Kencan pertama, layaknya anak remaja yang sedang jatuh cinta, Aca sedang bersiap berdandan ria di kamarnya, dan Yohan terjebak dalam situasi yang sangat menyebalkan untuk semua pria, yaitu menunggu sang gadis untuk berdandan, tapi untuk kali ini Yohan sangat menikmatinya, menikmati setiap rasa dan debaran jantungnya. Sudah tiga bulan menikah, ini kali pertama mereka untuk menghabiskan waktu seharian bersama, dari pagi ketika hujan turun dengan lebat lalu disambut dengan petang yang cerah, Aca dan Yohan memutuskan untuk pergi berjalan-jalan.
“Gue cantik nggak sih?” Aca kembali menatap wajahnya yang sudah dia lihat dari setengah jam yang lalu, “Gue harus ganti gaya make-up kali ya, kok polos banget,” Aca terus memegangi wajahnya, ke kanan-kiri, “Lipstik gue kurang pink nggak ya? Kepucetan nggak sih? Atau blus-on gue yang kurang on? Gue pucet banget, sih?” Aca terus mendumel di depan cermin, tidak ingin terlihat buruk di kencan pertamanya bersama sang suami.
Aca menambah waktunya untuk kembali membuka kotak make-up, bingung harus kembali memulainya dari mana, “Ahhh, gini amat mau kencan doang!!” Aca melemah di depan bayangannya sendiri, merasa dirinya tidak pantas untuk bergandengan tangan bersama Yohan yang tampannya tidak main-main, “Ok, kita mulai ganti warna lipstick, cari yang lebih cerah.” Aca membongkar semua koleksi lipsticknya, tapi percuma, yang dia punya semuanya sama, brand yang sama, nomor yang sama, dan tentunya warna yang sama.
“Permisi?” Yohan masuk ke dalam kamar mengagetkan Ac.
“Eh, Mas.” Aca menoleh ke arah Yohan. “Belum selesai?” tanya Yohan mendekat, berdiri tepat di belakang Aca yang sedang duduk menghadap cermin.
“Belum, saya bingung deh, liat muka saya tuh, pucet nggak sih? Nggak merona gitu, iya nggak sih, coba-coba perhatiin!” Aca meminta Yohan memperhatikan wajahnya di dalam pantulan cermin, “Iya kan? Atau karena saya udah tua ya?” Aca kembali bertanya.
“Ca?” panggil Yohan lembut.
“Hm?” Aca mendongakkan kepalanya melihat Yohan yang ada di belakangnya. “Kamu cantik, selalu cantik!” ucap Yohan, membuat Aca kembali memandang wajahnya di cermin.
“Saya nggak yakin.” Aca menjawab cuek.
“Saya serius, Ca. Kamu cantik jadi diri kamu, nggak perlu ganti warna make-up, ganti warna lipstick, kamu cantik seperti ini.” jelas Yohan.
“Masa?” Aca mencoba meyakinkan dirinya.
“Iya, ayo jalan, nanti saya yang keburu makin tua!” Yohan tertawa kecil.
“Hm, ok.” Aca berdiri mengambil tasnya, tapi tiba-tiba mereka berdua terdiam, saling memandangi satu sama lain, Yohan memandang Aca dengan heran dan begitu juga sebaliknya.
“Kenapa kita pake baju kembar dari atas sampe bawah?” tanya Aca yang bingung melihat pakaian mereka berdua yang begitu mirip, baju kaos warna senada, celana hitam yang panjang, sepatu berwarna putih, bedanya hanya Aca membawa tas kecil di bahunya.
“Saya nggak tau, kamu kenapa pake pakaian itu?” tanya Yohan.
“Ya, karena saya punya baju ini, kamu sendiri kenapa?”
“Karena saya punya baju ini!” jawab Yohan sederhana, mereka terdiam lagi, memperhatikan detail pada diri mereka yang benar-benar mirip.
“Saya ganti baju deh.” ucap Yohan mengalah. Sepertinya Aca tidak nyaman dengan pakaian mereka yang sama itu, “Kenapa?” tanya Aca. Yohan tersenyum, “Kayaknya kamu nggak nyaman.”
“Saya nyaman kok, malah lucu, sini deh!” Aca menarik tangan Yohan, mengajaknya untuk berdiri di depan cermin, “Liat, kita sama, kayak anak kembar, lucu ya?” tanya Aca tersenyum lebar.
“Lucu, tapi jangan kembar lah, kan kalo kembar artinya saudara, mana boleh nikah.” ucap Yohan serius.
“Iya, tapi kan kita nggak kembar.” jawab Aca tersneyum melihat Yohan.
“Ya kalo gitu, thanks god!” Yohan tersenyum, dan Aca membalas senyuman itu.
Mereka berjalan menuju mobil, memutuskan untuk pergi ke tempat wisata kota yang terbuka, Aca bukan anak mal, dia bingung apa yang harus dikerjakan di mal selain menonton bioskop, dan minggu ini tidak ada film yang masuk daftar listnya untuk ditonton.
Mereka memutuskan untuk pergi ke salah satu tempat wisata yang cukup ramai di saat hari libur seperti ini, Kota Tua, salah satu tempat wisata yang sangat ramai dan luas, cocok untuk orang-orang yang menyukai pemandangan langit sore.
Aca dan Yohan memarkirkan mobil mereka di salah satu stasiun kereta, mereka melanjutkan perjalanan menggunakan commuter line, memilih untuk bersenang-senang bersama, menghabiskan waktu perjalanan dengan tertawa, bercanda di dalam gerbong kereta, seolah semua penumpang lain hanyalah bayangan kosong.
Tapi sepertinya benar kata orang-orang, berjalan di samping pria tampan memang sangat mengkhawatirkan, sejak pertama di dalam kereta, sudah ada puluhan gadis yang menatap Yohan dengan nakal, sangat menguji kesabaran Aca.
“Jangan marah, mereka cuma bisa liatin saya, tapi yang punya saya cuma kamu!” bisik Yohan di telinga Aca. Membuat wajah Aca berubah merona dan tersipu malu, “Apaan sih?” Aca menahan malu.
“Kota Tua!” Aca berkata ketika mereka keluar dari kereta, di stasiun terakhir, Aca keluar berjalan mendahuli Yohan.
“Ayo!” Yohan menyusul Aca dan kembali menggandeng tangannya, membuat Aca kembali tersenyum mengikuti langkah kaki Yohan, “Ini pertama kalinya saya kesini.” ucap Yohan membuat Aca terbelalak. “Hah? Mas Yohan bertahun-tahun tinggal di Jakarta, nggak pernah kesini?” tanya Aca menghentikan langkahnya.
“Iya, Saya di Jakarta dari SMA, sibuk belajar, setelah itu kuliah, kerja.”
“Ok, saya akan menebus masa muda anda!” Aca tertawa kecil, menyeret tangan Yohan untuk berjalan lebih cepat, sambil terus berbicara tentang ini dan itu, memperkenalkan semua isi Kota Tua, mengajak Yohan menyantap semua isi kuliner yang ada di sana.
Mereka berjalan, berlari, tertawa, berfoto di setiap sudut tempat itu, bermain sepeda, benar-benar menghabiskan sore itu dengan canda tawa.
“How?” tanya Aca mendekatkan wajahnya ke Yohan, saat mereka duduk di halaman luas Kota Tua, sambil menyantap telur gulung yang Aca beli.
“Seru!” jawab Yohan, melihati sekililingnya.