Hari itu setelah tiba di Bandara Adisutjipto Yogyakarta, mereka melanjutkan perjalanan darat sekitar 30 menit menuju rumah duka, dengan diiringi suara ambulance dan tangis yang tak kunjung reda, perjalanan kelam hari itu tidak akan terlupakan, akan tertanam selamanya, di ruang memori mereka masing-masing.
Di dalam mobil, Aca terus memandang Bapaknya, sesekali air mata jatuh di pipi Aca, sepanjang perjalanan rangkulan Arya tak lepas dari tubuh Aca, mencoba menenangkan Aca yang terlihat bingung dan syok akan semua kejadian yang begitu tiba-tiba ini, pertama kali dalam hidupnya, Aca melihat orang tuanya menangis, begitu pedih rasanya.
“Mas?” panggil Aca lirih sambil melihat ke arah Arya yang terus merangkulnya.
“Is ok!” jawab Arya pelan menenangkan. “Bapak!” kembali lirih Aca, Aca sangat takut dengan kondisi Bapaknya yang menangis tak henti-henti. “Gapapa-gapapa.” Arya terus menenangkan Aca, sedangkan Aryo berada di mobil ambulance bersama keluarga Pak Pandi.
Setelah tiba di rumah duka yang tentunya sudah sangat ramai, terpasang bendera kuning di depan rumahnya, sudah tertulis rapih nama Almarhum, semakin tersayat rasanya melihat situasi itu. Ketika mereka semua keluar dari mobil dan dengan pelan terbuka pintu mobil ambulance, terlihat seorang gadis muda yang berpakaian hitam berlari menangis sekencang-kencangnya.
“Ayah!!!” teriaknya luar biasa, perempuan itu di peluk istri Pak Pandi dengan kencang. Mereka menangis bersama, tumpah ruah, begitu sakit yang mereka rasakan, pedihnya kehilangan, dan itu membuat Aca semakin syok, apakah kelak dia merasakan hal yang sama? Aca takut, benar-benar takut.
Terdengar beberapa kali erangan di rumah duka, tapi pelan-pelan proses harus tetap berjalan, Almarhum harus segera dimakamkan. Semua orang mengantar beliau, terdengar orang-orang berkata begitu baik sifat serta sikap Pak Pandi selama bertetangga dengan mereka, semua seakan kehilangan sosok dermawan itu.
Setelah proses pemakaman selesai, semua orang sibuk membersihkan diri, kecuali istri dan anak perempuan Pak Pandi yang masih mencoba mengendalikan diri mereka, dibantu oleh beberapa keluarga, termasuk Ibunya Aca. Sayangnya, tidak lama setelah itu istri Pak Pandi tersadar akan keinginan Pak Pandi, menikahkan puteranya dengan puteri dari sahabatnya.
“Bantu saya Aisyah, bantu saya mewujudkan impian suami saya.” pinta istri Pak Pandi tersedu-sedu.
“Bu, nggak seharusnya kita maksa orang lain, Ayah pasti ngerti di sana,” ucap seorang laki-laki yang sejak pertemuan di rumah sakit sama sekali belum menyapa Aca, “Saya nggak akan paksa kamu!” ucapnya pada Aca.
“Kamu mau diem sampe kapan, Ca? Jawab, mereka nunggu jawaban kamu!” tanya Bapak mencoba mendesak Aca.
“Pak, biarin Aca mikir dulu.” Arya kembali membela, selalu pasang badan setiap kali perjodohan itu dibahas.
“Bisa kita bicara sebentar?” tanya Aca pada laki-laki yang dijodohkan dengannya itu, kemudian setelah mengangguk, mereka sedikit menjauh dan berbicara berdua.
Dengan pelan Aca menarik napas panjang, mencoba tenang sebelum memulai diskusi panjangnya, “Ini apa? Takdir atau bercandanya semesta? Atau cara kamu main-main?” tanya Aca menahan tangis, menatap laki-laki itu dengan dalam, ada sakit juga amarah dalam tatapan itu.
“Ini yang waktu itu mau saya jelasin di kafe, saya tau setelah orang tua saya dateng ke Jakarta. Saya lihat foto keluarga kamu, ternyata kamu Aisyah Hadiwijaya, Adiknya Aryo teman sekolah saya, Adiknya Dokter Arya seorang Spesialis Bedah di rumah sakit tempat saya bekerja, dan Aisyah Hadiwijaya adalah puteri sahabat ayah saya, juga perempuan yang membuat saya jatuh cinta, ini takdir!” jelas laki-laki itu.
“Mas Yohan tolong jangan sebut cinta di depan saya, karena kamu nggak pernah punya itu untuk saya.” jawab Aca tegas.
“Siapa yang bilang? Sejak awal saya ketemu kamu, saya jatuh cinta sama kamu, tapi saya takut, saya takut perempuan yang hidupnya sangat teratur ini bakalan nolak saya, saya takut prinsip dan pendiriannya mengalahkan saya, saya takut, Ca. Tapi saya jatuh cinta dari awal kita ketemu, pertama kali saya lihat kamu di kafe, sampe akhirnya saya tau kamu sahabatnya Saras, dan sampe saya berusaha untuk kenal kamu, saya jatuh cinta sama semua tentang kamu”
"Kamu nggak mungkin nggak tahu kalo saya Adiknya Mas Aryo, jelas-jelas Kamu sahabatan sama Yoga, artinya kamu juga temen deket, Mas Aryo."
"Saya betul-betul nggak tau. Kalo saya tau kamu Adiknya Aryo, sudah dari awal saya datangi rumah kamu."
Aca meneteskan air matanya, diam meresapi semua kalimat Yohan. Iya, laki-laki itu adalah Yohan, seseorang yang Aca kenal, lucu sekali takdir hidupnya. Tanpa menjawab apa-apa Aca berjalan kembali mendekati keluarganya, melihat kembali seorang Ibu yang masih terus menangis dan terduduk lemah.
“Saya bisa menjamin anak kami tidak akan menyakiti kamu, bantu saya, bantu saya!” permohonan yang sangat dalam, membuat Aca berpikir siapa dirinya ini, hingga ada seorang Ibu yang memohon padanya.
“Ibu nggak perlu mohon-mohon, kita wujudkan sama-sama impian Pak Pandi, saya bersedia menikah.” jawab Aca berlutut di hadapan istri Pak Pandi.
Jawaban Aca membuat istri Pak Pandi senang bukan main, beliau memeluk erat Aca, begitu juga dengan Bapaknya Aca, juga Ibunya Aca, tinggal lah kedua Kakak Aca yang bingung dengan jawaban Aca barusan.
-||- -||-
Malam di kota Yogyakarta, dengan hening tanpa berwisata ke manapun dan tanpa mencicipi kuliner apapun, Aca hanya duduk diam berkutik pada ponselnya, mengabari kedua sahabatnya, menjelaskan semuanya. Saras dan Niken serasa baru saja mendapat kabar teraneh semasa hidup mereka, berpikir betapa aneh jalan cinta sahabat mereka ini, berputar kesana-kesini, ujungnya tetap bertemu satu orang yang sama.
“Ca, Mas boleh duduk di sini?” tanya Arya yang menghampiri Aca di teras rumah Yohan, tak lama disusul oleh Ary. “Duduk aja” jawab Aca.
“Maaf ya, Mas nggak bisa berbuat apa-apa. Mas nggak bisa jadi Kakak yang membela kamu.” Arya menggenggam tangan Aca. “Ca, atau kamu mau kabur sekarang? Mas Aryo bisa bawa kamu pergi sejauh mana yang kamu mau.” sambung Aryo yang juga menggenggam tangan Aca.
“Hm,” Aca tersenyum, “Nggak perlu kemana-mana Mas, kayaknya sejauh apapun Aca pergi, Aca bakalan tetep ketemu dia.” jawab Aca.
“Maksudnya?” kedua Kakaknya tidak mengerti dengan apa yang diucapkan Aca.
“Mas Yohan, dia orang yang Aca kodein lewat puisi itu.” jelas Aca, sontak membuat Arya dan Aryo kaget. “Hah?” kedua bola mata Arya dan Aryo seolah ingin keluar dari tempatnya. “Bukannya kamu juga udah tau dia nggak suka sama kamu?” lanjut Arya.
“Dia nggak bilang gitu Mas, dia belum selesai ngomong hari itu, tapi Aca keburu ngerasa patah hati jadi Aca tinggalin.”
“Jadi?”
“Dia bilang cinta sama Aca.”
“Terus Aca percaya?”
“Nggak tau.”
“Kenapa Aca nerima gitu aja? Kalo Aca sendiri nggak yakin.”
“Aca nerima perjodohan ini bukan karena Yohan orangnya, bukan karena Aca manfaatin keadaan karena Aca suka sama dia, tapi karena Aca ngeliat ada seorang Ibu yang nangis di depan Aca, Mas!”
“Aca lupa kalo kita harus membahagiakan diri kita dulu sebelum membahagiakan orang lain?” ingat Arya pada prinsip Aca, pelan Aca mengangkat kepalanya menahan tetesan air mata yang entah sudah ke berapa ratus kalinya itu.
“Kalo nanti kita ada di posisi mereka, kita harus apa, Mas? Selama ini banyak hal yang Bapak minta dan Aca tolak dengan alasan prinsip, sedangkan sekarang Aca ngeliat ada satu keluarga yang minta kita bantu mereka, untuk mewujudkan keinginan terakhir dari Ayah mereka, gimana bisa Aca nolak?”
Iya, bagaimana bisa Aca menolak ketika satu keluarga memohon memintanya, Aca sendiri berpikir siapa dirinya sehingga terlalu sombong untuk tidak membantu? Ini bukan lagi soal prinsip tapi ini tentang kemanusiaan.
Benar, pernikahan seharusnya terjadi di antara dua orang yang saling mencintai, entah apa yang dirasakan Yohan dan Aca, adakah cinta yang benar-benar terjadi di sana, atau cuma sekedar saling mengagumi, atau sudah berubah menjadi benci? Apapun itu, pernikahan itu akan tetap terjadi.
-||- -||-
Pernikahan Aca dilaksanakan keesokan hari setelah pemakaman Pak Pandi, hanya disaksikan keluarga, pernikahan itu terjadi di Yogyakarta, tanpa surat-surat yang resmi, mereka melakukan akad nikah seadanya, karena mau tidak mau keluarga Aca harus segera kembali ke Jakarta, begitu juga dengan Yohan. Lalu diambil jalan tengah mereka menikah hari itu juga sebelum kembali ke Jakarta, dan untuk pernikahan yang sah menurut negara akan diurus ketika mereka kembali ke Jakarta, itu artinya setelah nanti kembali ke Jakarta semua keadaan tidak akan lagi sama, Aca akan menjadi seorang istri, dari laki-laki yang baru saja membuatnya patah hati, begitulah kira-kira, bagaimana rasanya, silakan kalian bayangkan.
Setelah pernikahan berlangsung, kini Aca resmi menjadi seorang istri, melangkahi kedua kakaknya, dan menikah dengan seseorang yang sebetulnya dia sukai tapi membuatnya belajar membenci.
“Hai?” sapa seorang perempuan mendekati Aca di dalam kamar. Aca menoleh ke arah suara yang menyapanya, “Hai?” jawab Aca tersenyum, seorang perempuan muda berdiri di dekat Aca, memperkenalkan dirinya. “Aku Hana, Adiknya Mas Yohan.” kenalnya pada Aca.
“Oh, aku Aisyah, panggil aja Aca.” Aca ikut memperkenalkan diirnya dengan ramah.
“Kak Aca, namanya lucu sama kayak orangnya!” Hana bergurau, membuat Aca tersenyum lebih lebar lagi, tiba-tiba gadis itu menatap Aca dengan sangat dalam.
“Makasih ya, Kak!” tiba-tiba suara Hana tersedu, seperti seseorang yang sedang berusaha untuk menahan tangis.
“Untuk apa?” tanya Aca lembut mendekati Hana.
“Untuk sudah mau jadi bagian dari keluarga kami,” Hana tersenyum, “Dulu, Ayah selalu cerita soal sahabat lamanya, bahkan sebulan sebelum berangkat ke Jakarta, Ayah selalu sebut-sebut nama Aisyah di rumah ini, Ayah tergila-gila dengan puteri Bapak Hadi, mulai dari tingkahnya, lucunya, uniknya, gayanya, pekerjaannya, semua tentang Aisyah Hadiwijaya dibahas setiap hari!” sambung Hana melihati wajah Aca, “Sebelum pergi, Ayah bilang ke Hana, kalo Ayah bakal bawa pulang Kak Aisyah, Kakak ipar Hana.” lanjut Hana yang kini sudah meneteskan air matanya.
Aca hanya diam menatap mata Hana, “Kak Aca?” panggil Hana memegang tangan Aca. “Iya?” jawab Aca kaget, karena Hana tiba-tiba menggenggam tangannya.
“Maaf, kalo semuanya dijalani dengan terpaksa.”