Kedatangan Saras dan Niken sedikit membuat Aca merasa lega, setidaknya sudah banyak air mata kepedihan yang keluar, harusnya malam ini Aca bisa tertidur dengan nyenyak. Namun nyatanya lagi-lagi Yohan benar, Aca memang perempuan rapuh, rasa takutnya untuk kehilangan begitu besar, sedih yang dia miliki belum lagi pergi menghilang.
“Udah malem, tidur ya!” ucap Ibu ke Aca, saat itu Ibu dan Bapak sedang berada di dalam kamar Aca, sekedar untuk menemani kesendirian Aca, Aca hanya mengangguk sambil tersenyum kecil, membiarkan orang tuanya keluar kamar dengan perasaan lega, tanpa mengkhawatirkan kondisinya lagi.
Malam ini tidak bisa dibunuh dengan tidur, Aca ingin melakukan sesuatu, Aca membuka ponselnya yang sudah mati selama dua hari ini, ketika dibuka, ada ratusan pesan masuk dari Yohan, semua pesan itu dia baca satu-persatu, semua isinya membuat Aca rindu, tanpa membalas, Aca menutup pesan itu. Aca membuka koleksi drama korea yang dia miliki, berharap bisa sedikit terhibur malam ini.
Setelah hampir satu jam menghadapi ponselnya, dengan episode yang begitu menguras energinya, kini perut Aca yang sejak siang belum diisi mulai merontah, merasakan perih, mau tidak mau Aca harus turun ke dapur.
Pukul sebelas malam, suasana rumah sudah sepi, malas sekali rasanya untuk keluar kamar, tapi apa boleh buat, perut Aca tidak bisa menahannya lagi.
“Eh, ngapain keluar kamar malem-malem?” tanya Arya yang baru saja menaiki tangga. “Mau makan, Mas Arya dari mana?” tanya Aca, karena melihat pakaian Arya yang begitu rapih.
“Dari beli laptop baru sama Aryo.” jawab Arya tercengir, tidak lama Aryo datang membawa kotak yang cukup besar ukurannya, tidak perlu ditanya, itu pasti laptopnya.
Aca hanya tersenyum kecil, lalu kembali berjalan menuju dapur, mencari makanan yang ternyata sudah habis tanpa sisa, lagi pula malam ini rasanya Aca hanya ingin menyeruput makanan hangat yang berkuah, apalagi kalau bukan mie instan.
“Ayo ditemenin!” Arya membuntuti Aca dari belakang, begitu juga dengan Aryo. Mereka berdua melihat Aca yang menyiapkan bahan-bahan masakannya, sepertinya akan ada eksperimen malam ini, mie instan yang seharusnya dimasak secara instan, akan terlihat sedikit rumit, Aca menyiapkan kol, daun bawang, serta beberapa pentol bakso yang siap dicampur ke dalam mie instan yang berkuah.
“Pada mau nggak?” Aca menawarkan kepada kakak-kakanya, agar bisa memasak lebih banyak.
“Enggak deh udah kenyang.” jawab keduanya kompak, dan kembali fokus pada laptop yang baru mereka beli, jangan ditanya apa gunanya, itu adalah laptop gaming, kedua kakak Aca ini memang sudah keracunan game, untungnya keduanya masih mengingat waktu ketika bermain.
“Aw!!” Aca berteriak, ketika ujung pisau melukai jari telunjukknya saat memotong daun bawang.
“Eh, kenapa?” kedua Kakaknya kaget, berdiri mendekati Aca, sama-sama memegang jari telunjuk Aca.
“Hati-hati makanya!” ucap Arya yang mengambil beberapa lembar tisu yang ada di meja.
Aca hanya diam terpaku, matanya memanas, air mata yang jatuh bukan karena sayatan pisau itu, tapi karena rindu, ingat saat dulu tangannya terluka, Yohan yang baru dia kenal begitu baik ingin membantu, ingatan itu keluar dengan sendirinya dari dalam ruang memori Aca, membuat matanya semakin merah dan panas, air matanya jatuh, tidak sanggup untuk ditahan lagi.
Kedua Kakak Aca menyadari tangis yang Aca keluarkan bukan karena sayatan kecil di jarinya ini, “Sakit ya, Ca?” tanya Aryo lembut, dijawab dengan anggukan kepala oleh Aca.
“Nangis aja, gapapa!!” suruh Arya, membiarkan Aca menumpahkan semuanya.
“Aca nggak mau nangis, tapi rasa sakitnya nggak ngebiarin Aca buat senyum.” ucap Aca yang kemudian kembali pecah, menangis sejadi-jadinya, tersedu di hadapan kedua kakaknya.
“Yang namanya luka, pasti ada obatnya, yang namanya patah, pasti ada baiknya, yang namanya sakit, pasti ada sembuhnya!” Aryo berkata menenangkan Aca.
“Tuhan punya caranya sendiri untuk mendewasakan ciptaannya, semakin diterpa kita dengan susah, semakin dewasa kita, semakin Tuhan akan dekat dengan kita!” timpal Arya, berharap Aca bisa menenangkan dirinya.
Setelah Aca berhasil menenangkan dirinya, dan semangkuk mie sudah matang karena disambung oleh chef Aryo, hehe, Aca bersiap menyantap mienya. “Makasih, Ma.s” Aca tersenyum ke arah Aryo yang meletakkan semangkuk mie di hadapannya.
“Bayar pake senyum” ucap Aryo memegang lembut kepala Aca.
“Udah makan, kita temenin sampe kamu selesai.”
Aca menyuapkan mie dengan tidak semangat ke mulutnya, hatinya luka, jarinya luka, kini sepertinya lambungnya juga sudah terluka. Suapan demi suapan masuk ke dalam mulut Aca, ditemani oleh kedua kakaknya yang sibuk mencoba mainan baru mereka itu, yang hanya bisa disentuh setiap malam minggu dan hari libur, karena di bawah atap rumah Bapak, peraturan tidak akan pernah berubah.
“Aca ngantuk, Aca ke kamar duluan ya.” tiba-tiba Aca berpamitan, padahal mie dalam mangkuknya masih sangat banyak. “Lah, makanannya nggak dihabisin dulu?” tanya Arya yang melihat isi mangkuk itu masih penuh. “Aca udah nggak kepengen.” jawab Aca.
“Yaudah sana, biar nanti Mas Arya yang abisin.”
“Ok, good night!” ucap Aca lalu masuk ke dalam kamarnya, berdiam lagi, merenung lagi, sampai kantuk datang, dan membuat Aca melupakan lelahnya.
Sedangkan di meja makan, kedua Kakak Aca sedang menikmati pembelian baru mereka, sambil merebutkan semangkuk mie yang tidak dihabiskan Aca.
“Tadi katanya kenyang, sekarang aja ngerebut.” Arya memukul tangan Aryo yang tidak berhenti menyendok ke dalam mangkuk mie.