Ruang Raung

Drew Andre A. Martin
Chapter #2

Diam

Kusingkap tirai jendela kamar, lalu kubuka jendelanya. Semilir angin berebut masuk ke dalam kamarku. Ada yang bersembunyi di balik bantal, ada yang bermain dengan tirai yang tersingkap, ada juga yang lalu hilang entah ke mana perginya—apakah ia menyelinap ke ruang lain?—entahlah, aku tak begitu memperhatikannya dengan benar-benar. Malam, masih saja pekat. Tak ada rembulan. Hanya ada ulas senyumku yang muncul secara tiba-tiba. Tak sebagaimana dengan hatiku yang agaknya kacau oleh hal-hal yang, memang tak sepatutnya aku beri perhatian penuh.

Sebagaimana dengan ucap Dyah saat dia datang ke rumahku. Katanya, tak sepatutnya kau punya pemikiran yang keterlaluan panjang yang teramat panjangnya. Memang, segalanya perlu dipikirkan sejak sekarang. Namun, tak seharusnya, pemikiran-pemikiran itu dipikirkan terlalu detail. Malah yang ada, rasa resah yang datang, lalu perlahan-lahan kemudian memperburuk kesehatan. Mula-mulanya, terlihat sepele atau mungkin tampak baik-baik saja, ketika kau memikirkannya. Namun, lambat laun, psikismu akan digerus oleh pemikiran-pemikiran yang memang tak semestinya perlu kau berikan perhatian penuh. Ada kalanya kau perlu hidup di saat ini dan mengesampingkan hidup yang akan datang. Meskipun, tentang hari ini akanlah punya pengaruh di masa depan nantinya. 

Kau paham, ‘kan Tantra, maksudku? Saat itu, Dyah menghela napas seraya melihat arak-arakan awan yang berjalan dari barat ke timur ketika kami duduk di beranda rumahku. Kembali dia melanjutkan bicaranya, saat setelah kembang kempis di dadanya bergerak jadi stabil. Memang, orang-orang yang masih memiliki nyawa, tak akan bisa menghindar dari segala masalah yang datang silih berganti. Bahkan saat masalah itu telah surut, akanlah kembali datang masalah yang baru lagi. Kata orang, segalanya akan selesai dengan sendirinya, saat kau sudah benar-benar lelah menghadapinya. Sebagian menurut orang lagi, pasang surut soal masalah itu adalah kelumrahan, anggap saja sebagai ritme perjalanan ketika menjalani hidup, atau anggap saja itu sebagai kenang-kenangan hidup. 

Dyah mengangkat bahunya seraya tampak bibirnya tersenyum masam. Berembus napas Dyah perlahan-lahan dan kembali bahunya pada posisi yang semula, seraya menoleh ke kiri, ke arahku. Berucap lagi, Dyah. Ada yang mereka tahu dan mereka seakan berpura-pura tidak tahu. Berhenti sebentar dia berbicara, lalu membuang wajahnya ke kanan, kembali pandangannya ke depan. Aku menanti dia meneruskan kalimat dari bibirnya yang sempat terhenti. Nyatanya, yang aku tunggu, tak kudapatkan. Dyah beranjak dari tempat duduknya, sembari melihat jam tangan merah jambunya. Pamit kemudian dia, pergi menemui laki-laki yang baru dikenalnya seminggu lalu.

Lihat selengkapnya