Ruang Memori

bibliosmia
Chapter #22

Luka

Enam Januari, tahun baru sudah berjalan selama enam hari. Proses kehidupan terus berjalan sebagaimana mestinya, tetap pada roda yang berputar, ada yang sehat, yang sakit, yang terluka, yang terlalu bahagia, semua merasakan manis, pahitnya dunia, tak kalah hilang satu-persatu penduduk bumi.

Malam minggu, waktu kencan yang sepertinya sudah ditetapkan oleh banyak pasangan untuk menghabiskan waktu bersama, termasuk Aca dan Yohan, sepasang suami istri muda ini juga akan menghabiskan malam minggu mereka bersama. Sejak sore tadi, Aca sudah sibuk dengan cemilan-cemilan yang sudah dia siapkan untuk disantap malam ini, sedangkan Yohan masih berada di rumah sakit, sepertinya akan pulang sedikit terlambat.

“Huh!!” Aca membuang napasnya, melihat keluar jendela yang sudah gelap, sepertinya juga akan turun hujan, bintang seolah malu menampakkan diri, bulan entah kenapa begitu redup, dan langit terlihat sangat menyeramkan.

Hati Aca sudah berdebar tak karuan, takut kalau hujan tiba sebelum Yohan pulang ke rumah, matanya sesekali melirik ke arah lampu yang ada di dalam kamar, dalam hatinya berdoa semoga listrik malam ini bersahabat.

Sepuluh menit sudah Aca mondar-mandir di depan jendela kamarnya, terlihat lampu mobil yang terang berhenti di depan pagar rumahnya, Aca mengerutkan keningnya, bertanya pada dirinya sendiri, siapa yang datang? Tanpa pikir panjang, Aca turun dari kamarnya, sepertinya mobil itu memang ingin bertamu, bel rumahnya sudah berbunyi sebanyak dua kali.

“Assalamu’alaikum?” beberapa orang mengucap salam dari luar pagar ketika melihat Aca membuka pintu rumahnya, dari dalam pagar, Aca bisa melihat ada seorang laki-laki yang usianya mungkin sebaya dengan Bapaknya, seorang Ibu yang juga seperti Ibunya, dan seorang perempuan yang mungkin juga tidak terlalu tua darinya.

“Wa’alaikumussalam!” jawab Aca mendekat, belum membuka pintu pagar itu, “Maaf Bapak, Ibu, mau cari siapa ya?” tanya Aca dengan sopan.

“Maaf mengganggu, saya ingin bertemu dengan Yohan, dulu saya pernah kesini tapi lupa, rumahnya yang ini atau yang mana?” seorang Bapak itu menjelaskan dari balik pagar.

“Oh iya betul, ini rumah Mas Yohan.” Aca tersenyum, tangannya mulai bergerak untuk membuka gembok pagar.

“Saya orang tua angkat Yohan, namanya saya Budi, dulu Yohan pernah menjadi relawan di salah satu puskesmas yang ada di kampung kami.” jelas Bapak itu lagi, ketika pintu pagar terbuka sempurna. Aca mengajak semuanya masuk, ada beberapa oleh-oleh yang mereka bawa.

“Silakan duduk!” Aca yang terlalu berani menerima tamu ini dan mempersilakan mereka masuk, hatinya sama sekali tidak menaruh curiga, karena di depan kompleks ada pos satpam, siapa saja yang masuk untuk bertamu, harus meninggalkan kartu tanda penduduk mereka di sana, jadi Aca merasa baik-baik saja menerima tamu di malam hari ini, di tambah lagi Aca justru beruntung, setidaknya kalau mati listrik, Aca tidak akan sendirian, hehehe.

Setelah menyuguhkan tamu-tamunya dengan teh hangat dan cemilan, obrolan panjang pun dimulai.

“Yohan, masih di rumah sakit?” tanya Pak Budi, sambil tersenyum ke arah Aca.

“Iya, Pak. di rumah sakit sedang ada rapat tahunan, jadi mungkin pulangnya akan sedikit terlambat, tadi kesini nggak ngabarin Mas Yohan, Pak?” tanya Aca.

“Kami sengaja langsung datang, tadinya nggak berniat mampir tapi kebetulan sudah di Jakarta, ya jadi mampir lah.” Aca menganggukkan kepalanya.

“Kamu kapan dateng kesini?” tanya perempuan yang mungkin sebaya dengan Aca itu.

“Iya, kenapa Mbak?” Aca yang tidak fokus, bertanya, berharap perempuan itu mengulangi pertanyaannya.

“Hm, saya Zahra, tadi saya tanya kamu kapan ke sininya?” ulangi perempuan itu, dengan memperkenalkan dirinya. Aca menangkap pertanyaan itu dengan baik.

“Saya di sini dari bulan Juli, Mbak.” jawab Aca jujur, karena pernikahan mereka terjadi pada akhir Juni, setelah itu mereka mengurus surat pernikahan yang keluar tepat pada tanggal dua Juli.

“Oh, udah lama ya. Di sini kamu kuliah?” sambung Zahra.

“Kebetulan saya nggak kuliah, Mbak.” jawab Aca polos, sambil mulai merasa bingung.

“Loh, jadi di sini ngapain?” tanya seorang Ibu yang sudah bisa ditebak itu adalah Ibunya Zahra.

“Saya punya bisnis kafe di sini.” jawab Aca tegas, tanduk kecilnya sedikit merasa terhina dengan pertanyaan ketus itu.

“Wah, hebat ya kamu!” puji mereka bertiga dengan kompak.

“Kamu tau nggak, dulu Yohan sering cerita tentang kamu ke kita.” ucap Zahra membuat Aca kaget setengah mati, bagaimana mungkin itu terjadi, dan kapan Yohan menceritakan dirinya pada orang lain, yang bahkan tidak Aca kenali.

“Oh ya?” Aca hanya merespon sederhana.

“Iya, katanya kamu itu pengen banget jadi Dokter, makanya kamu selalu belajar mati-matian, pengen kuliah di Jakarta juga kan?” sambung Zahra bercerita, sedang Aca kebingungan mencerna setiap cerita yang Zahra katakan, otaknya seakan ingin berhenti, mencoba mencari tumpukan memori yang tersimpan, mencari barang sedikit ingatan tentang cita-citanya, seingat Aca, dia tidak pernah tertarik untuk menjadi seorang Dokter.

“Saya sama Yohan, sudah sempat tunangan,” sebentar, kata-kata ini sangat tidak masuk ke dalam pikiran Aca, “Dulu, sekitar satu setengah tahun lalu, Yohan menjadi relawan di puskesmas kampung kami, sambil mengajar sedikit-sedikit di pesantren Bapak, kurang lebih selama dua, tiga bulan.” cerita Zahra membuat Aca melebarkan telinganya dengan sempurna.

“Sebelum kembali ke Jakarta, Yohan mengajak saya menikah.” kali ini, cerita Zahra membawa petir yang menyambar tepat ke hati Aca.

“Menikah?” tanya Aca, tidak percaya.

“Iya.” jawab Zahra tersenyum.

“Sebentar, ini maksudnya, Mbak Zahra sama Bapak dan Ibu, datang kemari dengan maksud apa?” tanya Aca yang tidak ingin basa-basi lagi.

“Mau tanya Yohan, gimana kelanjutan hubungan kami,” jawab Zahra, “Kami sama-sama setuju akan melangsungkan pernikahan enam bulan setelah hari itu, tapi sekarang sudah satu setengah tahun.” sambung Zahra.

“Iya, begitu nak, dan kebetulan kamu juga di sini, sebagai anggota keluarga Yohan, yang bisa menjadi saksi.” sambung Pak Budi.

“Saya memang anggota keluarganya Yohan, tapi saya bukan Adiknya Yohan. Yang diceritakan oleh Mbak Zahra tadi itu adalah Hana, Adiknya Mas Yohan.” jelas Aca.

“Terus kamu siapa?” tanya Zahra yang mengubah ekspresi wajahnya.

“Saya Aisyah, istri Mas Yohan!” jawab Aca, membuat tiga orang di hadapannya itu terkejut, bahkan tidak percaya dengan pengakuan Aca.

Tiba-tiba, kelakson mobil memecah kecanggungan di sana, Aca menolehkan kepalanya keluar, menyadari bahwa ada mobil yang baru saja berhenti di depan rumahnya, lagi. “Itu mungkin Mas Yohan, tunggu sebentar.” Aca bergegas keluar, menemui sumber suara, betul saja, itu adalah Yohan.

Lihat selengkapnya