Aca memutuskan untuk kembali ke rumah orang tuanya, membungkam tidak menceritakan apapun kepada siapapun, berdiam di dalam kamarnya untuk waktu yang lama, kedua orang tua Aca justru mendapatkan penjelasan dari Yohan, yang langsung datang menemui Aca, berharap bisa membawa Aca kembali ke rumah mereka, tapi seperti yang kita tahu, apa yang kata Aca tidak, akan tetap tidak.
Orang tua Aca meminta Yohan untuk membereskan masalahnya dengan keluarga Zahra terlebih dahulu, setelah itu baru ajak Aca untuk berdiskusi, dalam kondisi seperti ini Aca tidak bisa dibujuk oleh siapapun dan dengan apapun. Yohan menemui Saras dan Niken, meminta mereka untuk menemani Aca, Yohan takut Aca mengambil keputusan buruk untuk pernikahan mereka.
“Mas, Aca itu sederhana loh mintanya, apa susahnya bilang ke mereka sih?” Saras menaikkan nada bicaranya, saat ini mereka sedang berkumpul di ruang kerja kafe memori, di sana ada Saras, Niken, Yohan dan Yoga.
“Ras, ini soal hati. Kalo saya bersikap keras ke mereka sama aja saya nyakitin anggota keluarga saya, saya juga takut Zahra berbuat nekat.” jawab Yohan.
“Menurut Mas Yohan, apa yang Mas Yohan lakuin sekarang nggak nyakitin Aca? Iya? Nggak buat Aca nangis? Nggak buat Aca melakukan hal nekat? Atau sebenernya emang nggak peduli sama Aca? Iya?” Saras berdiri di hadapan Yohan, kali ini benar-benar membuat Yohan takut, matanya melirik ke arah Yoga, meminta pertolongan.
“Jangan liatin gue, lo yang buat masalah, lo yang di marahin, jangan seret-seret gue!” ucap Yoga yang juga takut melihat Saras.
“Heh, ada ya suami yang mentingin hati orang lain dibanding istrinya sendiri, lo beneran polos, baik, atau emang begok, hah?” tiba-tiba Niken memecah suasana dengan emosinya, matanya menatap tajam ke Yohan, Niken berdiri menunggu jawaban Yohan, “Ada alat buat mikir kan? Dipake dong!” sambung Niken.
“Nggak bisa jawab, kan? Makanya jangan apa-apa itu mentingin orang lain terus, pikirin diri kita, jangan hati orang lain terus yang jadi prioritas, kalo gitu terus kapan kita yang bahagia?” jelas Saras yang sudah bertahun-tahun meresap ilmu Aca.
“Pernah belajar skala prioritas nggak sih?” tanya Niken, tapi Yohan baru saja membuka mulutnya untuk menjawab, Saras sudah ikut menimpali pertanyaan Niken, “Kalo udah menikah, yang utama itu ya pasangan kita, bukan orang lain.”
“Atau emang selama ini nggak pernah cinta sama Aca? Iya? Nggak cinta?” tanya Niken.
“Ok, saya salah!” teriak Yohan, “Kalian duduk dulu,” sambung Yohan dengan nada yang sedikit pelan, baru kali ini dia dimarahi oleh dua orang perempuan sekaligus. “Saya cinta banget sama Aca, saya nggak mau orang lain, saya janji saya akan jemput Aca pulang, kasih saya waktu beberapa hari, saya akan kasih pengertian ke keluarganya Zahra, terutama Zahranya sendiri.” lanjut Yohan.
“Ya harus, kalo Mas Yohan nggak mau kehilangan Aca.”
“Tapi saya mohon jaga Aca, jangan sampe dia berpikir buat ninggalin saya, saya nggak mau itu kejadian.” pinta Yohan, membuat Niken dan Saras merasa iba dengan laki-laki ini.
-||-
Sore ini, Aca sedang menikmati air hujan yang turun dari langit. Aca duduk didekat jendela kamarnya, melihati tetesan air yang jatuh ke tanah, suasana rumahnya begitu sepi, Bapak dan Ibu sedang keluar rumah, kedua kakaknya juga sedang menikmati game mereka di dalam kamar, tanpa tahu apa yang sedang Aca alami.
“Aca, keluar dong, diem-diem bae1” suara teriakan dari depan pintu kamar Aca, siapa lagi kalau bukan kedua kakanya. Dengan berat hati, Aca mengumpulkan tenaganya untuk melangkah membuka pintu, “Hm, apa?” Aca mengeluarkan kepalanya di sela pintu yang dia buka setengah.
“Hujan, nggak takut?” tanya Aryo, dengan tatapan penuh curiga, Aca sudah bisa menebak maksud dari kedua Kakaknya ini.
“Alah, langsung aja mau apa?” tanya Aca yang sedang malas basa-basi.
“Laper, pengen mie instan, buatin ya?” pinta Arya dan Aryo memelas, mengeluarkan suara dan wajah manja yang sangat menjijikan di mata Aca. “Iya.” Aca langsung keluar dari kamar, menuruni tangga lalu ke arah dapur. Kedua kakaknya hanya melihati Aca aneh, “Tumben, nggak ngerocos dulu?” ucap Aryo, lalu mereka membuntuti Aca ke dapur.
Selama Aca memasakkan mie instan mereka, Arya dan Aryo hanya sibuk bercanda di atas meja makan, memukul-mukul sendok garpu ke piring, bernyanyi-nyanyi, berharap Aca menggubris kelakuan mereka, tapi Aca hanya fokus dengan apa yang dia kerjakan.
“Nih.” aca meletakkan mie instan yang sudah dimasak ke depan kedua kakaknya, lalu duduk di samping mereka, “Xie xie ni, Aca!” teriak Aryo dan Arya girang.
“Woi, kenapa sih? Tumben mingkem2bae.” Arya menyenggol kaki Aca dari bawah meja.
“Iya, nggak seru nih kalo kamu nggak ngomel, ngomel dulu buruan.” suruh Aryo, Aca hanya memandang kedua kakaknya itu, entah terbuat dari apa hati dua laki-laki ini, kenapa tidak bisa peka dengan keadaan.
“Kayaknya Aca bakal pisah sama Mas Yohan.” ucap Aca yang begitu tiba-tiba, Aryo yang sedang menjalankan suapannya ke mulut dengan lancar berubah macet, tangannya kaku tidak bisa bergerak mengantar sendokan mie itu ke mulutnya, sedangkan Arya terdiam, tangannya yang sedang meraih toples kerupuk ikut kaku.
“This is a joke? Atau kamu emang lagi curhat, Ca?” tanya Aryo memandang Aca. Seketika Aca melemaskan tubuhnya, menyandarkan tubuh kecilnya di kursi maka.
“Liat muka Aca, ada tanda-tanda lagi becanda nggak?” tanya Aca lemas.
“Nggak ada sih,” jawab kompak kedua Kakaknya, “Tapi ini serius? Kenapa?” tanya Aryo yang sekarang benar-benar meletakkan sendok dan garpunya ke atas mangkuk mie instan.
“Ada orang lain ...” Aca menarik napasnya, “Orang dari masalalunya Yohan, mereka dulu sempet mau nikah, tapi nggak jadi karena cewek itu pura-pura mau dilamar orang lain, Yohan mundur, tapi ternyata cewek itu cuma menggertak, tadi malem mereka sekeluarga dateng ke rumah, mikir kalo Aca itu adiknya Yohan, dan setelah tau, mereka kekeh minta Yohan tanggung jawab, karena di tempat tinggal mereka udah tersebar kalo Yohan mau nikah sama cewek itu.” jelas Aca pelan-pelan.