Ruang Memori

bibliosmia
Chapter #7

Tamu dari Yogyakarta

Semenjak kejadian waktu itu, Aca pikir Yohan tidak akan pernah lagi datang ke kafenya, tidak akan berani lagi bertanya apa-apa tentang diri Aca, tapi ternyata Yohan masih sibuk menanyakan keadaan Aca. Sayangnya Aca sudah tidak sama, baginya kalau memang tidak ada yang spesial, tanya-tanya itu tidak akan lagi berpengaruh apa-apa untuk Aca. Aca hanya akan sibuk dengan hal-hal yang penting, tidak sempat meratapi patah hati berkepanjangan.

“Bilang sama dia, kalo dia salah orang!” ucap Aca kepada Saras, saat Saras memberi tahu bahwa Yohan masih menanyakan banyak hal tentang Aca. “Lo kenapa nggak dengerin dulu penjelasannya, Mas Yohan sih?” tanya Saras.

“Apa sih Ras? Udah deh mending kita sibuk ngurusin usaha kita ni. Pusing gue, lo bahas dia mulu.” Aca meninggalkan Saras dan langsung fokus pada pekerjaanya. Minggu-minggu ini Aca dan teman-temannya memang sedikit sibuk, karena kafe mereka yang bertema Bali akan segera di bangun, ada banyak persiapan yang mereka lakukan, mulai dari desain, pekerja bangunan, bahan bangunan, mereka benar-benar mengerjakannya dari nol.

Setelah seharian disibukkan oleh pekerjaan, akhirnya Aca bisa bertemu kembali dengan kasur empuknya. Seperti biasa Aca akan menempuh jalanan menggunakan ojek online yang begitu setia, setiba di rumah Aca melihat ada sepasang suami istri yang usianya hampir sama dengan usia orang tuanya, orang itu sedang bertamu dan asik mengobrol dengan kedua orang tua Aca.

“Assalamu’alaikum?” Aca masuk mengucapkan salam dan menyalami semua orang yang ada di sana. “Wa’alaikumussalam.” semua menjawab ramah pada Aca.

“Nah ini Aisyah, si bungsu kami.” Bapak memperkenalkan Aca dengan tamunya. “Masyaa Allah, baru ini ketemu ya?” ucap seorang laki-laki yang sebaya dengan Bapaknya itu.

“Ca, ini sahabat Bapak. Mereka tinggal di Yogyakarta, sekarang lagi liburan di sini.” Bapak menjelaskan pada Aca, membuat Aca mengangguk dan tersenyum. “Di Jakarta tinggal di mana, Pak, Buk?” tanya Aca ramah.

“Kebetulan anak kami semenjak SMA sudah tinggal di sini, sekarang juga udah kerja di sini, jadi kami tinggal sama dia” jelas Ibu itu.

“Oh gitu.” jawab Aca lagi-lagi tersenyum.

“Bapak sama Pak Pandi ini sahabat dari bujangan, Ca. Sama-sama mondok dulu di Yogya, terus terpisah lama, ketemu-ketemu pas Mas Aryo udah umur 2 tahun, terus terpisah lagi soalnya Pak Pandi ini sempet kerja di luar negeri. Baru satu minggu ini bisa kontak lagi, bahkan Bapak nggak tau kalo Pak Pandi punya anak yang tinggal di Jakarta.”

“Sempet tinggal di luar negeri dong, Pak?” tanya Aca antusias.

“Beberapa tahun aja di Malaysia. Saking sudah lama nggak ketemu saya baru tau, Hadi punya anak secantik bidadari!” puji Pak Pandi membuat seisi ruangan tersenyum.

“Ah, Aca jadi malu hehehe!!”

Setelah agak lama bercengkrama, Aca sudah tidak tahan lagi untuk segera berbaring di kasurnya, Aca segera pamit dan masuk ke dalam kamarnya.

Pak Hadi, Pak Pandi beserta istri mereka masing-masing masih sibuk tertawa bersama, hingga obrolan intim terulang di antara mereka, janji jaman bujangan seperti sedang ditagih oleh Pak Pandi.

“Gimana Di? Saya sudah jauh-jauh dari Yogyakarta untuk ini.” tanya Pak Pandi dengan serius, membuat Pak Hadi sedikit heran, kenapa sahabatnya ini sungguh-sungguh menagih janji lama itu.

“Kamu itu kenapa sih Pan? Ngebet banget nikahin anak kamu. Sekarang sudah nggak jaman perjodohan, kita anggap aja janji bujangan itu cuma permainan.” jawab Pak Hadi, berharap mereka semua bisa melupakan janji-janji bujangan itu.

“Saya juga sudah anggap itu permainan, tapi keadaan mendesak saya.” jawab Pak Pandi yang semakin serius. “Pengen banget jadi besan saya?” ledek Pak Hadi tersenyum, karena memang seharusnya kata-kata lama mereka dianggap bercandaan belaka.

“Lagian, Mas Pandi, anak-anak jaman sekarang mana bisa dipaksa, dijodohkan, apalagi Aisyah putri kam. Sudah kami jelaskan tadi bagaimana wataknya, Aisyah bukan perempuan yang bisa kita arahkan dengan apa mau kita, Aisyah punya prinsip hidup yang begitu kuat, tidak ada yang bisa menggoyangnya termasuk kami. Aisyah akan menolak perjodohan ini,” jelas Ibu membuat wajah Pak Pandi dan Istrinya bersedih.

“Mbak, apa nggak bisa dibicarakan dulu dengan Aisyah? Anak kami sudah tau akan dijodohkan dan dia setuju, putra kami orang baik Mbak, selama hidupnya dia selalu mengutamakan kebahagiaan kami, saya yakin dia bisa membahagiakan Aisyah.” ucap Bu Lastri, istri Pak Pandi.

“Hm, saya nggak yakin Aisyah setuju.” Ibu merasa daripada melakukan hal yang sia-sia lebih baik diurungkan saja, karena Ibu tahu betul bagaimana puterinya itu.

“Saya sama Aisyah itu selalu berselisih paham tentang banyak hal, dia sangat keras mempertahankan maunya, kami baru berhenti berdebat sekitar 2 minggu ini. Jadi sangat tidak mungkin saya bilang ke Aisyah kalau dia akan dijodohkan.” jelas Pak Hadi.

“Saya sekarat, Di.” satu kalimat pendek keluar dari bibir Pak Pandi, membuat Pak Hadi dan istrinya terkejut, “Sudah dua tahun hidup saya tidak berjalan normal, 3 bulan lalu saya baru melakukan operasi pemasangan ring di jantung saya, tapi kata Dokter itu tidak berjalan baik. Bulan lalu Dokter menyatakan kondisi saya semakin menurun, itu sebabnya saya cari kamu, saya teringat masa-masa kita bersama. Saya menyesal tidak menghabiskan banyak waktu bersama sahabat saya, keluarga saya, saya sibuk bekerja, dan itu juga terjadi pada anak kami. Sibuk bekerja hingga lup, bahwa dia juga harus menikah, saya ingin dia menikah dengan perempuan yang tepat seperti Aisyah, saya ingin di antara kita benar-benar terikat persaudarahan, makanya saya ingat janji itu, tolong saya kali ini saja, ini permintaan terakhir saya.” seketika ruangan menjadi hening.

“Kamu serius?” tanya Pak Hadi sama sekali tidak percaya, sebab dari dulu Pandi yang dia kenal adalah orang yang paling sehat, orang yang sangat menjaga pola hidupnya. “Kamu tau betul kalau saya tidak terlalu suka bercanda” Pak Pandi melemah.

Tanpa sepengetahuan Aca, Bapaknya menyetujui perjodohan itu atas dasar mengabulkan permintaan sahabatnya, dan untuk menepati janjinya puluhan tahun lalu. Pak Hadi yakin tidak akan mudah untuk meminta Aca menikah dengan orang yang bahkan tidak dia kenali, tapi apa boleh buat, hal ini harus dilakukan.

-||-

Sebelum memberitahu Aca, Pak Hadi masih sibuk berdiskusi dengan istrinya, bagaimana cara menyampaikan maksud mereka dengan baik pada Aca, karena sebaik apapun alasannya, jika tidak seirama dengan hati Aca maka percuma, mereka tahu betul soal itu.

Pak Hadi meminta agar istrinya membantu untuk membujuk Aca, mungkin Aca akan mendengarkan penjelasan Ibunya, karena jika hanya Pak Hadi yang berkata, maka hanya akan ada perang seperti dulu-dulu.

“Pak, kita kasih tau Arya dan Aryo dulu, bagaimanapun mereka Kakak-kakaknya Aisyah, mereka juga punya hak untuk memberikan pendapat.” saran Ibu, Pak Hadi dan istrinya sepakat untuk memberikan penjelasan terlebih dahulu kepada kedua Kakak Aca, hal itu tentu mengejutkan Arya dan Aryo.

 “Maksudnya apa, Bu? Ada orang yang udah mau ngelamar Aca atau gimana?” tanya Arya serius, dan sangat tidak mengerti maksud cerita kedua orang tuanya.

“Bapak yang mau jodohin Aca. Aca juga belum tau soal ini.” jawab Bapak tanpa basa-basi lagi.

“Bapak, ngajak Aca perang?” sambar Aryo yang kaget mendengar penjelasan Bapaknya.

“Bapak mau jodohin, Aca? Kenapa? Tiba-tiba banget.” Bapak kembali menceritakan semuanya, menjelaskan janji-janjinya pada seorang sahabat yang baru datang bertamu.

“Bapak mau nolong sahabat Bapak yang Aca sama sekali nggak kenal, dengan cara ngorbanin perasaannya Aca? Arya yang nggak setuju, Pak.” Arya langsung berdiri dan berniat meninggalkan ruang keluarga, kali ini Arya sangat tidak setuju dengan keinginan Bapaknya.

“Duduk dulu, dengerin Bapak dulu!” pinta Bapak, membuat Arya kembali duduk, “Ini janji Bapak puluhan tahun lalu, mereka keluarga yang baik, Bapak bahkan sudah dikenalkan dengan anaknya, dia laki-laki baik, Aca nggak akan terluka kalau sama dia”

“Dari mana Bapak bisa menjamin itu, kalau Bapak aja baru kenal sekarang. Pak, Aca itu udah banyak dapet tekanan dari kita, dia disuruh ini itu yang padahal udah ribuan kali juga dia tolak. Dia berjuang buat berhasil dengan cara dia sendiri, tanpa minta bantuan sama kita.” Arya mengepalkan kedua tangannya, menahan amarah pada keputusan Bapaknya, “Aca nggak pernah nuntut apa-apa sama kita Pak, Aca hidup di atas kakinya sendiri, jadi udah seharusnya juga, kita nggak nuntut apa-apa dari dia, jangan ngebuat Aca berkorban Pak, jangan!” Arya melanjutkan bicaranya.

Lihat selengkapnya