Ruang Memori

bibliosmia
Chapter #28

Buket Bunga Mawar

Sudah tahun baru lagi, mereka melewatinya dengan suka cita lagi, menikmati pergantian tahun dengan cara yang sama lagi, menceritakan apa saja yang terjadi pada tahun yang lalu, semua bercerita tentang kebahagiaan, meski Saras masih berdua bersama Yoga, belum ada tawa bayi di rumah mereka, meski Niken masih bertahan sendiri, belum menikah lagi, meski Arya masih menunggu Elinanya kembali dari negeri orang, meski Aryo masih sibuk mengontrol humornya, agar bisa bersiap diterima dengan baik oleh gadis yang dia suka, dan meski Aca dan Yohan masih menjalankan kegiatan romantis mereka berdua, tanpa buah hati seperti Saras dan Yoga, mereka tetap merasa bahagia.

Tahun sudah berganti, bulan-bulan juga berjalan seperti biasa, semua orang sibuk dengan rutinitas mereka, begitu juga Aca dan semua orang yang terikat dengannya. April, di weekend pertama bulan April, Aca dan Yohan sedang membersihkan rumah, memasak bersama, melakukan kegiatan romantis seperti tahun yang lalu.

“Huh!!” Aca membuang napasnya, melihati sekeliling rumah yang sudah bersih, tiba-tiba Yohan datang dari belakang, menggendong tubuh kecil Aca, dan berputar-putar, “Ahhh!!” Aca berteriak, dan tiba-tiba, “Brak!” mereka berdua terjatuh, terduduk di lantai.

“Aw!” Aca memegangi pinggangnya, begitu juga dengan Yohan, namun sakit itu hanya sebentar, lagi-lagi keduanya tertawa.

“Ih kamu mah, kenapa pake jatuh sih.” Aca memukul kaki Yohan, sambil menahan pinggangnya yang sakit karena baru saja bersentuhan dengan lantai rumah.

“Kamu berat.” jawab Yohan meledek, Aca membesarkan kedua bola matanya.

“Itu, artinya saya bahagia sama kamu!” teriak Aca sambil berdiri di hadapan Yohan yang masih terduduk lemah di atas lantai.

“Wahhh!!” jawab Yohan tertawa, terus meledek Aca, kini Aca memajukan bibirnya, tapi tak sanggup marah, mana bisa Yohan membuatnya marah.

“Kalo gitu, kamu yang gendong saya.” Yohan menjulurkan tangannya, meminta Aca membangunkannya kemudian menggendongnya hingga ke kamar.

“Mohon maaf nih, dari poster tinggi aja saya kurangnya banyak.” jawab Aca menyatakan bahwa dia tidak akan sanggup.

Ok” Yohan berdiri, lalu sedikit membungkuk, memberikan punggungnya pada Aca, “Naik” suruh Yohan, meminta Aca untuk naik ke punggungnya, dengan tanpa menolak dan dengan wajah yang begitu bersinar. Aca melompat ke punggung Yohan, lalu bertiak, “Yey, saya naik pesawat.” sambil tertawa.

Dengan cepat Yohan merespon, “Pesawat akan terbang sekarang juga!” Yohan berlari, menggendong Aca kesana dan kesini, tertawa lepas, sepertinya ini lebih menyenangkan dibanding paralayang tahun lalu.

-||-

Malam minggu ini, Aca dan Yohan sedang menikmati makan malam di rumah orang tua Aca, bersenda gurau seperti tahun-tahun yang lalu, malam ini seharusnya Arya membawa Elina bertemu Aca dan Yohan, memperkenalkan mereka dengan calon Kakak Iparnya itu, sayangnya, kesibukan Elina membuat malam perkenalan itu gagal.

“Jangan-jangan, Elinanya bukan sibuk, tapi emang mau kabur aja dari Mas Arya.” ledek Aca saat mereka semua sedang berada di meja makan.

“Ah bisa jadi.” timpal Aryo dengan puas.

“Sabar ya, Bor!” sambung Aryo menepuk pundak Arya dengan pelan, membuat Ibu, Bapak, juga Yohan ikut tertawa.

“Ih pada kurang asem nih, sama Masnya begitu.” jawab Arya merengutkan wajahnya, meletakkan sendok di atas piringnya, Aca yang mengerti situasi langsung mengambil langkah cepat.

“Cie, yang lagi berbunga-bunga malah ngambek.” Aca mencubit pipi Arya, membuatnya kembali tersenyum.

“Jadi kapan rencana nikahnya?” tanya Aca mulai serius.

“Agustus tahun ini, ya sederhana aja, cukup keluarga dan orang-orang terdekat, biar lebih berkesan.” jawab Arya percaya diri.

“Betul tu, Mas. Cukup keluarga, nggak perlu undangan sampe ribuan.” Aca menjentikkan jarinya, begitu setuju dengan konsep undangan yang akan dibuat nanti.

“Kalo Ibu sama Bapak setuju-setuju aja, kan?” tanya Aca yang melihati kedua orang tuanya.

“Bapak sama Ibu mah ikut aja, yang penting anak-anak Bapak dan Ibu semuanya bahagia.” jawab Bapak tersenyum lebar.

“Eit, anak Bapak yang satu ini belum punya bahagia seutuhnya loh.” tunjuk Aryo pada dirinya sendiri, yang lain tertawa, mengerti apa maksudnya.

“Makanya jangan jomlo terus!” teriak Yohan meledek.

“Heh, Adik Ipar yang tidak menghargai Kakak Ipar ya kamu?” jawab Aryo ke Yohan, “Oh ya, Aryo ada ide!” tiba-tiba Aryo kembali bersuara, dengan senyuman manis yang mengalahkan gula tebu. Aryo mengangkat satu alisnya, melihat ke arah Bapak, “Bapak punya sahabat lagi nggak?” tanya Aryo.

“Banyak, buat apa?” tanya Bapak yang tidak mengerti dengan arah bicara anak tengahnya yang super ajaib ini.

“Nah!” Aryo berteriak mengangetkan semua orang, “Kalo gitu, cariin Aryo jodoh kayak Aca dong, Pak.” Aryo memelaskan suaranya, meletakkan kedua tangannya di dada seperti sedang memberikan permohonan, seketika tawa kembali pecah.

“Hahaha, udah nyerah nyari sendiri?” tanya Arya meledek.

“Abisnya, setiap gue ngedeketin cewek, mereka selalu bilang, enak ya jadi orang humoris, nembak cewek aja bisa jadi jokes.” Aryo memberikan ekspresi sedih, karena hingga detik ini, belum ada wanita yang percaya dengan kata-kata cinta yang keluar dari bibirnya.

“Sabar ya, Bor.” kini gantian, Arya yang menepuk pundak Aryo.

Makan malam berakhir dengan perut kenyang sekaligus sedikit keram karena tawa, hari yang sudah larut, membuat Aca dan Yohan memutuskan untuk menginap malam ini, sudah lama juga mereka tidak berbaring di dalam kamarnya Aca yang ada di rumah orang tuanya.

Malam ini, ditutup dengan obrolan-obrolan masa lalu, tentang pertama mereka bertemu, bagaimana cinta itu tumbuh, hingga hari ini mereka bersatu.

-||-

Hari-hari berlalu, tahun berganti tahun, kafe memori sudah berhasil membuka cabangnya, bangunan yang ambruk dulu, garis polisi yang dulu, tak pernah teringat lagi di memori orang-orang, yang ada kini hanya bangunan cantik, sebuah kafe bernuansa Bali, banyak anak muda yang memilih nongkrong di sana, bersantai, sambil mengabadikan setiap momen dengan spot foto yang indah.

Sang pemilik kafe juga sudah selalu sumringah, tersenyum tanpa jeda, dan Aca, Aca masih seperti dulu, selain sibuk dengan bisnisnya, Aca juga masih sibuk berbagi dalam seminarnya, bercerita, membagi setiap pengalamannya.

Hari ini, setelah hampir tiga jam berada di kafe, Aca berpamitan untuk melanjutkan perjalanan menuju salah satu kampus untuk melaksanakan tugas sebagai pemateri di sana. Seperti biasa, kalian tentu sudah tahu siapa yang akan mengantar Aca hari ini, superhero, siapa lagi kalau bukan ojek online.

Setelah tiba di lokasi, Aca memberikan materi yang sudah disiapkan oleh rekan-rekannya, hari sudah menunjukkan pukul dua siang, mereka semua memulai acaranya agar bisa selesai tepat pada waktunya.

Setelah selesai, Aca menunggu Yohan untuk menjemputnya, berdiri di depan parkiran kampus, seorang diri, penuh rasa takut.

“Mas Yohan bakal jemput nggak sih?” tanya Aca pada dirinya sendiri, sudah berulang kali Aca melihati ponselnya, hari sudah menunjukkan pukul enam sore, adzan magrib sudah berkumandang sejak beberapa menit yang lalu.

Hati Aca semakin berdebar, jalanan semakin gelap, tapi Yohan belum juga menampakkan batang hidungnya, mata Aca mulai berair, silau dengan lampu-lampu, ditambah dengan pusing karena bekerja terlalu lelah hari ini, sampai akhirnya, Aca melihat mobil putih Yohan berhenti tepat di depan Aca, dengan cepat Aca langsung membuka pintu mobil dan masuk.

“Mas?” Aca langsung berteriak, menunjukkan wajah takutnya, “Saya pikir kamu nggak akan jemput, saya pikir kamu kenapa-napa, kamu nggak ngasih kabar sama sekali.” Aca menembaki Yohan dengan rentetan hasil kepanikannya.

Lihat selengkapnya