Ruang Publik

Alda Siti Dalilah Nursalam
Chapter #1

BAB 1

Jantungku berdegup dengan cepat, keringat dingin membasahi sekujur tubuhku, handphone yang sejak tadi ku genggam terus bergetar. Suasana hatiku sangat tidak karuan. “Antari, gimana? Kamu lolos ya? Tanya Nanda teman SMAku. Aku membalas pesannya dengan tangan yang masih bergetar. Hari ini jam 4 sore pengumuman hasil SBMPTN, aku benar-benar penasaran apa yang akan aku lihat apakah warna hijau atau justru warna merah. Sebagian teman-temanku sudah membuka hasilnya, ada yang lolos dan ada juga yang tidak. Teman-temanku terus saja memaksaku agar segera membuka hasil SBMPTN, aku memaksakan diri melawan rasa takut jika kenyataan buruk yang harus kudapat.

Napasku semakin tak karuan, aku menghitung sampai hitungan tiga untuk mengklik hasil dari SBMPTN. Satu, dua, tiga! Aku klik dengan mata yang masih terpejam. Sedikit demi sedikit kubuka mataku, melihat kearah handphone yang sengaja kujauhkan. Ternyata yang kulihat warna merah. “JANGAN PUTUS ASA DAN TETAP SEMANGAT!” Kalimat itu terpampang jelas di layar handphoneku. Aku terdiam meamtung tak menyangka jika rasa penolakannya benar-benar menyakitkan. Badanku lemas, aku mencoba keluar kamar dan menghampiri mamah yang sedang menonton tv bersama ke dua adikku.

“Mah,” kataku pelan.

Kunaon[1] Neng?”  Tanya mamah dengan wajah yang penuh khawatir.

Air mata yang sejak tadi kutahan pecah. Aku menangis dan mengatakan bahwa aku gagal SBMPTN. Perasaanku benar-benar hancur, aku merasa telah mengecewakan kedua orang tuaku. Mamah langsung memelukku dan bilang bahwa tidak apa-apa. Adikku yang paling kecil ikut menangis. Entah apa yang membuat dia menangis. Mamah langsung menggendong adikku yang masih berusia 3 tahun itu. Sedangkan adikku yang kedua dia hanya melihatku dengan wajah yang aneh, aku kesal melihat wajahnya yang menyebalkan. Seharian itu aku tak henti-hentinya menangis sampai-sampai mamah menyuruh ke tiga sahabatku datang ke rumah untuk menghiburku.

Endah, Odoy, dan Ujang sudah ada bersamaku. Mereka mengajakku bicara, melihat lelucon Odoy, dan makan bersama, tapi suasana hatiku masih sama. Rasanya lebih menyakitkan daripada putus cinta. “Sudahlah Neng jangan sedih, kan masih ada tahun depan,” kata Endah sambil menepuk-nepuk pundakku. Aku hanya mengangguk. Malam semakin larut, Endah, Odoy, dan Ujang berpamitan pulang. Kini aku hanya duduk di kursi sambil melamun. Bapak yang baru saja pulang kerja langsung diberitahu oleh mamah kalo aku gagal masuk perguruan tinggi negeri.

Atos neng wios teu nanaon ai teu ka tampi mah, daftar weh atuhnya ka swasta[2],” kata bapak. Aku masih terdiam. Sebenarnya aku tak masalah untuk kuliah di universitas swasta, tapi dengan jurusan kedokteran yang aku inginkan  memerlukan uang yang sangat besar. Aku tak ingin merepotkan mamah dan bapak. Mamah dan bapak sepertinya tahu apa yang sedang aku pikirkan.

Sok ayeuna daftar lebet kedokteran di Universitas swasta, tong mikirkeun biaya Eneng mah. Eta mah urusan bapak jeung mamah. Sakola weh cing bener, da rezeki mah sok aya wae komo keur sakola mah[3],” ujar bapa. Tanpa kusadari mataku yang sejak tadi sudah tak mengeluarkan air mata kini kembali mengalir dengan deras. Aku merasakan bahwa kedua orangtuaku sangat menyangiku. Aku benar-benar merasa terharu dan merasa bersalah karena tidak bisa lolos SBMPTN.

Keesokan harinya aku berusaha memperbaiki suasana hati, meski dengan perasaan yang masih tak karuan aku berusaha untuk terlihat baik-baik saja. Pagi ini ku awali dengan mandi dan berdandan, padahal sebelumnya aku tak pernah berdandan sedikitpun jika sedang ada di rumah. Hari ini aku berencana untuk memotong rambut, aku sudah menelpon Endah subuh tadi. Pada saat aku sedang menyisir rambut, terdengar mamah memanggilku meminta bantuan.

Mamah memintaku membantu melayanii para pelanggan. Setiap pagi mamah menjual nasi kuning di depan rumah. Jika sedang banyak pelanggan, biasanya aku membantu membungkus nasi kuning. “Teh beli nasi kuning 3 ribueun,” kata seorang anak kecil yang memakai seragam putih merah. Mamah langsung memintaku untuk melayani anak kecil tersebut. “Mah 3 ribu segimana nasinya?” tanyaku berbisik. “Segimana kamu aja, telor sama bihunnya sedikit sedikit juga gapapa, asal ada,” kata mamah yang masih sibuk melayani. Aku mempersiapkan pesanan anak kecil itu.

Di daerah tempat tinggalku, itu menjadi hal yang lumrah. Tidak hanya anak kecil saja, terkadang orang dewasapun seperti itu. Mereka menginginkan harga yang murah dengan jumlah barang yang banyak. Sebenarnya ini membuat para pedagang bingung termasuk mamah, jika tidak diberi ya merasa tidak enak jika diberi ya terkadang kita hanya mendapatkan untung yang sangat kecil sekali. Tapi ya mau bagaimana lagi, pola kehidupan masyarakat sekitar sini memang seperti itu.

“Oh Neng Antari gajadi masuk kedokteran? Jadinya kuliah kemana atuh?”  tanya salah seorang tetangga.

“Iya ga lolos, ini mau daftar ke swasta aja,” timbal mamah.

Aku masih menunggu Endah, ibu-ibu masih menggosipkan diriku. Sesekali mereka bertanya langsung padaku dengan nada menyindir. Sebal rasanya, tapi bagaimana lagi, resiko tinggal di pemukiman padat ya begini, selalu ada saja tetangga yang nyinyir. Aku terduduk di kursi kayu tempat biasanya bapak-bapak menghabiskan nasi kuning. Tak lama kemudian Endah datang, ia berlari sambil membawa gunting, berlaga seperti ingin menusukkan gunting itu kepadaku. Aku yang mengetahui bahwa itu hanya gurauan, aku menantang Endah dengan membusungkan dadaku sambil merentangkan tangan. Ibu-ibu yang sejak tadi sedang bergosip refleks berteriak. Bahkan sampai ada bapak-bapak yang langsung menahan Endah dan merebut guntingnya “Istigfar Endah istigfar” ujar bapak-bapak tersebut. Endah dan aku bertatapan dan langsung tertawa. Para tetangga langsung memarahiku dan Endah. Katanya membuat khawatir. Aku dan Endah tak memperdulikan hal itu.

Aku langsung meminta Endah untuk memotong rambutku sebahu lebih sedikit. Pada saat Endah sedang merapikan rambutku, Odoy dan Ujang terlihat sedang berlari ke arahku. “Neng si Endah sekarang gimana? Tanya Odoy dengan wajah yang panik. “Apa ai kamu? Ini Endah mau potong rambut aku, Emangnya kenapa?” jawabku ketus. Ujang dan Odoy yang masih mengatur nafasnya yang terengah-engah kini terduduk di kursi kayu. “Ah kirain teh bener si Endah kesurupan,” jawab Ujang sambil mengipas-ngipaskan kertas di depan wajahnya. Akupun langsung bertanya siapa yang memberitahu mereka bahwa Endah kesurupan. “Itu disana ibu-ibu rame ngomongin Endah kesurupan katanya mau ngebunuh kamu, Ya kita kaget lah Neng kirain beneran kan” jawab Odoy. Ya sudah tak aneh lagi, sering terjadi, selalu ada saja yang mebih-lebihkan.

“Udah Neng segini?” tanya Endah sambil menyisir rambutku.

Aku mengangguk dan berterimakasih pada Endah. Aku dan Endah langsung membersihkan rambut-rambut yang berserakan dilantai. Odoy dan Ujang sedang makan nasi kuning. Setelah selesai membersihkan lantai, aku dan Endah ikut duduk dikursi kayu. Tiba-tiba Ujang menyodorkna kertas yang sejak tadi dijadikan kipas olehnya. Ternyata itu adalah brosur salah satu Universitas swasta di kotaku.

Lihat selengkapnya