“Yohan mati otak, kita justru nyiksa Yohan dengan alat-alat itu.” Arya membuka suaranya.
“Terus, kita harus apa?” tanya Aca tenang, mencoba mengendalikan dirinya, berharap ada cara lain yang bisa mereka lakukan.
“Kita harus lepas alat-alat itu.” jawab Arya.
“Terus ngebiarin Yohan meninggal gitu aja? Gimana kalo ternyata dia masih bisa bertahan?” tanya Aca seperti sedang menentang Arya.
“Ca, dari pemeriksaan medis, Yohan nggak akan bertahan dengan bantuan alat-alat itu, Yohan sudah harus istirahat, kasian dia!” jelas Arya, membuat mata Aca memanas, ingin marah tapi mungkin ini adalah kenyataannya.
“Aca masih berharap Yohan buka matanya buat Aca, sekali aja!” Aca menangis, tidak ada lagi jawab dari Arya, yang ada hanya keheningan dan suara isakan Aca.
-||-
Waktu berputar, tidak pernah berniat berhenti barang sejenak untuk membuat hati Aca merasa lapang, bagi Aca waktu kali ini terlalu kejam, sudah hampir satu minggu dari keputusan perpanjangan pemasangan alat bantu untuk Yohan, tidak ada harapan, begitu kata tenaga medis, tapi lagi-lagi Aca bersih keras, meminta agar semua tenaga medis tidak menyerah.
Tapi sekarang sudah waktunya, Yohan mungkin tidak akan bertahan lagi, alat-alat itu hanya menipu dan memberi harapan palsu, otak Yohan sudah berhenti bekerja, jantungnya tak lagi berdetak, hidupnya sudah berakhir, benar-benar berakhir.
Total dari kejadian setelah kecelakaan malam itu sudah enambelas hari, Yohan terbaring di ruang ICU, mematungkan semua orang, membisukan semua orang yang dulunya ceria, kini semua wajah murung, bersedih dengan keadaan Yohan, dan pedih melihat ketegaran palsu yang selalu Aca usahakan.
Malam ini, Aca duduk di samping Yohan, menjaganya dari keheningan malam, napas Aca terdengar berhembus kencang, saking sunyinya malam ini. Semua anggota keluarga yang ikut menunggu di luar, membiarkan Aca berdua dengan Yohan, membiarkan Aca berbicara banyak hal di dalam sana, meski tidak ada satu pun yang terjawab.
“Ini hari ke 16, mereka semua bilang kalo kamu nggak buka mata kamu, mereka mau lepas alat-alat ini, kamu sudah dianggap nggak ada sama mereka,” ucap Aca, bercerita pada Yohan, “Saya nggak tau mereka benar atau salah, saya nggak tau kamu masih ada atau udah pergi?” lanjut Aca mulai menahan tangisnya, “Saya nggak tau harus bertahan atau ikut menyerah sama mereka.”
Aca menunggu, berharap Yohan menjawab pertanyaannya.
“Ayo jawab, saya butuh jawaban kamu, saya nggak bisa ambil keputusan sendiri,” Aca mulai menggerakkan tubuh Yohan, berharap Yohan bangun dan menjawab jangan menyerah pada Aca, “Ayo bilang Yohan, bilang ke saya.” Aca berteriak di hadapan wajah Yohan yang masih terbaring.
“Jangan terlalu lama diam, di sini gelap, dingin, saya takut sendirian, jadi ayo bangun, ayo kita bertahan sama-sama, jangan tinggalin saya, saya takut.” Aca memohon, meluapkan ketakutannya.
Aca menangis tersedu-sedu, Aca mencoba menghapus air matanya sendiri, mengangkat kepalanya sendiri, menahan sesak itu sendiri, laki-laki yang selalu melakukan hal itu untuknya masih terbaring lemah. Aca bertahan di sana, dari dinginnya suhu ruangan, dari redupnya pencahayaan, dari sunyinya malam, Aca membuka matanya, tidak mengizinkan kantuk datang menjadi tamu malam ini, hatinya yakin Yohan akan membuka matanya malam ini, Yohan akan bangun, menatapnya, melihatnya, tersenyum ke arahnya, Aca yakin, sangat yakin.
Dua jam berlalu, hawa dingin semakin menusuk tulang, air mata yang menjadi teman seolah mengering, mata Aca mulai panas, lelah karena terlalu banyak menangis, dan lelah karena berhari-hari menahan kantuk.
-||-
Pukul tiga pagi, suara mesin jantung yang seolah-olah menandakan Yohan masih bertahan terus berbunyi seperti hari-hari lalu, suara itu memecah hening setiap malam, menjadi teman Aca, memberikan harapan pada Aca untuk terus bertahan.
Tiba-tiba, Aca melihat kelopak mata Yohan bergerak, hati Aca bergetar, merasakan doanya terjawab, pelan namun pasti Yohan membuka matanya, melihat ke atas langit-langit kamar, tubuhnya sedikit bergerak, merasakan dinginnya ruangan, kepalanya mencoba bergerak, sedikit terlihat kaku karena sudah 16 hari tidak berganti posisi.
Yohan sedang mengumpulkan ingatannya, mencoba mencerna kejadian apa yang dia alami, matanya berputar, berharap menemukan seseorang di sana, Aca yang bergetar mencoba berdiri, memperlihatkan wajahnya pada Yohan, tangannya bergetar menyentuh kedua pipi Yohan, menempatkannya tepat di hadapan Aca.
Mata mereka bertemu, Aca tersenyum, matanya mengeluarkan air tanpa sengaja, sepertinya itu adalah air mata kebahagiaan, Aca menatap Yohan lama, menunggu Yohan menyebut namanya, atau setidaknya ikut tersenyum.
“Hai?” ucap Aca, berharap Yohan menjawabnya, tapi Yohan tetap diam, tidak bersuara, entah dia mengingat Aca atau tidak, entah ada kesalahan apa pada ingatannya, sudah hilangkah Aca dari ruang memorinya?