Keributan pagi itu membuat banyak perubahan di dalam keluarga Aca, semua isi rumah berubah, tidak sehangat biasanya. Sudah hampir seminggu ini Aca selalu pergi dari pagi hingga larut malam, Bapak menjadi sangat pendiam, Ibu juga begitu, Arya dan Aryo lebih suka menghabiskan waktu mereka di tempat kerja, sambil memikirkan setiap kalimat yang pagi itu keluar dari mulut Aca.
Sampai pada akhirnya, Bapak memilih untuk berhenti mengusik keinginan Aca, membiarkan apa saja yang sudah menjadi pilihan hidup Aca, Bapak juga berpikir bahwa membiarkan Arya dan Aryo dengan jalan mereka sendiri juga harus dilakukan.
“Aku keterlaluan ya, Bu? Sama anak-anak?” tanya Bapak saat duduk di halaman belakang rumah, ditemani oleh Ibu.
“Aku tau, kamu melakukan itu karena kamu peduli sama masa depannya anak-anak, tapi jadi orang tua juga bukan berarti memberi kita hak untuk mengatur harus jadi apa anak-anak kita.” jawab Ibu memandang wajah Bapak yang terlihat sangat sedih.
“Jadi aku kurang baik ya jadi, Bapak? Aku jahat ke mereka, ke Mas Arya, Mas Aryo, apalagi ke Aca.”
“Pak, kamu udah ngasih yang terbaik yang kamu punya, kamu suami yang hebat, dan Bapak yang luar biasa untuk anak-anak!”
“Tapi anak-anak nggak suka sama sikapku.”
“Satu doang yang nggak disuka, selain itu mereka suka, anak-anak kita itu udah tumbuh dewasa. Wajar untuk mereka punya jalan yang mau mereka tempuh sendiri, tugas kita mengawasi, dan menangkap mereka kalau mereka jatuh, bukan memaksa mereka ikut jalan kita.”
“Bu, aku sayang anak-anak, aku ... takut mati terlalu cepat dan takut saat mereka jatuh, aku justru nggak bisa menangkap mereka.”
“Syuuut, Bapak nggak boleh bicara seperti itu. Dengerin Ibu baik-baik, kita akan terus sama-sama, sampe kita lihat mereka satu-persatu bahagia ya, Pak!” Bapak hanya mengangguk dan jatuh ke pelukan Ibu, terlihat air matanya mengalir dalam dekapan Ibu.
-||-
Di sisi lain Aca sedang duduk berdua dengan seorang laki-laki di kafenya, dari seri wajahnya Aca tampak sangat bahagia mendengar setiap lelucon yang dikatakan orang itu, “Sering-sering kesini lah Mas, biar ada yang ngelucu!” ucap Aca setelah mengatur napasnya dari tawa terbahak-bahak.
“Kalo aku ngelucu terus di sini, kerjaan aku di proyek siapa yang jalanin?” tanya lelaki yang duduk di hadapan Aca itu.
“Ya suruh anak buahnya lah,” Aca tersenyum kemudian menyeruput secangkir cappucino di hadapannya.
“Ca, maaf ya udah ngebuat kamu sama Bapak jadi berantem gini. Mas Iqbal jadi nggak enak!” laki-laki itu adalah Iqbal, Iqbal menggenggam tangannya sendiri karena merasa sangat tidak enak.
“Gapapa, lagian Aca sama Bapak sering banget ribut soal beginian kok, jadi santai aja.”
“Oh ya, kamu udah punya pacar sekarang?” topik pembicaraan tiba-tiba berubah, membuat Aca tersentak mendengar pertanyaan barusan.
“Tiba-tiba banget langsung nanya kesitu, nggak punya. Mas Iqbal sendiri gimana?”
“Sama, nggak punya juga. Kenapa Aca belum punya pacar? Perasaan dari dulu belum pernah pacaran ya?” tanya Iqbal tersenyum, mulai merasa bahwa ada kesempatan untuk mengubah posisinya dari anak angkat menjadi anak menantu Pak Hadi.
“Abisnya nggak ada yang mau sih.” Aca tersenyum, membuat Iqbal memiliki kesempatan untuk memancing perasaan Aca.
“Masa sih, cantik gini nggak ada yang mau?”
“Hahaha!!” Aca tertawa, “Aca sibuk Mas, banyak yang harus dipikirin, nggak sempet buat buang-buang waktu haha hihi pacaran.”
“Nanti nggak nikah-nikah dong?”
“Ya kalo udah ada orangnya mah, dan udah jodoh pasti nikah, lagian aca masih 23 nggak buru-buru juga.”
“Kalo aku yang jadi orang itu gimana, Ca?” tanya Iqbal serius, tapi dibalas dengan senyum canda dari Aca.
“Emang adik kakak boleh menikah?” tanya Aca bercanda.
“Aku serius, Ca. Aku sayang sama kamu, kalo kamu mau, aku bisa langsung bilang ke Bapak.” Iqbal menambah serius kalimatnya. Sedangkan Aca berubah diam mengeluarkan ekspresi datar, matanya menatap tajam tapi terlihat kosong, pikirannya memunculkan satu wajah. Wajah yang akhir-akhir ini membuatnya selalu tersenyum bila diingat, yang berhasil membuat Aca jatuh cinta dan berharap di setiap tanya-tanya nya, dalam sekejab hati Aca berkata bahwa dia harus menunggu, menunggu Yohan untuk berbicara, menunggu Yohan untuk mengatakan perasaannya, hatinya ingin menunggu Yohan.
“Hm ... Aca nggak bisa Mas.” jawab Aca tersenyum namun mencoba menahan hati karena melihat ekspresi Iqbal yang seolah langsung menunjukkan bahwa kecewa dengan jawaban Aca.
“Kenapa? Sudah ada orang lain ya, Ca?” pertanyaan ini membuat Aca berpikir keras.
“Aca ...” Aca mencari kata yang tepat agar tidak menyakiti hati Iqbal.
“Kamu jatuh cinta sama orang lain?” tanya Iqbal lagi.
“Iya, Aca jatuh cinta sama orang lain dan sekarang Aca lagi nunggu orang itu. Hati Aca udah buat dia Mas, maaf!” Aca memutuskan untuk berkata jujur.
“Kalo dia nggak dateng?” Iqbal berharap tetap bisa masuk ke hati Aca.
“Dia pasti dateng!”
“Hm ... yaudah. Selama kamu seneng aku juga seneng, Ca. Semoga dia dateng ya.”
“Makasih ya, Mas.”
“Kalo gitu aku pamit ya.” Iqbal berpaling begitu saja, Aca tahu itu pasti menyakitkan untuk Iqbal, tapi harus bagaimana lagi, Aca sudah lebih dulu jatuh cinta pada orang lain. Aca, jatuh cinta pada setiap tanya yang diajukan Yohan pada teman-temannya, dan percayalah ini pertama kali hatinya berkata untuk menunggu.
-||-
Setelah Iqbal berlalu dari kafenya, Aca di jemput Niken dan Saras untuk pergi menuju tempat mediasi Niken dan Dewo. Setelah tiba di tempat itu, Niken masuk bersama pengacaranya, sedangkan Aca dan Saras setia menunggu di depan ruang mediasi, duduk dengan tenang, walupun hati mereka berdebar ketakutan.
“Kenapa lo bengong?” Saras menyenggol Aca dengan sikunya, membuat Aca tersadar.
“Gapapa.” jawab Aca singkat dan kembali melamun.
“Santai aja! Niken pasti baik-baik aja di dalem sana.” Saras tersenyum mencoba menenangkan Aca. Memang di antara ketiga orang sahabat ini begitu lengkap, Niken adalah ratu kecantikan dengan tingkat kepanikan di atas rata-rata, Saras yang begitu dewasa, paling keibuan, dan kalimatnya selalu menenangkan, kalau Aca, dia yang paling kecil tentu saja, memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi, serta satu-satunya perempuan di antara mereka yang mengedepankan logika.
“Oh ya, semalem Mas Yohan ke rumah gue.” Sambung Saras memberikan informasi. Aca menoleh kaget, tapi berusaha untuk terlihat tidak peduli, walaupun hatinya ingin berteriak, berharap bisa menginterogasi Saras, “Ngapain?” Aca berpura-pura tidak peduli.
“Nanyain lo.”
“Hm masih aja, kali ini tentang apa?”
“Katanya dia setiap pagi ke kafe, tapi udah lama nggak ngeliat lo. Dia nanya lo kemana? terus nanyain keadaan lo? katanya dia takut lo jatuh dari ojek lagi.”
“Oh!” jawab Aca singkat, tapi hatinya berkata, “Yes” rencana Aca seolah berhasil, membuktikan bahwa Yohan mengkhawatirkan dia atau tidak.
"Kok, oh doang sih?” Saras kecewa.
“Dia kenapa nggak langsung nanya ke gue sih? Lo kasih nomer gue gitu, terus suruh ngomong langsung ke gue, atau lo kasih alamat rumah gue terus temuin gue!”
“Udah dari dulu gue kasih nomer lo, dia juga tau alamat rumah lo.” jelas Saras.
Aca terdiam, menoleh ke arah Saras, “Terus kenapa nggak ngehubungin gue coba?” tanya Aca heran.
“Ya maklum, Ca! mungkin menurut dia waktunya belum tepat kali.” jawaban yang sangat tidak Aca inginkan.
“Udah berbulan-bulan gini, masih belum nemu waktu yang pas? Parah, bahkan dia udah berhasil buat gue suka, cuma dengan tanya-tanya dia tentang gue doang, dan dia belum juga mau ngomong? Arh!!” Aca mengepalkan tangannya dan memukullkannya di pahanya sendiri.
“Lo suka sama, Mas Yohan?” Saras memandang mata Aca dengan jarak dekat.
“Kayaknya!” Aca menjawab lalu memutar matanya.
“Kok kayaknya sih?”
“Ya gimana emang baru kayaknya." Aca menatap kosong ke depan. Namun, Saras tetap merasa takjub dengan Aca, “Waw, cuma dengan nanya-nanya soal hidup lo, Yohan bisa ngebuat lo suka sama dia. Ini rekor coy!” Saras bertepuk tangan.
“Tapi kayaknya dia cuma iseng deh, ah mana gue udah terlanjur berdebar lagi.”
“Sabar! Lagian lo tenang aja dia itu nggak mungkin iseng, bisa jadi emang belum waktunya aja.”
“Sampe kapan? Sampe gue di colong orang lain? Maksud gue, seenggaknya dia itu ngomong ke gue tentang perasaan dia, terus kasih tau gue maksud dari semua pertanyaan dia tentang gue. Biar gue nggak nebak-nebak gini, gue beneran takut kalo ternyata dia emang beneran iseng, dan ujung-ujungnya gue jatuh cinta sendirian, gue nggak mau patah hati karena harapan.”
“Enggak lah, Ca! Mana mungkin Mas Yohan iseng, nggak ada kerjaan banget dia iseng sampe ke rumah gue, lagian diliat dari umur juga nggak cocok, emangnya anak SMA pake acara iseng-isengan soal perasaan.”
Obrolan itu tiba-tiba terputus ketika pintu ruang mediasi terbuka, Niken keluar dari pintu itu disusul dengan pengacaranya dan tidak lama kemudian keluar Dewo juga pengacaranya, “Bang makasih ya, maaf banget saya buru-buru soalnya ada urusan lain, saya duluan ya.” Niken menyalami pengacaranya.
“Ok-ok, nanti kita kabaran lewat telepon ajalah.” jawab pengacara Niken dengan logat bataknya yang sangat khas dan tersenyum ramah.
“Permisi ya Bang.” Niken menarik Aca dan Saras untuk segera meninggalkan tempat itu dan bergegas menuju parkiran, tidak lain tidak bukan hal itu dilakukan untuk menghindari Dewo, tapi siapa sangka, langkah cepat tiga orang perempuan itu dikalahkan oleh Dewo, tiba-tiba saja Dewo sudah berada di belakang mereka.
“Niken?” panggil Dewo sambil terus berjalan mendekat ke arah Niken, dengan sigap Aca pasang badan untuk melindungi Niken, Aca langsung berdiri di hadapan Niken menghalangi pandangan Dewo.
“Gue nggak akan nyakitin Niken, gue cuma butuh ngomong.” Aca sedikit menyingkir ke samping, memberi ruang untuk Dewo menyampaikan kata-katanya ke Niken.
“Aku mau minta maaf buat semuanya.” ucap Dewo saat berada di hadapan Niken, matanya sedikit berkaca-kaca.
“Aku mau bilang makasih juga buat semua yang kamu kasih ke aku, kesabaran kamu, cinta kamu, sayang kamu, aku beruntung pernah ngerasain semua itu,” wajah Dewo berubah menyedihkan, “Dari Awal aku yakin hari ini pasti terjadi, dari awal juga aku udah bilang ke kamu, kalo aku orang yang buruk, aku alkoholik, aku tempramen, aku kasar, aku pemarah, tapi kamu tetep bertahan buat aku Ken, kamu percaya sama orang yang salah, aku nyakitin kamu.” sambung Dewo membuat air mata jatuh deras ke pipinya Niken, begitu juga dengan Aca dan Saras yang mulai meneteskan air mata.
“Keputusan kamu udah bener, pisah dari aku adalah jalan terbaik untuk melindungi diri kamu dari orang seburuk aku, Ken.” Dewo memandang Niken dengan dalam, masih terlihat cinta di matanya, ada terselip kasih sayang yang begitu tulus di sana, “Aca, Saras, gue titip Niken ya, jagain dia, jangan biarin ada orang sebrengsek gue lagi yang berani nyakitin dia” kalimat itu membuat Niken semakin tersedu, “Aku pamit, Ken.” Dewo melangkah mundur meninggalkan Niken dengan senyumannya.
“Wo?” panggil Niken dengan tersedu, “Dewo??” Niken berjalan mendekati Dewo, “Aku sayang sama kamu, aku cinta sama kamu, tapi percuma kalo cuma aku yang berjuang, cinta itu dilakoni oleh dua orang yang saling mencintai, bukan yang satunya bertahan dan satunya pengen pergi.” Niken menatap Dewo sangat dalam.
“Maafin aku, Ken!” ucap Dewo pelan.
“Hm ... jaga diri baik-baik ya! Kita sama-sama sendirian di dunia ini, nggak ada orang tua, nggak ada keluarga, nggak ada siapa-siapa, good luck for your life, kamu nggak perlu khawatirin aku.” sambung Niken.
“Iya, aku pamit.” Dewo berbalik arah menjauh dari Niken, hati Niken sangat tidak menginginkan perpisahan ini terjadi.
“Bilang sekali lagi sama aku, kalo keputusan ini bener Wo.” teriak Niken dengan sekencang mungkin membuat langkah Dewo terhenti dan kembali memandang Niken dari jauh.
“Kamu bener Niken, kamu bener.” jawab Dewo, dan tanpa berkata lagi Niken mengangguk sambil terus menangis kemudian kembali ke mobil, di dalam mobil, Niken terus menangis sejadi-jadinya. Tidak ada siapa yang mau mengalami perpisahan, tapi seperti Niken dan Dewo, mereka berpisah bukan untuk saling meninggalkan, mereka hanya ingin berhenti untuk terus saling menyakiti, maka perpisahan menjadi pilihan keduanya, agar sama-sama bisa menyembuhkan hati.
Sore itu mobil milik Saras melaju menujuh ke rumah Aca, mereka mengantarkan Aca pulang terlebih dulu, “Baik-baik ya, Ken. Kalo ada apa-apa langsung telepon gue, jam berapa pun pasti gue angkat.” ucap Aca ke Niken. “Iya” jawab Niken tersenyum kecil.
Aca mengiringi jalannya mobil itu dengan senyuman palsu, masih terekam jelas kejadian paling menyedihkan tadi di ingatan Aca, pertama kali dalam hidupnya dia melihat perpisahan yang begitu menyakitkan, perpisahan yang masih meninggalkan cinta di dalamnya.
-||-
Aca masuk ke dalam rumahnya yang tampak sangat sepi, padahal dia melihat ada mobil Arya yang terparkir di garasi rumah itu. Aca mencoba melihati sekeliling rumah namun tidak menemukan siapapun, Aca memutuskan untuk masuk ke dalam kamarnya, tapi sebelum tiba di kamarnya Aca melihat pintu kamar Arya yang sedikit terbuka. Aca melangkahkan kakinya mendekati kamar Kakaknya itu, terlihat di dalamnya Ada Arya dan Bapak yang sedang berbincang.