Sudah lebih dari tiga hari dari kejadian menegangkan yang meninggalkan bekas pada tangan Aca. Hari ini, Aca sudah bisa kembali bekerja, kembali datang ke kafe seperti biasanya, bekas jahitan yang masih membekas itu akan menjadi sejarah, dan tertanam dengan pekat pada ruang memori Aca.
“Wih, akhirnya nongol juga!” teriak Niken yang melihat Aca masuk ke dalam ruang kerja mereka.
“Assalamu’alaikum, wahai Ibu-Ibu,” Aca meledek sambil tersenyum licik.
“Wa’alaikumussalam, wahai jomlo abadi!” ledek balik dari kedua sahabat Aca, yang memberikan senyum tak kalah liciknya.
Aca berjalan menuju kursinya, meletakkan tasnya dengan sedikit kencang, Aca menatap kedua sahabatnya dengan tatapan mematikan, “Hm, tega ya lo berdua. Gue sakit bukannya dibesuk, dibawain buah, malah ditanyain yang aneh-aneh, mau lo berdua apa, hah?” kebetulan, tiga hari lalu semenjak Aca sakit, Saras dan Niken tidak bisa membesuk Aca ke rumahnya, hanya memantau dari jauh sambil sedikit memberikan pertanyaan-pertanyaan yang sedikit aneh kepada Aca.
“Emang pertanyaan kita aneh?” tanya Niken mendekati Aca.
“Menurut, Ngana1?” Aca melirik ke arah samping, karena Niken duduk di samping Aca.
“Yaudah! Gue jujur aja deh ya sebenernya, Yohan nanya-nanyain soal lo mulu ke kita, walaupun kita udah tau semua jawabannya, tapi biar nggak salah ya kita tanya langsung ke lo.”
“Wajar nanyanya pada aneh, pake segala visi misi hidup lo berdua tanyain ke gue. Emangnya itu sih, Yohan ngapain nanyain gue? Panitia Sensus penduduk dia?” Aca terlihat sangat kesal, tapi kedua sahabatnya justru merasa senang, akhirnya ada laki-laki yang berani mendekati Aca, setelah bertahun-tahun jomlo.
“Dia kayaknya suka deh sama lo,” Niken menghadapkan wajahnya ke Aca, sambil melipat kedua tangannya di meja.
“Terus kenapa nggak bilang ke gue kalo suka?” tanya Aca.
“Ya mungkin dia nyari tau tentang lo itu, buat nentuin kalo kalian itu cocok atau enggak.” jelas Saras mengarang.
“Loh, nggak adil dong kalo gitu,” Aca menaikkan nada suaranya.
“Kenapa nggak adil?” tanya Niken yang kembali merubah posisi duduknya.
“Ya sekarang gini ya, dia nanya-nanya soal gue, sampe pada akhirnya dia tau semua tentang gue, sedangkan gue? Sejengkal pun, gue nggak tau tentang dia, gimana bisa dia mau nyimpulin kalo kita bakal cocok atau enggak? Dia pikir kalo dia suka sama gue, terus ngerasa cocok sama gue, gue langsung mau gitu sama dia?” jelas Aca.
“Lah iya juga ya, bener nih bocah ngomong!” kata Saras tersadar.
“Gue juga baru kepikiran.” sambung Niken.
“Makanya lo berdua jangan mau aja disuruh-suruh orang, tanyain dulu maksudnya apa? Tujuannya apa? Kalo dia emang suka, harusnya dia bilang dulu ke gue, atas persetujuan gue baru kita bisa saling cari tau tentang satu sama lain lewat kalian gini, nggak main langsung tanya-tanya aja!” mendengar penjelasan Aca, Niken berdiri dan bertepuk tangan, “Waduh gila, ini nih pelajaran yang lo dapet dari komunitas lo yang panjang banget itu? jadi pinter gini?”
“Rese lo, gue serius nih.” Aca menurunkan tangan Niken yang bertepuk.
“Hahaha!!” Niken tertawa tanpa dosa.
“Iya-iya, yaudah nanti gue bilangin gitu deh ke Yohan!” sambung Saras.
“Tapi ngomong-ngomong, dia nanya soal apa lagi tentang gue?” Aca mulai merasa penasaran.
“Ye, katanya nggak suka di tanya-tanya, sekarang penasaran.” Aca hanya menahan rasa malunya, berpura-pura tidak peduli saat Niken meledeknya.
“Banyak, pendidikan lo, kerjaan lo, orang tua, keluarga, dia juga nanya lo pernah pacaran apa enggak, hoby, sifat, banyak deh pokoknya.” jelas Saras.
“Waw, hampir semua tentang hidup gue dia tanyain?” teriak Aca.
“Iya, tapi ya dari semua jawaban yang kita kasih kayaknya semua tentang lo dia suka.”
“Masa?” Aca merasa heran.
“Beneran, bahkan pas gue bilang kalo lo itu orang yang prinsipnya nggak bisa diganggu gugat, dia malah bilang kalo itu yang dia cari!”
“Maksudnya?”
“Ya kata dia jaman sekarang udah susah nyari perempuan dengan prinsip sekuat lo, kebanyakan takut ngambil keputusan, sampe harus menjalani sesuatu yang sebetulnya mereka sendiri nggak suka.”
“Oh gitu, terus apa lagi?” tanya Aca semakin penasaran.
“Udah itu doang, oh ya dia nanya lo udah siap nikah atau belum? Gue langsung jawab aja udah!” ucap Saras dengan tersenyum lebar.
“Dih, nggak nanya gue dulu?”
“Tapi lo siap, kan?”
“Gatau ah gue males mikir kesana, orang dianya aja nggak jelas cuma nanya-nanya.”
“Kalo dia serius gimana? Lagian lo nggak ada orang lain ini yang ngedeketin sekarang.”
“Sebelum dia ngomong, gue nggak akan percaya, siapa tau tanya-tanya dia cuma buat ngelepas rasa penasaran.” ucap Aca sambil keluar dari ruangan menuju lantai bawah untuk mengecek karyawannya melayani para pembeli.
-||-
Saat sedang mengecek semua isi kafe, mulai dari dapur, karyawan, tempat istirahat, para tamu, Aca meminta untuk dibuatkan secangkir kopi kesukaannya dan duduk bersantai di salah satu meja untuk tamu.
“Ini Mbak, kopinya” secangkir cappucino hangat.
“Makasih ya, Put.” ucap Aca kepada karyawannya yang mengantarkan kopi. Saat sedang santai menikmati secangkir kopi sambil mendata kebutuhan kafe yang kurang, seseorang mendekati Aca, berdiri di depan meja Aca, seraya menyapa, “Hai” suara yang jelas-jelas sedang menyapa Aca, seperti tidak asing di telinga, Aca seperti mengenali suara ini.