Setelah lepas dari kebingungan ketika Yohan merangkul dan menenangkannya, Aca kembali mencoba untuk bereaksi santai, menemui Saras yang mau tidak mau harus terbaring lemah di rumah sakit dalam beberapa hari, dan itu artinya juga, semua urusan pembangunan kafe dalam beberapa hari ke depan hanya akan diurus oleh Niken dan Aca.
Beban bertambah, perjalanan untuk mencapai keberhasilan terkadang memang sangat lucu, sesederhana ini setiap orang bisa tergelincir, saat semua persiapan matang, semua tugas dibagi rata, siapa yang tahu kalau ternyata Saras hamil dan harus mengalami keguguran? Dan membuat banyak pekerjaan terhambat, tapi kembali lagi, itu adalah suatu proses yang harus mereka jalani.
Setelah beberapa waktu menemani Saras di rumah sakit, akhirnya Niken dan Aca kembali mengurus pekerjaan mereka yang harus selesai tepat waktu, “Lo ambil alih semua tugas Saras, soalnya gue sama sekali nggak paham soal pembangunan.” kata Niken ketika sudah berada di kafe.
“Ok.” Aca menjawab singkat, tanda mengerti apa yang sudah menjadi tanggung jawabnya.
“Urusan kafe, pembelian, pembukuan, keuangan, semuanya biar gue yang kerjain!” ujar Niken lagi.
“Ok.” lagi-lagi Aca hanya melayangkan kata ok.
“Yaudah.” Niken melanjutkan hitung-hitungannya.
“Ken, sidang putusan lo kapan?” tanya Aca berhati-hati, setelah dari tadi hanya menjawab ucapan Niken dengan singkat.
“Dua minggu lagi,” jawab Niken, “Nggak usah khawatir, gue baik-baik aja.” sambung Niken, yang mencium aroma kekhawatiran dari Aca, “Justru sekarang, gue lagi khawatir sama lo, coba sini liat muka lo,” Niken memegang dagu Aca, “Dilihat dari kerutan-kerutannya, lo lagi pusing nih.” Niken menebak seenak jidatnya.
“Mch, apaan sih lo, jadi peramal sekarang?” Aca berdecak dan melepaskan tangan Niken dari dagunya.
“Mau cerita nggak?” Niken menawarkan telinganya untuk mendengar, “Jangan bisanya cuma maksa orang buat cerita.” Niken bergumam kecil.
“Gue denger ya, gue punya kuping!” Aca berteriak mendengar gumaman Niken.
“Oh ya? Kalo mulut punya nggak? Buat cerita gitu?” kata-kata Niken barusan membuat Aca berhenti memandang laptopnya, kemudian kembali memandang Niken dengan tatapan tajam, “Ha, apa?” Niken memasang wajah galak, Aca menyerah dan mulai membuka mulutnya.
“Gue sekarang tinggal sama Yohan, gue tidur di samping dia, gue nggak tau gue cinta atau enggak sama dia, gue nggak tau dia tulus atau nggak sama gue, gue tadi pagi sarapan sama dia, dan gue nggak suka bingung kayak gini.” jelas Aca, kemudian diam memandang Niken, seolah bertanya apakah sudah puas mendengar semuanya.
“Disindir aja baru cerita.” jawab Niken menaikkan satu sisi bibirnya.
“Terus kalo udah cerita, malah diomelin, iya?” tanya Aca dengan kesal.
“Em ... kasih saran apa ya?” Niken berpikir keras.
“Udah-udah nggak usah mikir, cukup doain aja!” Aca menyuruh Niken berhenti berpikir, dan kembali melakukan pekerjaannya. “Ok.” jawab Niken yang memang sedang tidak ingin berpikir keras.
-||-
Sore ini ketika pulang bekerja, Aca dan Yohan akan pergi membeli kebutuhan dapur mereka, tenang saja Aca sudah lihai melakukan kegiatan ini, baginya berbelanja bahan dapur adalah tugas termudah untuk seorang wanita.
Setelah tiba, Aca langsung sibuk mendorong troli belanjanya, mengeluarkan catatan panjang, memilih satu-persatu barang yang harus dia beli, tanpa peduli Yohan akan datang atau tidak sore ini, karena sesuai perjanjian mereka akan bertemu di supermarket mal, setelah pulang bekerja. Sambil terus berjalan dan fokus dengan setiap belanjaannya, yang sekarang sudah memenuhi troli, Aca terus menumpuknya hingga menggunung.
“Eh-eh, biar saya yang dorong!!” tiba-tiba Yohan berdiri di samping Aca sambil meraih pegangan troli yang ada di tangan Aca.
“Ok.” jawab Aca tanpa merasa terkejut, atau berbunga-bunga ketika Yohan membantunya mendorong troli, Aca terus berjalan dan fokus dengan catatannya.
“Ca, kamu belanja buat setahun ya?” tanya Yohan yang melihat isi troli sudah menggunung, membuat langkah kaki Aca terhenti dan melihat ke arah troli.
“Ha??” Aca sedikit berteriak karena terkejut melihat isi trolinya, “Kok penuh banget?”
“Kan, kamu yang ngisi?” Yohan menjawab polos.
Aca melihati isi trolinya, “Ah iya itu Mas, ini sebagian mau dibawa ke rumah sakit, buat Saras sama Mas Yoga.” jelas Aca.
“Oh, saya pikir kamu belanja untuk satu tahun.” Yohan tersenyum.
“Hehe, enggak.” Aca tertawa kecil dan melanjutkan langkahnya, tawa kecil itu membuat jantung Yohan kembali tak terkontrol, dengkulnya terasa lemas melihat senyuman Aca yang begitu manis hari ini.
“Wah!!” Yohan tersenyum memegangi dadanya sambil terus melihati Aca yang sudah berkeliling lagi untuk belanja.
Setelah belanja, mereka mengantarkan sebagian makanan dan minuman ke rumah sakit tempat Saras dirawat, agar memudahkan Yoga untuk menjaga Saras dan tidak harus bolak-balik membeli sesuatu, begitulah Aca, dia adalah sahabat terbaik.
Kemudian perjalanan berlanjut kembali ke rumah, setiba di rumah belum banyak yang berubah dari Aca, Aca tetap fokus pada belanjaannya, sibuk merapikan dan meletakkan semua barang dengan rapih, membuat Yohan berdiri di belakangnya, memperhatikan Aca yang seolah sibuk sendiri.
“Ca?” panggil Yohan pelan, memberanikan diri.
“Iya?” Aca menoleh sebentar lalu kembali fokus pada kegiatannya.
“Saya ke atas dulu mau mandi.” ucap Yohan.
“Ok.” Aca menjawab singkat, padahal di dalam hati Yohan sangat berharap, Aca bertanya apakah menu makan malam yang Yohan inginkan, tapi sepertinya harapan itu harus ditunda dulu.
Malam datang dengan cepat, Aca sudah siap dengan meja makannya, ada nasi juga beberapa kawanan sayur dan daging yang siap dilahap secara bersamaan malam ini.
“Ayo makan!” Aca tersenyum, menyendokkan nasi ke dalam piring Yohan, “Lauknya ambil sendiri ya.” sambung Aca.
“Iya.” Yohan tersenyum, hari-hari Yohan memang selalu di penuhi dengan senyuman, tak peduli seberapa banyak harapannya yang pupus karena Aca terlalu batu untuk memahami betapa mereka sudah saling mencintai, tapi Aca bersih keras untuk mencari jawabannya sendiri, katanya cinta yang lama itu tidak bisa di percaya lagi, setelah patah hati setiap orang pasti berubah, begitu juga dirinya, jadi dia perlu memastikan kembali apakah dia masih mencintai Yohan atau tidak.
Setiap orang yang pernah menutupi takutnya kemudian berbohong, tidak akan mudah untuk di percaya lagi, walaupun dia bersumpah mengatakan bahwa dia sudah mencintai, jadi sederhana menurut Aca, dari pada saling bersumpah dan sibuk mencoba meyakini, mari buktikan saja apa cinta itu masih ada di antara mereka.
“Gimana?” tanya Aca saat melihat Yohan menyuapkan sesendok nasi dan lauk ke dalam mulutnya.
Yohan mengangguk, mengangkat jempolnya sebagai tanda bahwa dia menyukai masakan Aca, hal itu membuat Aca tersenyum bahagia.
Malam ini setelah semua selesai, pasangan suami istri yang masih hidup dalam kecanggungan itu masuk ke dalam kamar yang sama. Di saat Yohan membuka bukunya untuk membaca sambil berbaring di atas kasur, Aca masih sibuk duduk di atas meja kerja membuka laptopnya, bermain dengan kertas-kertas juga pulpen yang masih siap menari malam ini.