Waktu berjalan cepat, sudah bertambah seminggu dari hari weekend yang dihabiskan Aca dengan bahagia bisa pulang ke rumah orang tuanya. Minggu ini semua pekerjaan sedikit kembali normal, Saras sudah kembali bekerja, pembangunan juga sudah berjalan sesuai rencana, urusan pembukuan kafe juga tinggal menghitung pendapatan harian, yang bisa langsung diakumulasi setiap harinya, jadi intinya ketiga sahabat itu hanya menjadikan ruangan kerja mereka tempat berkumpul, kembali menjadi ruang curhat untuk menyimpan memori.
“Lo, udah seneng lagi sekarang?” tanya Aca ke Saras yang sejak tadi tertawa terbahak-bahak.
“Hm, gimana enggak, gue punya suami yang luar biasa, keluarga yang bener-bener ngebuat mental gue jadi lebih baik, dan sahabat-sahabat yang gila.” jawab Saras tersenyum, sambil sedikit memukul bahu Aca dan Niken dengan kepalan tangannya yang lembut.
“Jangan sedih lagi ya!” Aca dan Niken memeluk Saras dengan erat, mereka sudah menyimpan ratusan memori di ruangan itu, dimulai dari 3 tahun yang lalu mereka bertiga nekat membuka kafe dengan modal seadanya, dan sekarang mereka akan punya cabang baru.
Setelah hampir setengah hari hanya bermain games, dan sudah merasa bosan di dalam ruangan itu, mereka memutuskan untuk keluar, merileksasikan otak barang sejenak, melihat dunia dan menghirup udara segar yang sebetulnya sudah bercampur polusi.
Mereka bertiga pergi meninggalkan kafe lalu ke mal, percayalah ini pertama kalinya Aca mengajak mereka untuk mengunjungi mal selama mereka berteman, kenapa? Karena Aca terlalu sibuk menabung uangnya, dulu dia sering bilang kalau nanti sudah tidak dapat uang jajan, dia tetap bisa bertahan dari tabungannya, cukup hemat.
“Main timezone aja kali ya?” tanya Aca ke Saras dan Niken.
“Ah nggak mau kayak bocah, shoping aja.” ajak Saras.
“Atau nyalon aja di sini” saran Niken.
“Ah! Gue lagi bosen diem doang diajak ngedem di salon, yaudah muter aja shoping.” Aca langsung berjalan, tanpa menunggu jawaban Niken dan Saras. Mereka bertiga mengelilingi mal, dari paling bawah hingga paling atas, balik lagi, turun lagi, naik lagi, entah barang apa yang ingin dibeli.
Setelah berkali-kali dan berjam-jam memilih baju yang mereka sukai, akhirnya kaki tiga perempuan itu merasa lelah, “Makan yuk!” aja Aca, merasakan perutnya mulai merontah meminta untuk segera diis.
“Di mana?” tanya Saras.
“Ikut gue aja!” ajak Niken ke salah satu restaurant yang ada di mal itu, untuk selera soal makanan, kita tidak perlu meragukan lidah Niken, meskipun dia sama sekali tidak bisa memasak, tapi keahliannya dalam menilai makanan bisa mengalahkan lidah Chef Juna, saking Niken mengertinya soal rasa, bahkan dia memiliki list restaurant mana yang terenak di setiap mal, ini serius.
“Gue pengen makan ...” Aca memikirkan menu yang akan dia makan sambil berjalan, menuju tempat duduk di dalam restaurant, tapi langkahnya terhent., “Aw.” membuat Saras dan Niken berteriak, karena mereka menabrak Aca yang tiba-tiba berhenti, padahal belum tiba di meja mereka.
“Itu manusia, kayaknya gue kenal,” Aca melihati Yohan yang sedang tenang menyantap makanannya. “Mas Yohan?” sebut Saras dan Niken kompak, melihat ke arah laki-laki yang sedang dengan lahap menyantap makanannya.
“Iya, kayak laki-laki yang semalem tidur di samping gue.” mata Aca mulai menajam.
“Dia makan sama siapa?” tanya Niken heran, karena ada seorang perempuan di depan Yohan.
“Ini jam berapa?” tanya Aca tanpa menjawab pertanyaan Niken. Saras melihat angka jarum jam yang ada di jam tangannya, “Jam tiga” jawab Saras, lalu kembali ikut memperhatikan Yohan dari jauh.
“Hm, jam makan siang udah lewat jauh, ngajak perang nih laki.” Aca hendak berjalan menemui Yohan.
“Eh-eh Ca, jangan ribut di sini, malu!” Saras menarik tangan Aca, mengehentikan langkah Aca.
“Siapa yang mau ribut, mau negor doang, ributnya entar kapan-kapan.” Aca melanjutkan langkahnya.
“Ok kita ikut.” Saras dan Niken membuntut di belakang Aca, langkah mereka berhenti tepat di samping meja Yohan, yang sedang bersama seorang wanita.
“Permisi?” sapa Aca tersenyum.
“Iya, ada apa?” jawab perempuan itu sopan dan lembut, melihat ke arah Aca.
“Ca?” Yohan menoleh, heran kenapa Aca ada di sana.
“Oh bener, maaf Gangu, tadi saya kira saya salah lihat orang, silakan dilanjut.” Aca tersenyum ramah membuat wanita yang bersama Yohan kebingungan.
“Eh kenalan dulu, Ini Aca istri gue, ini Saras, ini Niken sahabatnya.” kenal Yohan ke wanita yang duduk di depannya.
“Hai, gue Mira temen SMA Yohan, seneng bisa kenalan sama kalian.” Mira mengulurkan tangannya, di sambut dengan baik oleh Aca dan kedua sahabatnya. “Sama kita juga seneng, oh ya kalian lanjut ngobrolnya yah, kita masih ada urusan lagi” Aca berniat pamit.
“Loh, bukannya kesini mau makan? sekalian aja di sini.” ucap Yohan yang hanya di sambut dengan wajah galak oleh Aca yang memberikan lampu perang.
“Nggak usah, kita mau beli makanan anjing dulu.” jawab Aca.
“Hah?” Yohan kebingungan.
“Kalian punya anjing? Gue juga punya.” tanya Mira dengan girang.
“Gue, gue yang punya anjing, kita pamit ya kasian anjing gue udah nungguin, pasti kelaperan banget.” sambar Niken dengan senyuman yang tidak enak.
“Oh, ok.” jawab Yohan menatap mata Aca yang menakutkan. “Di lanjut ngobrolnya, kita pamit.” Aca langsung berjalan keluar restaurant dengan api amarah yang entah datangnya dari mana.
“Yohan, istri lo cemburu kali ya? Dia salah paham nggak sih?” tanya Mira menatap Yohan.
“Udah pasti, tapi gapapa. Aca itu gampang dibujuk dan dikasih penjelasan, dia pasti ngerti kalo gue jelasin.”
“Wah, hebat banget istri lo, jarang tau cewek kayak gitu.”