meyakinkan Saras dan Niken yang mengobati tangannya.
“Mau saya belikan obat? Saya tau obat yang bagus buat luka seperti ini,” laki-laki itu menawarkan untuk membelikan obat, sedangkan Aca dengan enteng menjawab, “Masnya, terbiasa luka ya? Tau semuanya” ucap Aca kesal sambil menoleh ke arah laki-laki itu.
“Ca, dia ini Apoteker. Jadi dia pasti tau lah tentang obat.” jelas Yoga, suami Saras, “Oh gitu” jawab Aca lembut, menahan malunya, “Saya beliin obat ya?” ulang laki-laki itu, menawarkan bantuannya.
“Enggak-enggak ngak usah, di rumah ada kok, nanti di rumah aja.”
“Ok.”
Setelah insiden itu selesai, tangan Aca berubah tebal dan berwarna putih, mereka semua duduk santai sambil menikmati kopi.
“Ca, ini Mas Yohan. Temennya, Mas Yoga.” Saras memperkenalkan laki-laki yang tadi ingin membelikan obat untuk Aca.
“Yohan,” sebut Yohan memperkenalkan namanya ke Aca.
“Saya Aisyah, Mas.” ucap Aca tersenyum memperkenalkan dirinya.
“Bukannya kata, Saras nama kamu Aca?” tanya Yohan heran, melihati Saras dan Yoga.
“Iya, Aca itu panggilan, nama aslinya Aisyah.” Aca mencoba menjelaskan, membuat Yohan tersenyum, “Oh, bagus namanya.”
Secangkir kopi habis, makan siang juga sudah selesai. Yohan dan Yoga, pamit untuk kembali bekerja, sedangkan di ruangan itu tersisa Aca dan kedua sahabatnya yang siap menginterogasi Aca habis-habisan. Setelah Yoga dan Yohan keluar, Aca menyadari akan terjadi sesuatu pada dirinya.
“Gimana-gimana ganteng, kan?” tanya Niken yang langsung duduk di sebelah Aca, Aca mengeluarkan ekspresi seolah mengatakan “Nah kan bener kata gue, bakal diinterogasi.”
“Gue ketemu yang ganteng udah biasa, Kakak gue dua-duanya juga ganteng jadi biasa aja!” jawab Aca santai.
“Dia baik, Ca!” tambah Saras ingin meyakinkan Aca, bahwa Yohan sangat pantas dimiliki.
“Kakak gue juga orang baik kali.” Aca mulai membuat kedua sahabatnya sebal.
“Dia Apoteker, Ca!” timpal Niken, menyambung untuk meyakinkan Aca.
“Kakak gue Dokter, Niken.”
“Ah!!” teriak Niken frustasi, “Kalo mau cari yang di atas Kakak lo mah susah, Ca.” Niken menyerah, menyenderkan tubuhnya ke sandaran kursi.
“Lah, siapa bilang gue nyari orang yang lebih dari Kakak gue?”
“Terus lo nyari yang gimana?” tanya Saras penasaran.
“Gue nggak pernah nyari, sedatengnya aja, tapi yang pasti gue selalu berdoa semoga yang dateng nanti itu adalah orang yang tepat dari, Tuhan buat gue. Ngerti lo berdua?”
“Nah, mungkin ini udah dateng, sih, Yohan.” Niken kembali bersemangat.
“Ya nggak tau, liat aja nanti!” Aca menaikkan kedua bahunya.
“Gue yakin dia jodoh lo, Ca!”
“Apaan sih yakin-yakin, lo berdua kenapa ngebet banget gue nikah sih? Gue tuh baru 23 tahun, nyantai aja.”
“Ya bukan ngebet, kepengen aja liat lo happy, punya orang yang bisa dengerin semua isi kepala lo yang runyam itu, atau ikut mikul beban di pundak lo yang kayaknya makin hari makin berta aja tuh.”
“Emang kalian nggak bisa jadi orang itu?” tanya Aca.
“Kita mah beda, Ca. Ada batesnya, kalo pacar atau suami kan enggak!”
“Hm.” Aca tersenyum dan kembali fokus ke laptopnya.
Setelah obrolan panjang tadi, mereka kembali mengerjakan tugas masing-masing, Kafe yang sudah dibuka kurang lebih 3 tahun ini masih terus menunjukkan perkembangan pesatnya, dari awal hanya ada dua orang karyawan dan mereka bertiga, sekarang mereka sudah punya sepuluh karyawan yang dibuat dua sift, dan mereka bertiga hanya duduk santai, mengatur keuangan saja.
-||-
Di tempat lain dua orang laki-laki sedang sibuk berbincang di dalam mobil dengan serius, “Lo mau kan, Ga?” tanya Yohan ke Yoga, saat mereka dalam perjalanan kembali dari kafe Aca.
“Lo tanya sendiri aja kenapa sih, takut?” ledek Yoga.