Sudah hampir sebulan berlalu, hari-hari terlewat seperti itu saja, hanya diiringi dengan tanya-tanya yang sepertinya tidak akan ada kesudahannya. Laki-laki bernama Yohan itu mungkin memang tidak akan pernah menyatakan apa-apa pada Aca, tapi sayangnya Aca sudah lebih dulu melayang tinggi, berharap penuh pada tanya-tanya itu, berharap akan segera ada hilal di ujung waktu, alias semoga Yohan segera mengatakan apa maksudnya.
Tapi rasanya semakin ditunggu, semakin tidak ada kejelasannya, semakin hari hanya tersisa senyum-senyum dari kejauhan saja, bahkan tanya-tanya yang dulu kini berubah hambar tanpa rasa. Aca yang menaruh rasa mulai merasa dipermainkan. Begitulah perempuan, merasa diberi harapan palsu meskipun laki-laki belum mengatakan apa-apa, padahal baru ditanya-tanya saja, entah kenapa cinta begitu mudah datang pada hati wanita.
“Eh, ada Mas Iqbal?” Aca mendekati ruang tamu rumahnya. Oh ya kita perkenalkan dulu orang yang baru muncul ini, Namanya Iqbal Suseno, orang asli Makasar, usianya sama seperti Arya, kakak pertama Aca, seorang Arsitek, dan anak angkat Bapak sejak 5 sampai 6 tahun yang lalu.
“Ca, apa kabar?” tanya Iqbal menyapa Aca dengan senyum sumringah yang menawan. Iqbal begitu tampan, sepertinya Pak Hadi, Bapaknya Aca ini, memang mewarisi banyak kebaikan, bukan hanya kepada anak kandungnya, bahkan anak angkatnya juga mewaris ketampanan Pak Hadi.
“Baik Mas, Mas Iqbal gimana? Udah lama nggak main kesini?” Aca bertanya ramah, “Atau sibuk sama pacarnya yah?” Aca meledek.
“Baik, biasa lah lumayan sibuk, sekarang aja nyempet-nyempetin kangen sama Bapak, sama Ibuk, sama kamu juga.” ucap Iqbal tersenyum, tanpa mengubris ledekan Aca.
“Sering-sering main dong makanya!” kata Aca.
“Ca, sekarang Iqbal lagi ngerjain proyek apartement di Palembang, jadi jarang pulang ke Jakarta.” jelas Bapak, membuat Aca takjub pada kerja keras anak angkat Bapaknya ini.
“Waw keren dong, bisa makan pempek setiap saat di Palembang.”
“Hahaha!! Kamu mau? Itu Mas Iqbal bawain, udah dibawa masuk sama Ibu.”
“Beneran, mau lah Aca doyan banget tuh.”
“Berarti oleh-oleh Mas Iqbal nggak salah ya, Ca?”
“100 persen betul, hehehe!!” mereka semua tertawa,
“Oh iya, Aca pamit ya,” Aca menyadari bahwa niat dia keluar dari kamar adalah untuk pergi ke kafe.
“Iya” jawab Bapak yang tahu akan kemana Aca pergi.
“Mau kemana, Ca?” tanya Iqbal.
“Biasa, ke kafe Mas.” jawab Aca menggendong tas yang dia bawa,
“Mas Iqbal anter ya?” tawar Iqbal dengan sigap.
“Yah telat, ojolnya Aca udah di depan, lain kali ya! Yaudah Aca pamit ya, Assalamu’alaikum.” Aca menyalami Bapaknya dan tersenyum pada Iqbal, kemudian berlari keluar rumah.
Dulu, hampir sebulan atau dua minggu sekali Iqbal bisa main ke rumah Aca, tapi semenjak kesibukannya yang luar biasa, sekarang menjadi lumayan jarang, Iqbal juga sangat akrab dengan Kakak-kakak kandung Aca, dan satu lagi, sejak dulu kalau Iqbal datang Arya dan Aryo akan mengejek Aca kalau sebetulnya, Iqbal itu suatu saat akan dijodohkan dengannya.
-||- -||-
Setelah sampai di kafe, Aca menjadi bos pertama yang tiba, karena Niken dan Saras entah sedang berjuang melawan macet di daerah mana, yang pasti mereka tidak akan tiba dalam waktu dekat. Aca langsung membuka laptopnya dan sibuk dengan pekerjaannya.
“DOR" suara teriakan Saras yang membuat secangkir cappucino nikmat Aca tumpah ke lantai.
“Ahhh!! Saras. Bukannnya salam, jadi tumpah kan.” Aca merengutkan wajahnya, tidak ikhlas kopinya tumpah.
“Yaudah sih tinggal diganti, santai aja Mbaknya!” Saras menunjukkan wajah tanpa dosa.
“Hm, Niken mana? Tumben nggak bareng?” tanya Aca karena memang setiap hari Niken dan Saras itu akan berangkat dan pulang bersama karena mereka hidup bertetangga.
“Tadi kata dia ada urusan di luar bentar, jadi dia pergi sendiri.”
“Lah tumben banget, jadi gimana nih meetingnya molor lagi dong?”
“Sabar nyantai dulu, oh ya nanti yang presentasi suruh Niken aja kali ya?”
“Oh itu mah wajib!” mereka bertiga sedang menyiapkan presentasi di depan investor mereka.
Hari hampir menuju siang, batang hidung Niken tidak terlihat juga. Entah nyasar kemana dia, tebakan Aca dan Saras tidak lain ke salon, karena Niken adalah perempuan terajin dalam perawatan diri, tidak heran kenapa dia cantik.
“Hai guys?” sapa Niken yang tiba-tiba membuka pintu masuk ruang kerja.
“Em, akhirnya dateng juga. Abis dari salon mana, Buk? Jauh banget kayaknya?” tanya Saras, melihati langkah Niken menuju tempat duduknya.
“Atau jangan-jangan lo perawatan di Bali kali ya?” ledek Aca, sedangkan Niken hanya tersenyum paksa, menunjukkan wajah lelahnya.
“Udah, nggak usah sok capek, abis nyalon juga lo, paling pegel-pegel dikit abis melawan macet,” ucap Saras tidak terima melihat wajah Niken yang di tekuk, “Yaudah yok ini mulai kerjain, nih konsep yang kemarin, parkirannya gimana ni, terus ini biayanya gimana Ken?” sambung Saras, menunjukkan konsep kafe yang ada di laptopnya ke Niken.
“Gue ... abis dari pengadilan Agama.” ucap Niken tiba-tiba, membuat Saras dan Aca berhenti sejenak, mereka menatap ke arah Niken secara bersamaan. Aca menggigit bibirnya, merasakan sesuatu yang aneh dari yang dia dengar, “Nawarin kopi?” Saras bertanya, dengan harapan bahwa yang mereka dengar adalah candaan.
“Ngajuin cerai.” jawab Niken dengan mata yang mulai merah, mendengar kalimat itu, Aca menelan ludahnya, tidak percaya.
“Becanda lo, jangan main-main sama kata-kata itu!” tegas Saras, tapi tiba-tiba Niken meneteskan air mata.
“Gue nyerah.” Niken menutupi wajahnya dengan kedua tangan, tangisnya pecah.
“Ken, Lo nggak becanda? Kenapa?” tanya Aca lembut.
“Dewo selingkuh?” tanya Saras.
“Ken?” lirih Aca lemah, agar Niken mau membuka semuanya dengan jujur, “Kalo lo nggak cerita penyebab kalian begini apa, gimana kita bisa bantu lo?” sambung Aca.
“Semalem kita ribut parah, semua botol minuman dia gue pecahin ke lantai, gue pengen dia berubah, tapi dia lebih cinta sama dunianya. Semalem dia cabut dari rumah, balik ke apartement kayaknya, tapi semalem sebelum dia pergi, gue bilang mau pisah terus dia bilang bagus, biar hidupnya nggak terbebani lagi dengan gue, istri yang nggak pernah nurutin apa maunya dia,” jelas Niken sambil mengatur suaranya yang mulai serak karena menangis sesegukan.
“Botol minuman keras?” tanya Aca, “Bukannya dari awal lo tau kalo dia pecandu alkohol? Dan dulu lo bilang kalo itu bukan masalah, terus kenapa sekarang jadi masalah?” sambung Aca bertanya.
“Bukan alkoholnya, Ca, tapi kasarnya dia yang buat semuanya jadi masalah.”
“Maksudnya?” tanya Aca dan Saras kompak.
“Iya, dulu gue nyoba berusaha nerima dia, gue nggak peduli dia mau tatoan, nggak peduli juga kalo dia pecandu alkohol, selama dia sayang sama gue, semuanya bukan masalah, tapi ternyata dia nggak sayang sama gue, dia lebih sayang sama dunianya, bukan sama gue.”
“Dunianya? Apasih maksudnya, gue nggak paham, Ken.” tanya Aca heran.
“Club, Judi, dan dia yang selalu kasar sama gue,” Niken membuka blazer panjangnya, terlihat lebam-lebam biru di lengannya, bahkan ada satu luka yang cukup panjang di dekat pinganggnya, seperti bekas sebatan dari sesuatu, ikat pinggang sepertinya, "Ini ... dunia yang sekasar ini." Niken meneteskan air matanya.
“HA?” Aca dan Saras benar-benar terkejut melihat luka-luka itu, mata keduanya berubah merah, merasakan sakit yang dirasakan oleh Niken.
“Semalem dia pukulin gue ... dan ini bukan sekali, selalu setiap dia marah, entah sama gue atau sama apapun, gue selalu jadi pelampiasan dia.”
“Ken ... kenapa lo nggak bilang dari dulu? Kenapa lo bertahan buat laki-laki yang bahkan nggak peduli sama lo? Lo bisa mati dipukulin sama dia kalo gini caranya.” Aca menahan sesaknya, menahan amarah yang muncul tiba-tiba itu.
“Gue takut, Ca. Gue takut kalo gue pergi dari dia, dia semakin berantakan. Gue pengen dia berubah, gue pengen dia bahagia, tapi gue nggak ngerti harus gimana?”
“Dengerin gue, Ken! sebelum kita mau membahagiakan orang lain, bahagiain dulu diri kita! Hal seperti itu wajib di dunia, bukan berarti kita egois.” sambung Aca.
Kalimat itu adalah bagian dari prinsip Aca, “Bahwa sebelum membahagiakan orang lain, kita harus terlebih dahulu membahagiakan diri kita sendiri!!” itu sebabnya Aca tidak pernah melakukan apa-apa yang bertentangan dengan hatinya, dia hanya akan melakukan apa yang disetujui oleh hatinya, karena baginya “Melakukan sesuatu tanpa cinta sama saja seperti melangkah tanpa arah.”