Hari-hari Aca kini dipenuhi oleh debaran, melihat sikap Yohan yang semakin hari semakin romantis, rasanya Aca ingin terbang melayang bebas di udara, bagaimana bisa laki-laki sekaku Yohan saat pertama bertemu, kini menjelma menjadi pangeran paling romantis yang pernah Aca kenal. Setiap harinya Aca dibuat melayang dengan perlakuan-perlakuan sederhana dari Yohan, Aca sudah seperti remaja yang sedang kasmaran, jika dia sedang mengingat soal Yohan.
“Ca ... Aca?” Arya menggerakkan tangan di hadapan wajah Aca.
“Hah, apa sih?” Aca menyadari Arya sedang mengganggu lamunanya, sedangkan Arya menyerengitkan dahinya.
“Ya lagian, disuruh tunggu sebentar aja udah ngelamun,” Arya duduk di kursinya, “Kafe kamu kapan bukanya?” lanjut Arya bertanya.
“Insyaa allah besok udah buka lagi. Oh ya Aca boleh curhat nggak?” Aca mengeluarkan ekspresi tidak biasa.
“Curhat? Boleh-boleh, seru ni pasti, buat bahan gosip sama Aryo!”
“Ih, Mas mah gitu.” Aca merengutkan wajahnya. “Hahaha becanda, ayo curhat apaan? Nanti Mas tinggal loh, mau cek pasien.”
“Aca, lagi jatuh cinta!” ucap Aca sambil tersenyum lebar, sayangnya Arya malah melebarkan kedua bola matanya. “Astaqfirullah!! Ca kamu y?, Bapak sama Ibu nggak pernah ngajarin kamu buat jadi orang yang nggak baik, apalagi selingkuh!” ucap Arya berdiri tidak bisa menahan emosinya.
“Selingkuh apaan?” jawab Aca bingung.
“Itu tadi, kamu bilang kamu lagi jatuh cinta?”
“Hm, please deh Aca nggak suka drama kayak gini, duduk!” Aca menyuruh Arya untuk duduk, diikuti dengan patuh oleh Arya yang masih memasang wajah marah.
“Maksudnya, Aca itu jatuh cinta sama Mas Yohan, suami Aca.”
“Ha? Udah 2 bulan lebih nikah, baru jatuh cinta sekarang?” tanya Arya kaget.
“Ya kan Mas tau Aca sempet patah hati sama dia, intinya sekarang Aca bener-bener yakin, kalo Aca jatuh cinta sama Mas Yohan, tau nggak setiap hari jantung Aca tuh degdegan kalo ketemu Mas Yohan, ahhh Aca lagi kasmaran, Mas!!”
“Dih??" Arya heran sendiri melihat ekspresi Aca yang begitu girang.
-||- -||-
Hari-hari berganti, setiap langkah dipenuhi oleh cinta yang merekah, rasanya Aca ingin di samping Yohan setiap saat, jatuh cinta pertama, kekasih pertama, dan semua hal yang pertama kini terjadi di hidup Aca, sangat menyenangkan.
“Mbak Aca, semangat banget sih hari ini.” tegur Putri, karyawan Aca yang hari itu bersama sembilan karyawan lainnya ikut membersihkan kafe yang sudah selama 14 hari ditinggalkan tanpa penghuni.
Aca tersenyum ke arah Putri, “Gimana enggak Put, besok kita udah bisa buka kafe ini lagi, saya ketemu kalian lagi, ketemu pelanggan kita lagi, ketemu kertas-kertas laporan yang buat eneg lagi, dan yang paling penting, saya bakal ngerasain aroma kopi lagi, coba bayangin gimana saya nggak seneng?” jelas Aca.
“Iya sih Mbak, saya juga seneng banget!” tiba-tiba seorang karyawan lainnya mendekat. “Mbak, keadaan Mbak Niken gimana?” tanya karyawan itu.
“Alhamdulillah udah baik, mungkin satu, dua minggu lagi udah bisa dateng ke kafe, kalian bantu doa ya!”
“Aamiin, jadi nggak sabar buat nerima pelanggan kita lagi.” bagaimana tidak, kafe ini berdiri di atas solidaritas yang kuat, di mana para pemiliknya sangat memanusiakan para pekerjanya, Aca dan teman-temannya tidak segan untuk memberi bonus kepada semua karyawan, tidak ada di antara mereka yang merasa tidak diadili, semua merata dan sama, itu sebabnya loyalitas semua karyawan kafe memori tidak harus dipertanyakan lagi.
Dari pukul dua siang mereka mulai membersihkan kafe, semua dikerjakan dengan rasa gembira, Aca yang ada di sana sangat merindukan kehadiran Saras dan Niken, Niken masih berada di rumah sakit, dan Saras seperti biasa, harus menjaga Niken.
“Hai?” seseorang berbisik di telinga Aca tiba-tiba, membuat Aca kaget setengah mati, saat di lihat ternyata itu Iqbal, anak angkat Pak Hadi.
“Eh, Mas Iqbal apa kabar?” Aca bertanya dengan semangat.
“Baik Ca, kamu gimana? Ini kafenya direnovasi ya?” tanya Iqbal yang melihati isi ruangan penuh dengan orang-orang yang sibuk.
“Baik Mas, enggak kok ini cuma bersih-bersih aja. Kapan pulang dari Palembang, Mas?”
“Kemarin sore, tadi aku ke rumah Bapak terus Bapak cerita semuanya. Selamet ya kamu udah nikah.” Iqbal memberikan bungkusan kado yang dia bawa kepada Aca.
“Makasih ya, Mas.” Aca meraih bungkusan itu.
“Kamu baik-baik aja, Ca?” sambung Iqbal bertanya, membuat Aca merasa heran. “Baik, emangnya kenapa?” Aca bertanya heran.
“Aku takut kamu nggak bahagia.” Iqbal sedikit berkata pelan, tapi Aca tersenyum, menjawab dengan tenang.
“Aca bahagia banget, Mas!” Aca menjawab sambil tersenyum girang, memang terlihat bahwa dirinya benar-benar bahagia, tidak ada sudut kesedihan di wajah Aca.
“Bagus deh kalo gitu, oh ya saya bantuin beres-beres boleh?” tanya Iqbal.
“Kalo itu boleh banget, ayo!” Aca mengajak Iqbal untuk ikut membersihkan kafenya, Aca tidak terlalu peduli soal perasaan Iqbal, sebab sejak bertahun-tahun yang lalu Aca sudah menganggap Iqbal sebagai kakaknya, seperti yang dikatakan Bapak bahwa Iqbal adalah bagian dari keluarga mereka.
Saat semua sedang meregangkan otot karena kafe sudah bersih seperti sedia kala, mereka semua menikmati secangkir es yang dingin yang sangat menyejukkan leher, sambil bersenda gurau bersama, termasuk Iqbal yang saat itu ada bersama Aca dan para karyawannya.
“Jam berapa sih?” Aca bertanya pada siapa saja yang bisa menjawab pertanyaannya. “Jam lima, Mbak.” hampir semua karyawan Aca menjawab.
“Mau kemana lagi, Ca?” tanya Iqbal melihati Aca yang membereskan tasnya.
“Nggak kemana-mana Mas, siap-siap aja,” jawab Aca kemudian melihat semua karyawannya, “Besok yang masuk sift pagi datengnya seperti biasa ya, sekarang kalian boleh pulang, istirahat, biar besok fresh!” ucap Aca tetap dengan senyuman yang tidak pernah hilang.
“Iya, Mbak.” semua menjawab sambil bergegas berdiri dan satu-persatu meninggalkan kafe.
“Kamu pulang ke rumah Bapak atau kemana?” tanya Iqbal yang juga sudah berdiri dari duduknya. “Ke rumah suami Aca, Mas.” jawab Aca membuat Iqbal menelan air ludahnya. “Kalo gitu, Mas Iqbal anter ya?”
“Nggak usah, Mas.” tolak Aca lembut, kemudian meletakkan tali tasnya ke pundak.
“Kenapa? Mau naik ojol aja? Superhero kamu?” Iqbal tertawa kecil.
“Bukan, suami Aca udah di jalan mau jemput!” lagi-lagi kalimat Aca membuat hati Iqbal seolah hancur berantakan, tidak lama terlihat mobil putih jemputan Aca masuk ke dalam parkiran kafe, “Itu suami Aca, nanti Aca kenalin ya.” Aca berbicara kepada Iqbal sambil menunjuk ke arah mobil yang baru saja tiba.