Aku yang panik mendengar teriakan Ipan langsung beranjak dari tempat tidur dan menuju sumber teriakan. Teriakan itu berasal dari kamar mandi. Aku langsung mengetuk pintu dan memanggil nama Ipan berkali-kali. Ipan membukakan pintu sambil menongolkan kepalanya dibalik pintu. Kepalanya masih dipenuhi dengan sabun.
“Teh airnya abis,” ujarnya sambil nyengir tak berdosa.
Aku kira ada sesuatu yang membahayakan, ternyata hanya perkara air habis. Aku langsung ke luar rumah, meminta tolong pada Ujang untuk mendorong air ke rumah. Aku tidak bisa mendorong roda air karena itu sangat berat. Untung saja Ujang sedang bersantai, ia bersedia membantuku. Aku menunggu Ujang di teras rumah. Tiba-tiba saja Bu Edah menghampiriku. “Lagi nunggu Eman ya Neng?” tanya Bu Edah. Aku tersenyum dan menggelengkan kepala. Bu Edah terus saja berbicara tentang Eman. Sejujurnya aku sangat kesal dan tidak nyaman, tapi mau bagaimana lagi Bu Edah berusia lebih tua dariku. Aku harus menghormati dan bersikap sopan padanya. Aku berharap Ujang segera datang, agar ocehan Bu Edah dapat terhenti.
Sudah hampir 20 menit Ujang tak datang juga. Bu Edah terus saja mengajakku bicara tentang Eman. Semakin lama aku tak bisa menahan rasa kesal yang sejak tadi bergejolak. Ujangpun datang, tapi dia tidak membawa roda. Ia berjalan dengan tangan kosong.
“Neng air di Mang Usepnya surut,” kata Ujang menggunakan bahasa sunda.
Ujang menjelaskan padaku secara rinci. Sudah hampir 2 minggu tidak turun hujan jadi berdampak pada sumber air tanah di wilayahku. Bu Edah yang mendengar itu langsung beranjak pergi dan memberitahu para warga kalau sumur bor Mang Usep kini kering. Aku terpaksa membeli galon air untuk Ipan. Karena jika harus ke kelurahan sebelah untuk membeli air, itu membutuhkan waktu lama dan Ipan akan terus mengoceh. Aku membeli air galon ditemani Ujang.
Sebenarnya ini bukan kali pertama sumur bor Mang Usep kering, setahun yang lalu pun sempat begini. Semua warga harus membeli air ke keluruhan lain. Jarak yang cukup jauh membuat air yang sampai ke rumah berkurang cukup banyak karena banyak air tumpah disepanjang perjalanan. Selain itu juga membutuhkan tenaga yang lebih besar. Saluran air PDAM tidak sampai ke wilayah kami, kami hanya mengandalkan sumur bor Mang Usep.
Setelah aku membeli galon dan memberikannya pada Ipan, Ujang mengajakku makan bakso di Mas Jangkung. ‘Jangkung’ hanyalah nama sebutannya saja, nama aslinya Pairan, dipanggil begitu karena ia berbadan tinggi dan dalam bahasa sunda tinggi itu disebut jangkung. Roda basonya terparkir disebelah warung Bi Eha tepat terhalang 6 rumah dari rumahku. Aku dan Ujang langsung memesan. Saat kami sedang asik mengobrol tiba-tiba saja Bu Edah berjalan menuju warung Bi Eha, firsasatku buruk.
“Aduh si Eneng, berduaan terus sama Ujang,”
“Eh iya atuh, namanya juga orang pacaran,” jawab Ujang cuek.
Aku langsung mencubit tangan Ujang. Ujang memberiku isyarat. Aku tak mengerti apa yang ia maksud. Aku langsung melepaskan cubitannya.