Sepertinya luka yang tidak tampak mulai bergores-gores di hati Aca, mimpi yang seharusnya indah malam tadi justru menjadi alarm dari tidur nyenyaknya. Sejak jam 2 malam tadi Aca belum lagi memejamkan matanya, merasa gelisah sendiri, merasa gundah sendiri, seperti kata remaja jaman sekarang, Aca sedang merasakan galau. Bertanya-tanya pada dirinya sendiri, kenapa bisa semua ini terjadi, kenapa Aca bisa-bisanya jatuh cinta dengan begitu mudah? Bukankah selama ini tidak pernah goyah oleh rayuan semaut apapun, tapi ini hanya sekedar tanya tentang keadaan, tentang bagaimana hidupnya berjalan.
Pagi ini wajah Aca yang kusut belum lagi lurus, lelahnya belum terbayar sempurna.
‘Tok tok tok’ Suara ketukan pintu kamar Aca.
“Siapa?” teriak Aca bertanya dari dalam kamar, tapi seseorang yang berdiri di balik pintu itu hanya diam, “Siapa? Mas Arya, ya? Atau, Mas Aryo? Nggak usah iseng Aca lagi pusing!” teriak Aca lagi.
“Ini, Bapak.” suara dari balik pintu, Aca langsung meletakkan gelas air yang dia pegang ke atas meja lalu berjalan membuka pintu. Setelah pintu terbuka, mata Aca langsung memandang mata laki-laki tua yang di panggilnya Bapak itu.
“Bapak pengen ngobrol, boleh?” ucap Bapak hati-hati, tapi Aca hanya mengangguk kemudian masuk ke dalam kamarnya diikuti oleh Bapak. Mereka berdua duduk di atas kasur Aca.
“Bapak mau ngomong, Aca mau dengerin?” tanya Bapak sambil memandang wajah Aca yang sama sekali tidak melihat ke arahnya.
“Ngomong aja.” jawab Aca singkat.
Bapak menelan ludahnya, matanya melihati sekitar ruangan kamar Aca, beberapa foto masa kecil Aca dan foto keluarga itu tersusun rapih di dinding kamar Aca.
“Kita keluarga yang harmonis nggak ya, Ca?” tanya Bapak sambil meraih satu foto dari atas meja lampu tidur kamar Aca, dan lagi-lagi Aca hanya diam membuang pandangannya.
“Temen-temen Bapak waktu masih kerja di kantor suka bilang kalo mereka iri sama keluarga kita. Katanya kita harmonis, kita bahagia, kita kompak, ternyata enggak ya, Ca?” Bapak menoleh ke arah Aca sambil tersenyum tipis, “Hidup orang tuh kalo dilihat dari jauh kelihatanya memang indah, tapi kalo dilihat semakin dekat ternyata kejam juga ya? Banyak lebamnya, kayak keluarga kita.” sambung Bapak.
Aca yang sejak tadi membuang pandangannya mulai merasakan sesuatu di hatinya, mata Aca mulai memanas, dadanya terasa sesak karena mulai menahan air mata yang ingin jatuh.
“Kalo aja jadi kepala keluarga itu ada sekolahnya, Bapak pasti jadi murid paling bodoh. Apalagi kalo ada ujiannya, Bapak pasti sering tinggal kelas!” ucap Bapak sambil sedikit tersenyum, tapi kali ini Aca sudah menjatuhkan setetes air matanya.
“Maaf ya, Ca. Bapak nggak bisa jadi orang tua yang utuh buat Aca, buat Mas-Masnya Aca juga, Bapak cuma bisa belajar caranya membuat hidup kalian berkecukupan, tapi nggak belajar gimana caranya membuat hati kalian merasa tenang, Bapak minta maaf ya!” kalimat Bapak kali ini membuat Aca menyerah, pandangannya yang sejak tadi terbuang jauh kini mulai melihat ke arah Bapaknya. Air mata yang sejak tadi Aca tahan kini sudah keluar dangan deras, Aca membalikkan tubuhnya dan langsung memeluk Bapak dengan erat.
Aca menangis dalam pelukan Bapaknya “Maafin Bapak ya, Ca!” ucap Bapak lagi, Aca hanya menangis sesegukan sambil terus memeluk Bapaknya.
-||-
Rasa lega setelah berbaikan dengan orang tuanya membuat Aca sangat semangat untuk kembali menjalani harinya. Setelah kembali mengisi amunisi alias kembali tertidur dan dibangunkan oleh Adzan zuhur, bisa kalian hitung Aca sudah tidur berapa jam, mata pandanya sudah menghilang, wajahnya tidak lagi sekusut tadi malam, hanya saja hatinya belum sembuh sebab memang Aca belum menemukan obatnya.
Hari ini Aca akan pergi ke Bogor untuk mengisi sebuah seminar bersama teman-teman komunitasnya, seperti biasa satu kali dalam sebulan Aca akan melakukan tugasnya sebagai seorang pemateri dalam sebuah seminar yang diadakan oleh komunitasnya, yang sudah dia ikuti hampir 5 tahun ini. Seminar ini bertujuan untuk membuka mata para anak muda agar menyadari bahwa sebuah hubungan pernikahan bukanlah hal yang sederhana, ada beberapa hal yang harus dipelajari sebelum menikah, bahkan ada beberapa hal yang harus bisa kita olah dengan baik sebelum menikah seperti finansial, emosi, dan banyak hal lainnya. Komunitas ini juga berdiri dengan alasan agar tidak banyak lagi orang-orang yang gagal dalam menikah hanya karena terburu-buru dalam mengambil sebuah keputusan.
Sebelum berangkat menuju Puncak Bogor, Aca lebih dulu pergi ke kafe untuk memberitahu Saras dan Niken. Hari ini kesabaran akan terfokus pada jalanan, Jakarta oh Jakarta bisakah sekali saja tidak macet? Begitu lah rutuk Aca setiap kali dia berada di dalam mobil untuk melewati jalanan di Jakarta.
Setelah tiba di kafe, sebelum masuk ke dalam ruangannya, Aca langsung mengecek dapur kafe, mengecek stok barang, dan langsung menulis semua keperluan kafe yang harus dibeli sebelum dia pergi.
“Put, sore ini saya mau ke Bogor. Ini catatan keperluan dapur yang perlu dibeli, nanti kamu konfirmasi langsung sama Mbak Niken ya!” Aca berbicara dengan seorang karyawan kafe.
“Baik Mbak.” jawab karyawan cantik bernama Putri itu.
“Yaudah, saya ke atas dulu.” Aca menaiki tangga menuju ruangan kerjanya, dan kejadian seperti waktu itu terulang lagi, ruangannya terlihat kembali ramai, ada dua personil yang kelihatannya menyukai tempat kerjanya ini, Yoga dan Yohan.
“Assalamu’alaikum?” Aca masuk ke dalam ruangan dengan ekspresi datar, hanya sedikit tersenyum ke arah Yoga dan Yohan. “Wa’alaikumussalam! tumben hari minggu dateng ke kafe?” tanya Niken yang melihati langkah Aca menuju meja kerjanya.
“Lagi pengen aja.” Aca langsung menyalakan laptopnya, sibuk sendiri dengan pekerjaan yang sebetulnya bisa dikerjakan dengan santai, “Udah pada cek email? Pak Rudi minta desain parkiran kafe di revisi lagi.” tanya Aca keteman-temannya, sambil terus mengarahkan pandangannya ke layar laptop.
“Udah kok, ini udah gue revisi dan udah gue kirim juga.” jawab Saras yang menunjukkan email di ponselnya. “Yaudah, ini buat presentasi udah gue perbaiki juga, dan ini anggarannya. Ini semua datanya lo tinggal baca aja, Ken! Kalo ada yang nggak balance lo kasih tau gue, udah gue e-mail ya.” Aca mengirimkan email pada Niken.
“Iya santai.” jawab Niken, sedangkan Aca terus menerus sok sibuk dengan tujuan menghindari Yohan yang sedang duduk di sofa bersama, Yoga. “Ca, duduk sinilah!” panggil Saras mengajak Aca bergabung bersama mereka.
“Bentar,” Aca mematikan laptopnya dan merapikan meja kerjanya, sekaligus menguatkan hati untuk duduk di dekat orang yang membuat dadanya berdebar.
“Eh, ini kata sekertaris Pak Rudi dia bisa meeting sama kita itu kalo nggak hari Senin besok, Rabu atau Kamis, hari lain jadwal dia udah padet, kalian mau hari apa?” tanya Niken sambil membaca isi pesan pada ponselnya.
“Gue mah bebas, lo sendiri sidang kapan? Nanti kebentur lagi?” tanya Saras ke Niken. “Masih lama, gue bisa semua kok.” Niken menjawab santai.
“Senin, Selasa gue nggak bisa, Rabu aja!” jawab Aca datar, lalu mengambil cemilan yang ada di depannya.
“Mau kemana lo?” tanya Saras heran, mendekatkan dirinya pada Aca, begitu juga dengan yang lain langsung mengarahkan pandangan mereka ke Aca. “Bogor, ada seminar.” jawab Aca singkat dan terus mengambil kentang goreng yang ada di depannya.
“Lo masih suka dateng ke seminar itu, Ca? Apasih namanya? Kajian ilmiah, sains, terus yang belajar pranikah gitu kan? Yang mempelajari tentang karakter laki-laki dan perempuan, apa tuh namanya?” tanya Yoga yang berpikir keras.
“Iya itu bener.” jawab Aca singkat lagi.
“Aca mah saking seringnya dateng sekarang udah bukan jadi audience, tapi jadi pengisi acara alias pemateri.” jelas Saras sambil tersenyum dan mengangkat kedua tangannya, seolah menggambarkan kehebatan Aca.
“Oh ya?” Yoga terkejut.