Ruang Raung

Drew Andre A. Martin
Chapter #1

Legam

Tak ada tempat yang paling nyaman selain di-sini. Letak yang paling teduh bagi segala cerita yang sempat lama tinggal di kerongkongan dan bilik hati. Tercerna dan terurai dengan baik, meskipun melalui proses yang tidaklah sederhana. Tak juga terengah-engah saat menyelesaikan, tak tergopoh-gopoh ketika menggantungkan cerita yang memang sengaja perlu digantungkan, dibiarkan menguap, menyublim, dan hilang tanpa perlu dituntaskan. Tak sebagaimana di-sana. Tempat yang paling gersang dan tandus bagi segala cerita. Membuat debam bilik jantung tak keruan, membikin kerja kantung paru bekerja lebih lamban. Mulanya memang tercerna dengan baik, tetapi tak semuanya benar-benar tercerna. Terurainya pun tak begitu sempurna, sehingga menjadikannya pesakitan yang luar biasa. Jangankan cerita-cerita itu digantungkan di tali temali tampar jemuran, ketika dibiarkan saja di atas lantai, cerita-cerita itu mengadu, mengaduh, berteriak, pinta lekas tuntas selesaikan tanggung jawab. Jika tak menyelesaikannya, maka mau tak mau jam istirahat akan diganggunya. Bahkan, cerita itu akan beranak pinak, membelah diri, semakin banyak, membeludak, berkelakar, teriak, juga mengumpat perbendaharaan kata-kata kotor di bibir dan badan cerita yang tak utuh.

Mula-mulanya cerita-cerita di-sana yang tak pernah usai dan entah kapan selesainya, diam saja dan tak banyak bicara. Memrotes saja juga tidak. Mereka menjelma menjadi kata benda. Lama, lama, dan lama, cerita-cerita itu berubah menjadi kata sifat sebelum menjadi kata kerja. Kelihatannya biasa saja awalnya pada minggu pertama dan kedua. Tampaklah cerita-cerita itu layaknya manusia. Berkedip, berjalan, duduk, tetapi tidak tersenyum. Raut mukanya terlihat datar. Tak miliki ekspresi, tidak begitu mengerikan. Jalannya mondar-mandir di tiap tiga ratus sentimeter, tak timbulkan berisik saat jalan ke sana-sini. Tak juga dia melompat-lompat naik turun di ranjang dan lemari pakaian juga meja kerja. Siapa pun akan heran melihat ia—cerita-cerita di-sana— bertingkah seperti yang terlihat olehku. Namun, tepat di minggu ke empat, ia membelah menjadi hitungan ganjil. Gerak-geriknya masih sama seperti kali pertama mereka jelma layaknya manusia. Awalnya kuhitung jumlah mereka ada lima, lalu kuhitung kembali di minggu ke lima, jumlah mereka bertambah sembilan. Tidak juga bertambah ketika di minggu ke enam dan tujuh.

Di minggu ke delapan, terlihat aneh dengan kesembilan cerita itu. Mereka hilang, tidak ada di tempatnya. Entah ke mana hilangnya mereka. Kucari di kolong ranjang, tidak ada. Di atas lemari pakaian, juga tidak ada. Di jamban, tempat sampah, selokan, sungai, pasir pantai, tidak ada. Semuanya lenyap secara tiba-tiba. Tak tinggalkan aroma, apalagi jejak. Datang mengagetkan, pergi pun mengejutkan. Rasa ingin tahu jelas sempat ada. Akan tetapi, lama-lama juga terbiasa dan abaikan semuanya. Lagi pula, juga tak penting. Kuanggap saja kejadian di-sana ketika itu adalah ilusi yang diakibatkan aku lelah dengan berbagai macam problem yang kunjung tak selesai-selesai. Satu hilang, tiga kemudian datang. Dua selesai, enam kembali bertandang. Layaknya mereka tak bosan datang silih berganti berlipat tiga, kadang berlipat lebih. Kurasa, begitulah hidup di muka bumi ini. Selalu saja ada masalah. Selalu pula kerap ada buah pikiran selain buah bibir. Mati pun kurasa masalah juga tak terhenti begitu saja, barangkali ia ikut sampai ke alam baka, dan setelahnya entah apa.

Malam di pertengahan tahun ini—di-sana—terasa lebih sunyi tak seperti malam-malam biasanya. Suasana malam pun tak seterang di bulan lalu. Kabarnya, malam ini malam purnama. Namun, sepertinya purnama tertidur lelap akibat diselimuti oleh awan mendung yang berwarna kemerah-merahan. Desis angin pun menyapu lengan dan raut wajah dengan tubuh yang hilang separuh jiwanya entah ke mana. Ada pula pemberat di kedua kelopak mataku, tetapi ada ketukan yang tak menenangkan di pintu dan jendela inti hatiku. Tiap kali aku membukanya, tak ada siapa-siapa di-sana. Oleh karenanya kubiarkan ketukan itu berbunyi. Kuanggap saja layaknya detik jarum jam. Hitung-hitung menjadi pengusir gamang ketika pekat malam yang lalu lambat laun buat mata kemudian pamit dari kata terjaga.

Baru juga aku tertidur lima menit setelah pergantian tahun pukul 00:05 di-sana. Kembali pikiranku berlalu lalang bepergian lari sana-sini layaknya larian kecil angin yang tak tahu ke mana sebenarnya arah yang hendak ditujunya, hanya ikuti embusan induk angin yang mendorongnya ke barat, timur, utara, atau selatan. Tak terarah, tak juga bisa bebas. Hingga muncul perasaan yang tak keruan, lalu susul pikiran yang berlalu lalang. Bagaikan kecepatan cahaya, pikiranku kemudian jelma tubuh. Berjalan-jalan ia memasuki pintu demi pintu yang aku tak tahu apa ke mana tujuan pintu itu berada. Apalagi pintu-pintu itu memiliki corak warna dan garis yang berbeda di bagian luarnya. Pintu itu miliki getaran yang berbeda-beda. Memiliki rasa dan aroma yang tak sama tiap kali aku berdiri satu meter di tiap-tiap pintu yang berbeda.

Satu pintu di sebelah kanan terbuka dengan sendirinya, lalu disusul dengan pintu di sebelah tenggara yang agaknya menarik rasa penasaranku untuk memasukinya. Namun, apa dikata. Baru juga melangkah dua langkah, sebuah lubang besar membuat tubuhku terperosok masuk ke dalam yang kemudian paksa jelma tubuh oleh pikiran kembali pada pikiran-pikiran yang kembali pada tubuh yang sebentar lelap. Mengerjap kemudian dua kelopak mataku dengan penuh kehati-hatian, sebab juga terasa ada debam di kepala yang memaksaku terbangun dan kembali di-sana. Sepertinya, ada hal lain yang tak mengizinkanku lama-lama di-sini.

Lihat selengkapnya