Seperti kata orang, setiap perjalanan akan meninggalkan cerita, perjalanan cinta yang baru dilewati Aca, akan benar-benar menjadi cerita yang tersusun rapih pada ruang memorinya, kelak akan dia ceritakan pada anak, cucunya, hingga semua keturunan mereka, mengingatnya sebagai sejarah, yang tentu tidak akan dilupakan.
“Good morning?” Aca menyapa Yohan yang baru saja membuka matanya, sambil tersenyum, pegangan erat semalam belum lagi lepas, Yohan membuka mata dengan sempurna, merasakan bahagia menemui Aca yang berada di sampingnya itu.
“Morning!” jawab Yohan pelan, menebar senyuman manisnya.
Keduanya duduk, bersandar pada kepala kasur, Aca menyandarkan tubuhnya pada pelukan Yohan, tak ingin lepas lagi sepertinya, mungkin semalam Yohan membawa perekat yang begitu ajaib, sehingga sampai pagi ini Aca masih terus menempel seperti permen karet.
“Pulang yuk!” ajak Aca, mengajak Yohan untuk pulang ke rumah mereka, Yohan melirikkan matanya ke Aca, melihati Aca yang tumben meminta pulang dari rumah orang tuanya.
“Pulang?” tanya Yohan, dijawab dengan anggukan penuh senyuman dari Aca.
“Kamu nggak kesepian? Kan, nanti saya kerja?” tanya Yohan, ingin meyakinkan diri atas permintaan Aca.
Aca membuka jari-jari tangan Yohan, memegangginya satu-persatu sambil berkata, “Mau berdua aja sama kamu,” Aca melipat jari kelingking Yohan, “Mau, masakin kamu,” Aca melipat jari manis Yohan, “Mau, cerita-cerita sama kamu,” Aca melipat jari tengah Yohan, “Mau, tungguin kamu pulang kerja,” Aca melipat jari telunjuk Yohan, “Dan ...” Aca tersenyum, melihat ke arah Yohan, melipat ibu jari Yohan dan berkata, “Mau, selalu rindu sama kamu.” Aca tersenyum manis, hampir membuat Yohan terserang diabetes pagi ini.
“Kalo gitu, kita harus cepet pulang!” Yohan mendekatkan wajahnya ke wajah Aca, membenturkan pelan kepalanya dengan kepala Aca.
“Aw!” Aca berteriak sambil tertawa. “Eh, maaf-maaf!” Yohan mengusap lembut kepala Aca, mereka tertawa, menghabiskan pagi dengan penuh ceria.
Setelah sarapan, dan tentunya setelah bercerita panjang dan cukup lebar pada keluarga Aca, juga setelah menerima petuah-petuah dari Ibu dan Bapak, dan tentunya setelah mendapat ledekan dari kedua kakaknya Aca, akhirnya Aca dan Yohan sudah berada di jalan untuk kembali ke rumah mereka.
Yohan mengantarkan Aca pulang, dan langsung beranjak pergi menuju rumah sakit untuk kembali bekerja, selama di dalam mobil, Aca tak henti-henti mencuri pandang ke Yohan, sedangkan Yohan yang awalnya menikmati pandangan Aca, akhirnya mulai merasa terganggu.
“Saya bisa nabrak loh ini, kalo diliatin terus.” ucap Yohan sedikit melirik ke Aca, sedangkan Aca hanya memajukan bibirnya beberapa centi ke depan, tidak terima kalau Yohan merasa terganggu saat dilihati oleh dirinya.
“Mas?” Aca membuka suara. “Hm?” jawab Yohan berdeham, karena sedang fokus pada jalanan yang sudah mulai lumayan macet pagi ini.
“Mas?” ulang Aca, lagi-lagi Yohan hanya berdeham.
“Mas, liat dong!” Aca memaksa Yohan menoleh ke arahnya.
“Lagi di jalan loh, nanti nabrak beneran.” Yohan masih sibuk melihati jalan, membiarkan Aca yang masih merengutkan wajahnya. Setelah tiba di depan pagar rumah mereka, Yohan menoleh ke samping, melihati wajah Aca yang sudah bertekuk, berlipat-lipat, seperti baju belum disetrika.
“Ca?” panggil Yohan, kini gantian Aca yang berdeham, tanpa menoleh ke Yohan.