Keesokan harinya Aca keluar dari kamar dengan masih berharap bahwa kejadian semalam hanyalah mimpi, ketika keluar dari kamar Aca melihat semua keluarganya sudah berkumpul di meja makan dengan suasana yang tidak sehangat biasanya.
“Aca mau langsung ke kafe.” Aca berbicara sambil mencium tangan Bapaknya, lalu berjalan menyalami Ibu dan kedua kakaknya. “Nggak sarapan dulu?” tanya Ibu.
“Di kafe aja, Bu.” Aca berlalu begitu saja setelah mengucapkan salam.
Setiba di kafe yang tentunya masih sangat sepi, Aca menyendiri di ruang kerjanya, berkutik pada pikirannya yang kosong, sampai tidak menyadari bahwa Niken dan Saras baru saja masuk ke dalam ruang kerja.
“Ca? Oy, Aisyah Hadiwijaya??” teriak Niken yang lelah menyadarkan Aca dari lamunannya, membuat Aca sontak kaget dan duduk tegak di kursi.
“Ah!! Lo ngagetin gue.” Aca memukul lengan Niken.
“Ya lagian kita berdua salam lo nggak jawab.”
“Wa’alaikumussalam! Tuh gue jawab!” Aca menjawab kesal, tidak seperti biasanya.
“Kenapa sih lo? Mikirin Mas Yohan?” ledek Saras mendekat.
“Yahan, Yohan mulu, gue pusing nih.” Aca menunjuk kepalanya sendiri, lalu kembali merengutkan wajahnya. “Ya kenapa? Perasaan yang mau cerai gue ini, tapi lo yang uring-uringan.” sahut Niken merasa aneh dengan sikap Aca.
“Gue dijodohin.” ucap Aca lemas menyandarkan tubuhnya ke kursi.
“Hah?” Niken dan Saras kompak terkejut, mereka menarik kursi mendekati Aca. “Seorang Aca yang dipaksa kuliah dan kerja jadi pegawai aja nggak bisa, sekarang malah dijodohin? Dipaksa Nikah sama pilihan orang lain? Mustahil dong.” kata Saras.
“Bapak lo ya, Ca? Sama siapa?” tanya Niken yang sudah hafal siapa pelaku yang menjodohkan Aca.
“Anak sahabatnya, mereka pernah punya janji 30 tahun lalu, kalo mau nikahin anak mereka. Karena gue satu-satunya anak perempuan dan orang itu punya anak laki-laki, terjadilah.”
“Dih, sesederhana itu mereka buat janji? Terus beneran mau nepatin gitu?” tanya Saras.
“Sebenernya mereka udah nganggep janji itu becandaan masa bujangan, tapi ternyata sahabat bokap gue sekarat, terus anaknya belum juga nikah. Yaudah dia nemuin bokap gue berapa hari yang lalu.”
“Hah? Simple banget hidupnya, nggak mikir panjang dulu, terus lo nerima?”
“Ya kali gue nerima, gue nolak lah. Tapi lo berdua taulah ini tuh Pak Hadiwijaya, bokap gue, apa yang dia ucapin, yang sudah jadi perintah itu artinya mutlak, nggak bisa digoyang.”
“Tapi, kan lo selalu bisa buat itu goyang, bokap lo juga tau kalo anak perempuannya punya prinsip hidup kayak paku bumi, nggak bisa digoyang, apa yang menurutnya nggak sesuai dengan hati dan jalan hidupnya dia akan bilang enggak, jadi harusnya masalah selesai dong.”
“Harusnya, tapi kali ini beda, bokap bilang ini salah satu cara balas budi ke orang yang dulu baik banget sama keluarga gue.”
“Dengan cara ngorbanin lo?”
“Bokap bilang sih dia nggak akan ngorbanin gue, karena menurut dia gue pasti bahagia sama laki-laki ini.”
“Itu kan menurut bokap lo, sekarang menurut lo gimana?”
“Nggak tau, besok keluarga mereka dateng ke rumah gue, katanya cuma mau perkenalan sih.”
“Perlu kita temenin?”
“Nggak usah, Kakak-kakak gue ada kok. Mereka udah nyaranin gue buat ngomong jujur sama keluarga sahabat bokap, doain aja berhasil. Biar gue bisa nikah sama orang pilihan gue aja, tanpa dijodoh-jodohin gini.”
“Aamiin, semangat ya!” Saras dan Niken mengangkat tangan mereka sebagai tanda menyemangati Aca.
-||-
Keesokan harinya, mau tidak mau semua akan terjadi sesuai rencana Bapak, pertemuan keluarga yang sama sekali tidak pernah dibayangkan Aca akan terjadi hari ini. Pagi ini seluruh tubuh rasanya enggan berpindah dari kasur, atau jika pindah rasanya ingin menjauh dari rumah, sejauh-jauhnya.
“Ahhh!! Cepet banget sih paginya.” Aca berteriak membuka selimutnya, marah entah pada siapa, atau mungkin pada mentari yang pagi ini menurutnya terlalu cepat datang.
Apa-apa yang terjadi hari ini berlalu dengan cepat, seolah waktu memang menginginkan hal ini sama seperti Bapak. Pagi ini Aca masih menyempatkan diri untuk berangkat ke kafe karena pertemuan keluarga itu akan dimulai jam 4 sore nanti.
Pagi ini Aca sudah sibuk dengan semua kertas keuangan kafe sekaligus berkas-berkas pembangunan untuk cabang kafenya yang bernuansa Bali, berbolak-balik kertas dia coret-coret, buka tutup e-mail, semua dia kerjakan tanpa fokus.
“Ca?” panggil Saras menemui Aca di mejanya. “Hm?” jawab Aca tetap memandang laptopnya.
“Di bawah ada, Mas Yohan. Katanya mau ngomong sama lo.” ucap Saras, yang langsung membuat Aca berhenti sejenak memandang laptopnya.
“Ngomong apaan?” tanya Aca melanjutkan pekerjaannya. “Mana gue tau lah, temuin dulu gih!” suruh Saras.
“Sumpah gue lagi mumet banget, otak gue nggak bisa nampung apa-apa lagi termasuk Yohan yang kalo dateng cuma mau ngejelasin kejadian waktu itu, bilang ke dia lupain aja, gue juga udah santai kok.”
“Datengin dulu lah biar kelar!”
“Iya sih, Ca. Kalo lo nggak datengin dia, gimana mau selesai coba?” timpal Niken yang dari tadi hanya diam, kini ikut bicara.
“Argh!! Ya Allah. Ribet banget ya hidup gue?” Aca berteriak kemudian berdiri.
“Sabar, Ca. Udah sana!” suruh Niken.
Aca menguatkan diri, mengumpulkan tenaga untuk bertemu Yohan. Menarik napas panjang dan mencoba memberikan senyuman seolah Aca memang sudah melupakan kejadian waktu itu.