Sudah sepuluh hari Niken di rumah sakit, itu artinya sudah sepuluh hari juga Aca dan Saras setia bergantian menjaga Niken, fokus Aca dan Saras sedang tertuju pada kesembuhan Niken, sehingga tidak ada waktu untuk hal lainnya, termasuk mengurusi urusan kafe, bagi mereka itu adalah nomor sekian. Pagi ini, mereka bertiga sedang berkumpul di ruang rawat Niken, seperti biasa Aca dan Saras akan bergantian, kali ini tugas Saras yang menjaga Niken dari pagi hari ini hingga pagi hari besok. Terlihat Aca sedang melamun di depan sarapannya yang dibawakan oleh Saras.
“Woy, makan! Jangan melamun doang, heran gue hoby kok melamun.” Saras menyenggol Aca dengan sikutnya, dibarangi dengan omelan khas Saras.
“Gue pengen pulang deh.” ucap Aca meletakkan sendok makannya di dalam mangkuk bubur Ayam yang tak berdosa itu.
“Yaudah sarapan dulu, abis itu lo pulang!” Saras menjawab sambil terus menyuapi Niken yang kali ini makan dengan sangat lahap, karena memang fungsi lidahnya sudah kembali sempurna, tidak ada lagi kata-kata pahit saat mengunyah makanan.
“Maksudnya pulang ke rumah orang tua gue,” tiba-tiba Saras dan Niken tersentak kaget. “Lo ada masalah apa sama, Mas Yohan?” tanya Niken menghentikan sendokan bubur yang di berikan oleh Saras.
“Hah?” tanya Aca yang tidak fokus dengan pertanyaan Niken.
“Lo ada masalah apa sama, Mas Yohan?” ulang Saras dengan pertanyaan yang sama.
“Nggak ada, emang kenapa?”Aca bertanya balik, melihati Saras.
“Ya lo tiba-tiba pengen balik ke rumah orang tua lo.”
“Bukan berarti gue lagi ada masalah dong.”
“Terus apa?” kompak Niken dan Saras membuat Aca memangku dagunya dengan kedua tangan.
“Gue kangen sama mereka!” jawab Aca pelan.
“Dih, tumben melow banget?” tanya Saras, Aca diam sejenak mengatur napasnya sebelum menjelaskan semua yang dia rasakan.
“Huh ...” Aca kembali melihat ke arah Saras dan Niken yang juga melanjutkan suapan bubur mereka, “Gue ngerasa ada yang beda selama gue nggak serumah sama mereka. Dulu hampir tiap hari gue berantem sama Bapak, Bapak minta ini, itu, gue harus jadi ini, itu, punya ini, itu, dan nggak ada satu pun yang gue ikutin, karena prinsip gue yang nggak mau bahagiain orang lain dengan cara ngorbanin diri gue sendiri.” jelas Aca yang mulai merasakan matanya memanas.
“Terus?”
“Sampe akhirnya dia minta gue nikah sama, Mas Yoha. Satu-satunya permintaan Bapak yang gue turutin, nggak tau itu karena gue capek berantem sama Bapak, atau karena orang tuanya Mas Yohan juga minta itu ke gue, atau ... -,” Aca diam, maju-mundur untuk melanjutkan ucapannya.
“Atau karena Mas Yohan adalah orangnya, orang yang lo tunggu?” Niken menyambung ucapan Aca.
“Hm, nggak tau. Tapi yang jelas, gue mau makasih sama Bapak, rasanya gue menikah dengan orang yang tepat, gue tau susahnya nikah di usia muda, gue masih pengen ngejar banyak hal, pengen ada di atas sana, gue pikir menikah bakalan buat gue berhenti, ternyata enggak, Mas Yohan nggak pernah nuntut apapun dari gue, itu artinya Bapak milihin orang yang tepat kan buat gue?”
“Lo kenapa sih, Ca? Nggak biasanya ngomong gini?” Saras tetap merasa bahwa ada yang berbeda dari Aca hari ini.
“Gue udah nikah 2 bulan sama Mas Yohan, gue nggak bisa jadi istri buat dia, Ras. Gue belum berbagi apapun sama dia, tapi kenapa dia masih di sini, masih ada buat gue.”
“Karena dia jatuh cinta sama lo dan dunia lo, Yohan akan selamanya ada di situ, dia nggak akan pergi, karena dia tau lo juga cinta sama dia!” jawab Saras.
“Ca dengerin gue! Lo bukan anak kecil lagi, nggak bisa egois, iya gue tau lo perempuan hebat, yang punya prinsip luar biasa, gue paham, tapi Yohan suami lo, bukan orang lain, udah waktunya lo berbagi sama dia, apapun itu, sedih, seneng, udah waktunya lo kenalin dunia lo ke Yohan, jangan terus-terusan ngebuat dia sendirian dan nungguin lo, inget orang nunggu ada batas waktunya juga, secinta apapun mereka sama kita.” sambung Saras.
“Iya.” Aca menjawab singkat kemudian meletakkan kepalanya di kasur Niken.
“Lo cinta sama dia, kita tau itu, dan lo juga tau itu.” ucap Niken membelai kepala Aca.
-||-
Setelah curhatan singkat yang sekarang tidak henti-hentinya membuat Aca berfikir, kini Aca sudah tiba di rumah orang tuanya dengan bantuan ojek online, pastinya.
“Assalamu’alaikum??” Aca masuk ke dalam rumah yang cukup sepi itu, Aca masuk pelan-pelan, mengintip dari balik dinding, melihat kedua orang tuanya sedang duduk santai di ruang keluarga, mereka sedang menikmati pagi mereka yang sepi, kedua kakak Aca tentu sudah tidak ada di rumah.
Aca melihat kedua orang tuanya tertawa, saling menggoda, saling melempar canda, benar-benar pasangan suami istri yang bahagia, bahkan terdengar jelas ketika Bapak memuji masakan Ibu, “Em, pisang gorengnya enak banget!” ucap Bapak menggigit pisang goreng yang ada di atas meja,