Pagi ini Aca harus menyelesaikan urusannya dengan Pak Rudi, untuk berunding bagaimana jadinya kerja sama mereka. Durasi untuk beristirahat dari penatnya urusan bisnis dan kekacauan yang dibuat Dewo semakin menipis, menutup kafe untuk sementara, ternyata adalah keputusan terbaik untuk Aca dan sahabat-sahabatnya.
“Huh!” Aca mencoba mengatur napasnya dengan baik, berusaha menenangkan dirinya agar hari ini baik-baik saja.
“Kamu kenapa?” tanya Yohan yang keluar dari rumah menuju garasi mobil tempat Aca berdiri saat ini, dengan masih memejamkan matanya dan mengatur napas seolah sedang menyerap aura positif dari dunia. Aca menjawab, “Saya lagi mengendalikan hari ini, biar semua energi posotif terserap ke dalam diri saya.” jawaban dan tingkah laku Aca membuat Yohan tersenyum.
“Ayo masuk mobil.” ajak Yohan.
Mobil mereka melaju ke rumah sakit, beberapa hari ini Aca seperti sedang mengintili suaminya untuk bekerja, “Kamu jam berapa ketemu, Pak Rudi?” tanya Yohan saat sudah tiba di parkiran rumah sakit.
“Jam sepuluh.” jawab Aca singkat.
“Saya temani kamu!” kata Yohan membuka pintu mobil.
“Eh-eh,” Aca menarik tangan Yohan sebelum keluar dari mobil, membuat Yohan kembali duduk. “Kenapa?” tanya Yohan pelan.
“Saya bisa pergi sendiri, kamu urus kerjaan kamu, saya urus kerjaan saya, ok.” Aca tersenyum memberikan tanda ok dengan tangannya.
“Kalo saya anter emangnya kenapa?” tanya Yohan lagi.
“Saya nggak suka ganggu orang lain.” Yohan terdiam, sedangkan Aca masih tersenyum menandakan dia tidak menyadari kalimatnya menyakiti Yohan.
“Hm .. kamu emang mandiri, nggak mau nyusahin orang lain.” Yohan mencoba menyindir Aca. “Makanya kamu nggak perlu khawatir, saya bisa sendiri.” Aca tersenyum, lalu membuka pintu mobil membiarkan Yohan sendiri di dalam mobil dengan hatinya yang baru saja tergores. “Orang lain.” Ucap Yohan sendiri menahan sedihnya.
-||-
Setiba di kamar Niken, Aca melihat Saras sedang menyuapi sarapan untuk Niken, dalam hatinya berharap semoga mereka bertiga bisa melewati badai ini bersama-sama, baginya tidak masalah sekencang apa badai menerpa mereka, asalkan mereka tetap bersama, Aca hanya ingin agar Tuhan tidak pernah memisahkan mereka, karena butuh kesiapan yang ekstra untuk melewati perpisahan seperti itu.
“Ehem, permisi saya mau nyuntik pasiennya boleh?” Aca berteriak membuat Saras dan Niken tersadar, lalu tertawa.
“Oh, ini Dokternya toh? Cantik ya, Bu Dokter bisa suntik diri sendiri dulu, biar waras?” ucap Saras meledek, lagi-lagi membuat Niken tertawa dan membuat Aca berlari mendekati kedua sahabatnya itu.
“Jahat ih.” Aca memukul pundak Saras.
“Hahaha, eh lo udah sarapan?” tanya Saras.
“Udah tadi di rumah,” Aca meletakkan tasnya lalu duduk di atas kasur Niken “Ken, gimana udah enakan?” sambung Aca langsung bertanya pada Niken.
“Lumayan, gue udah mau seminggu di sini, ya kali nggak ada kemajuan. Lo berdua gantian di sini ngejagain gue, yang jagain kafe siapa? Atau semuanya di handle Putri?” tanya Niken membuat Aca dan Saras menelan ludah, sebenarnya mereka ingin berbohong tapi mengingat perjanjian persahabatan mereka yang harus selalu jujur tentang hal apapun, maka keduanya hanya bisa diam, karena juga tidak sanggup menjawab.
“Woi jawab, gue nanya ini?” lanjut Niken.
“Anu Ken, apa namanya, kita, itu ... -,” Saras bingung menjawab apa.
“Gue nggak suka nih, kalian nggak jujur sama gue ya? Ada apa sih? Atau biar gue yang nebak?” potong Niken yang malas mendengar a i u e o dari Saras yang terlalu lama ingin merangkai cerita.
“Lo, dengerin kita baik-baik ya!” ucap Aca membuat Saras ketakutan.
“Ca?” panggil Saras memberikan kode agar tidak memberitahu Niken tentang kejadian yang sebenernya.
“Ras please, jangan ngalangin Aca yang udah mau cerita ke gue.” ucap Niken yang melebarkan matanya ke arah Saras. “Yaudah ok” Saras pasrah.