Ruang Memori

bibliosmia
Chapter #14

Ruang ICU

Hari berganti tanpa henti, kehidupan rumah tangga Aca dan Yohan tidak banyak berubah, Aca tidur tetap memeluk gulingnya, membelakangi Yohan, belum ada perubahan yang baik, selain Aca mulai mengakui bahwa dirinya adalah seorang istri. Menikah di usia muda bagi Aca bukanlah hal yang buruk, Aca tetap bisa melanjutkan mimpinya, bekerja tanpa hambatan, mungkin itu karena Aca memilih pasangan yang tepat, maksudnya bukan memilih tapi dipilihkan.

“Pak Rudi bilang, akhir bulan depan dia bisa dateng buat ikut launching kafe baru kita.” Niken membacakan pesan dari Pak Rudi.

“Hm, gue nggak sabar deh rasanya.” Aca meletakkan tangannya di dada seraya memejamkan mata.

“Nggak kebayang yah kita bakal ada di launching kedua.” ucap Saras, mulai ikut berkhayal seperti Aca.

“Inget nggak sih dulu kita buka kafe ini?” sejenak ingatan mereka mundur ke 4-5 tahun yang lalu, saat itu Aca masih menggunakan seragam sekolahnya, masih SMA, Aca, Saras, dan Niken membuka usaha mereka dengan berjualan di bazar, membuka stan kecil saat CFD (Car Free Day) di hari minggu, semua itu berawal dari ide Aca yang ingin mengelak dari kuliah, katanya lelah menghadapi tugas-tugas, alasan yang cukup masuk akal.

Tiga orang gadis memulai bisnis dengan nekat, tapi tidak hanya nekat, mereka juga konsisten, melakukan itu setiap di hari libur, setiap minggunya tanpa henti, bahkan detik-detik menuju Ujian Nasional, Aca membawa buku pelajarannya ke tempat jualan, di sela sepi dia mencoba belajar ditemani Saras dan Niken yang saat itu sudah hampir bebas dari masa-masa kuliahnya.

Perjalanan yang sama sekali tidak mudah, tapi cukup menyenangkan dan menjadi bagian penting di dalam ruang memori mereka masing-masing,

-||-

Setelah berhari-hari sibuk dengan urusannya sendiri, kini Aca, Niken, Saras bisa melakukan apa saja yang mereka mau untuk sedikit meregangkan otot. Niken memilih untuk ke salon, seperti biasa Niken adalah wanita terhebat dalam merawat diri. Saras meluangkan waktu bersama Yoga, mengulang kenangan manis mereka, dan saling bercerita soal kepedihan dan hari-hari mereka. Aca, dia kembali ke rumah orang tuanya, bermain di sana, tertawa terbahak-bahak, menyerap semua bahagia di dalam rumah itu, tentu bersama Yohan yang sekarang terasa sangat bahagia melihat Aca tertawa lepas.

“Kamu, kalo sama saya kenapa jarang ketawa?” tanya Yohan saat mereka sudah berbaring di kamar tidur. “Emang Mas Yohan pernah ngelawak?” tanya Aca balik menatap Yohan.

“Jadi harus ngelawak?” tanya Yohan tersenyum. Kemudian Aca menatap Yohan dengan serius. “Kalo ketawa nggak ada yang lucu, bukannya aneh?”

“Iya sih, tapi saya seneng liat kamu ketawa, saya suka.” kalimat itu membuat Aca tersenyum lebar ke arah Yohan.

Good night!” Aca langsung mengakhiri obrolan itu, membuat Yohan harus menunggu lagi untuk bisa bercerita banyak dengan Aca, atau setidaknya kelak bisa mencium kening Aca setelah mengatakan good night.

Hingga saat ini, mereka belum pernah merasakan bergandengan tangan, Aca terlalu keras untuk dengan cepat memahami semuanya, dan Yohan terlalu sabar untuk menunggu.

Malam ini, disapu dengan angin malam dan kesunyian tiba-tiba Aca terbangun, entah mimpi apa yang membuatnya membuka mata di pukul dua malam ini. Aca duduk di samping Yohan yang tertidur pulas di sampingnya, mata Aca memperhatikan posisi Yohan tidur yang sama sekali tidak membelakanginya seperti yang dia lakukan, hati Aca terketuk, terbesit pikiran betapa jahat yang dia lakukan selama ini.

Aca mencoba tidur tapi matanya tidak ingin lagi terpejam, sudah lima belas menit lamanya dia duduk, kesal sudah hadir karena Aca merasa bosan tanpa teman bicara, ingin membangunkan Yohan rasanya tidak sanggup, mau tidak mau Aca harus kembali meghidupkan ponselnya untuk sekedar bermain game atau menonton film kesukaannya.

Saat ponsel itu menyala dengan terang di dalam kamar yang remang, hanya di terangi lampu tidur yang juga tidak begitu terang, Aca menyipitkan matanya karena silau, Aca melihat ada sepuluh kali panggilan tidak terjawab karena ponselnya mati, panggilan pertama jam sepuluh malam dari Niken, panggilan kedua jam satu malam dari nomor tidak dikenal sebanyak lima kali, sisanya baru saja terjadi dari Saras sebanyak empat kali.

Wait, wait, wait, ada apa nih gue di boom telepon?” merasa hatinya tidak enak, Aca mencoba menghubungi Saras yang menelponnya terakhir kali, panggilan itu langsung dijawab oleh Saras yang sedang grasak-grusuk. “Ras, halo, lo kenapa? Jawab dong, Ras ....” Aca terus berbicara karena tidak bisa mendengar suara Saras dengan jelas.

“Niken kecelakaan, sekarang di rumah sakit pelita.” suara ini tidak terlalu jelas, karena Saras berbicara sambil tersedu, tapi sedikit terdengar oleh Aca yang bisa merasakan bahwa sedang terjadi sesuatu dengan Niken.

Dengan cepat Aca membangunkan Yohan, “Mas, Mas Yohan bangun” Aca berteriak menggoyangkan badan Yohan dengan kencang, membuat Yohan bangun dengan segera, belum sempat bertanya Aca sudah menjelaskan “Sekarang kita ke rumah sakit, Niken ada di sana, sekarang” Aca berkata panik membuat Yohan ikut terkejut, Aca melompat dari kasurnya dan keluar membangunkan seisi rumah, mulai dari menggedor kamar Aryo.

“Ca apa sih? jam setengah tiga malem loh.” Aryo membuka pintu sambil merenyeng marah.

“Niken masuk IGD Pelita, Mas Arya mana?” tanya Aca panik.

“Kan dinas malem, kamu mau ke rumah sakit?” tanya Aryo yang kini ikut merasakan cemasnya Aca.

“Iya.” Aca langsung berlari menuruni tangga.

“Mas Aryo ikut!” Aryo menggambil jaketnya dan membututi Aca turun ke bawah bersama Yohan yang juga baru keluar dari kamar.

“Bu, Pak??” Aca menggedor kamar orang tuanya dengan sekuat tenaga.

“Iya kenapa, Ca?” Ibu membuka pintu dengan cepat, karena di jam segitu beliau memang sering terbangun untuk melaksanakan sholat malam.

“Aca mau pergi dulu, Niken ada di rumah sakit, kenapa dan gimananya nanti Aca kabarin, Assalamu’alaikum” Aca berbicara dengan cepat, dan menyalami Ibunya, kemudian berlari keluar disusul Aryo dan Yohan yang juga berpamitan.

“Hati-hati di jalan!” pesan Ibu dalam kebingungan.

Pukul setengah tiga malam, Aca, Yohan, dan Aryo membelah jalan dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit Pelita, tempat di mana Arya dan Yohan bekerja. Aca sama sekali tidak tahu apa yang terjadi pada Niken, karena yang Aca dengar di telepon hanyalah Niken di rumah sakit Pelita.

Setiba di sana, mereka bertiga berlari masuk ke ruang Ugd, terdapat banyak pasien malam itu, tapi tidak ada Niken di sana, “Sus, maaf pasien atas nama Niken yang baru saja masuk di mana ya?” Aca bertanya dengan gugup.

“Yang baru masuk? sebentar ya Mbak saya liat daftarnya.” suster itu melihat daftar nama pasien, “Kalo yang baru masuk nggak ada Mbak, tapi yang jam sepuluh malam tadi ada, atas nama Niken Indriani.”

“Iya itu betul, sekarang dia di mana?”

Lihat selengkapnya