Ruang Memori

bibliosmia
Chapter #10

4 Koper Aca

Setelah semua urusan kecanggungan dan lelahnya menunggu selama beberapa hari untuk membawa istrinya tinggal bersama, akhirnya Yohan menerima dua buku yang akan menjadi saksi sejarah hidupnya. Pagi itu Yohan dengan cepat keluar dari rumah sakit, mengendarai mobilnya menuju kafe Aca. Berharap Aca mengeluarkan ekspresi sebahagia dirinya.

“Putri?” panggil Yohan pada karyawan Aca.

“Eh Mas Yohan, pesen kopi apa Mas?” tanya Putri seperti biasa.

“Enggak, saya mau nanya di atas Aca sendirian atau ada Saras sama Niken?”

“Oh, Mbak Aca sendirian Mas, soalnya Mbak Saras sama Mbak Niken belum dateng.”

“Yaudah makasih, saya naik dulu ya.”

“Ok, Mas.” Yohan berlarian menaiki tangga dengan riang.

‘Tok tok tok

“Assalamu’alaikum?” Yohan menggedor pintu ruangan Aca. “Wa’alaikumussalam, masuk!” jawab Aca yang sedang merapikan beberapa kertas di atas mejanya.

“Ca?” sapa Yohan ketika masuk dan langsung duduk di depan Aca.

“Mas Yohan, ada apa Mas?” tanya Aca heran.

“Saya udah nerima buku nikah kita.” Yohan memberitahu dengan semangat, berharap Aca akan meloncat kegirangan.

“Oh gitu, terus Mas?” jawab Aca dengan ekspresi sederhana yang membuat Yohan sedikit kecewa, Yohan menarik napasnya kemudian bertanya. “Kamu nggak seneng, Ca?”

“Seneng kok, jadi kita nggak perlu nunggu lama-lama.”

“Ca, kan bukunya udah keluar, kita udah sah secara Agama dan Negara. Artinya kita sudah bisa hidup satu rumah layaknya suami istri pada umumnya.” jelas Yohan membuat Aca diam sejenak.

“Iya Mas” jawab Aca singkat.

“Saya mau kamu hidup sama saya, tinggal dengan saya, kita bangun keluarga kita sendiri, jadi suami istri yang mandiri, jadi Ayah dan Ibu untuk anak-anak kita nanti.”

“Kapan Aca harus ikut Mas Yohan?” tanya Aca tidak ingin basa-basi.

“Malem ini, gimana?” jawab Yohan.

Ok.” Aca kembali hanya menjawab singkat.

“Nanti sore saya jemput di sini!”

“Nggak perlu Mas, mungkin sebentar lagi saya pulang, kan mesti packing barang dulu, biar nanti malem nggak ribet.”

“Yaudah kalo gitu sekarang aja saya anter pulang!”

“Saya masih ada kerjaan kalo sekarang, lagian Saras sama Niken belum dateng. Mending Mas Yohan balik ke rumah sakit, nggak enak kan izin-izin terus.”

Yohan diam sebentar memperhatikan wajah Aca yang terlihat biasa saja, kemudian mengangguk, mengiyakan permintaan Aca untuk Yohan segera kembali ke rumah sakit, “Ok, nanti sore sepulang kerja saya langsung jemput kamu di rumah Bapak.”

“Iya, Mas.”

“Assalamu’alaikum?” Yohan berdiri dan melangkahkan kakinya ke luar dari ruangan Aca.

“Wa’alaikumussalam!” Aca langsung membuang pandangannya ke arah laptop yang ada di depannya, namun matanya terlihat kosong, hatinya seolah ragu untuk ikut bersama Yohan.

Setelah Yohan keluar meninggalkan Aca dengan sejuta bingungnya, berkali-kali Aca menarik napasnya dalam-dalam, kembali pelan-pelan mencerna takdir yang sedang dia jalani. Bagaimana mungkin kini Aca menikah dengan orang yang pernah membuatnya merasa patah, pikirannya berputar ke masa lalu, timbul pertanyaan, apa iya Yohan memang benar-benar mencintainya? Atau sekedar menjalankan tugas sebagai suami, atau memang karena Yohan adalah orang baik, jadi dia tetap peduli pada Aca meskipun tidak mencintai Aca? Atau hanya sekedar membayar janji pada Ayahnya untuk menjaga Aca sepenuh hati, entahlah, yang pasti Aca pun belum menemukan jawabannya.

Setelah tiba di rumah, Aca berdiri di depan pintu rumahnya, melihati setiap sudut rumah dengan baik, Aca kembali menghembuskan napas panjangnya.

“Assalamu’alaikum?”

“Wa’alaikumussalam! Lah tumben masih jam 10 pagi udah pulang ke rumah?” Arya bingung melihat kehadiran Aca.

“Iya, yang lain pada ke mana? Sepi banget” tanya Aca.

“Ibu kerumah sakit, besuk tetangga yang lagi sakit sama Ibu-Ibu sini. Kalo Bapak di kamar lagi duha, kalo Aryo di telan bumi.” jawab Arya.

“Terus Mas Arya ngapain di sini?” tanya Aca yang baru sadar sejak tadi dia berdiri dan langsung melangkah menuju sofa.

“Mas Arya emang lagi libur, kamu kenapa pulang?”

Lihat selengkapnya