Ruang Raung

Drew Andre A. Martin
Chapter #3

Sendiri

Sore, di-sana. Aku berteduh di bawah pohon yang rimbun, duduk aku di kursi taman kota sembari melihat lalu-lalang motor dan mobil yang berjalan tak pernah ada habisnya. Tepat di arah pukul tiga, kulihat anak-anak kecil berlarian ke sana-sini seraya membawa tawanya yang riang, terlihat dari pias wajah mereka tak ada begitu banyak beban. Paling enak memang menjadi anak kecil. Tertawa haha-hihi, tak pikul beban. Jika pun, mereka memiliki beban, masih saja mereka bisa tertawa haha-hihi. Mereka layaknya orang-orang dewasa, bukan orang-orang besar. Tahu, kapan masalah itu dipikul, kapan masalah itu diletakkan, kapan masalah itu perlu diasingkan dan diabaikan. Semudah dan sesederhana itu. Mengerti pula mereka mengatasi segala yang menjadi permasalahan mereka, walaupun tak perlu banyak tuntutan ibu atau ayah menyoal ini itu, boleh dan tidak. Hanya saja, kadang ibu dan ayah, kerap ikut campur terlalu banyak soal keputusan anak-anak mereka sejak dini. Tak memberikan mereka ruang bagi suara, keinginan, gerak, mau, pada apa yang mereka inginkan. Ibu dan ayah, justru membatasi gerak-gerik di bagian-bagian itu. Memang, ada kalanya ibu dan ayah perlu turut andil. Namun, nyatanya andil yang mereka lalukan, lalu berubah menjadi keterlaluan.

"Tumbuh besar tak begitu mengenakkan 'kan?" tanya seorang laki-laki yang terdengar suaranya di rimbunan pohon. Berdiri kemudian aku, terus mencari, di sebelah mana suara itu berasal. Sebab, berpindah-pindah asal suaranya. "Dewasa, kurasa hanyalah kata kias saja. Bukan kata sebenarnya." Masih juga suara itu terdengar berpindah-pindah.

Terdengar suara kaki anjlok dari atas di belakangku. Dengan lekas, aku menoleh ke belakang. Tampak seorang laki-laki tersenyum ke arahku, sambil mengulurkan tangannya. "Narendra Virama. Kau panggil saja Virama. Dan kau?"

"Tantra Atma Daksa," jawabku sambil membalas jabat tangannya.

"Tampaknya kau sendirian di sini?"

"Tidak juga. Kadang aku bersama teman-temanku."

Lihat selengkapnya