Ruang Raung

Drew Andre A. Martin
Chapter #4

Riuh

Gegas lekas aku pergi meninggalkan Taman Karsa, untuk kembali pulang. Di sepanjang perjalanan balik ke rumah, aku tertawa geli saat mengingat tanya Virama kepadaku sore tadi, tentang 'tumbuh besar tak begitu mengenakkan, 'kan?' Jelas saja, menjadi besar bukanlah hal yang mudah, mau tak mau harus dihadapi. Menjadi besar adalah bagian harapan semua orang—termasuk aku—saat masih kecil nan muda belia. Kalau perlu, mengharap waktu bergerak dengan cepat mengubah tubuh kecil anak-anak, menjadi besar layaknya orang-orang dewasa. Sebab, menurut anak-anak kecil, menjadi dewasa itu menyenangkan. Ruang mereka lebih bebas, tidak lagi tersekat. Andai saja mereka tahu bahwa, menjadi dewasa bukanlah perkara mudah seperti yang mereka inginkan. Tentu tak akan ada bedanya, masih juga tetap sama. Namun, bagaimana lagi. Sang waktu terus bergerak maju. Yang sudah kadung, tak akan menjadi urung. Sehingga yang telah sudah, tak akan bisa kembali diulang. Menghadapinya atau diam lalu memilih menyerah adalah dua pilihannya. 

"Bu ...." aku memanggil ibu dan mengetuk pintu rumah berkali-kali. Kulihat lampu juga masih menyala. Akan tetapi, tak terlihat ibu di sana. Tak juga dia membukakan pintu. Kutelepon, tak juga diangkatnya. Oleh karenanya, aku membuka pintu dengan kunci ganda yang kubawa ke mana-mana. Sengaja memang, tak langsung kubuka dengan kunci ganda. Beruntungnya bisa, tidak seperti yang lalu. Tak bisa kubuka, karena kunci utama pintu masih terpasang di lubang kunci pintu.

Masuk ke dalam, tak kutemukan ibu di dalam. Sepertinya ibu pergi ke rumah teman kalau tidak ke rumah bibi. Sudah menjadi kebiasaannya. Tak pernah pamit jika ke mana-mana. Berbeda dengan diriku yang ke mana-mama harus pamit kepadanya dengan sangat jelas. Mau ke mana, di rumah siapa, dan pulang jam berapa. Jika aku tak bisa menjawab semua pertanyaan darinya, sudah pasti dia akan marah. Kalau pun jika terjadi apa-apa saat di perjalanan, sesampainya di rumah sudah tentu akan diceramahinya tentang tata krama bepergian dan hormat kepada orang tua. Itu-itu saja yang kerap diucapkan olehnya. Susunan kalimatnya selalu sama, intonasi suaranya pun juga tetap sama. Lebih dari itu, ibu akan berkisah panjang tentang masa silam bagaimana kakek dan nenek mengajarinya soal tata krama yang memang harus dibawanya sebagai pegangan hidup, sebelum kemudian diwariskan kepada anak dan cucunya. Menurut kakek dan nenek, ini adalah bagian dari dalam keluarga kita. Segalanya harus tetap di jaga. Katanya lagi, demi kebaikan bersama dan masa depan yang lebih baik. Aku yang tiap kali mendengar cerita-cerita itu saja, tak kudengarkan sampai habis. Langsung saja aku masuk ke dalam kamar dan kukunci kamarku. Jika tak kukunci kamar, sudah pasti ibu akan masuk dan kembali memarahiku lalu kembali berceramah soal bagaimana seorang anak harus punya tata krama. Selalu saja ada riuh, tiap kali berbicara dengan ibu. Pun dengan melihatnya.

Seperti biasa setiap pulang dari luar, kuhabiskan waktuku di dalam kamar dengan ditemani lagu dan kadang kala juga berselancar di media sosial, meskipun hanya sekadar scroll saja. Mengisi waktu luang, sebelum kembali menemukan ide-ide untuk lalu kutuangkan ke dalam kalimat dan kadang juga bait. Sekadar mengisi waktu luang sembari membuang yang harus dibuang, agar tak malah menjadikan pesakitan yang amat menyiksa diri sendiri nantinya.

Tidur terlentang, aku membayangkan betapa asyiknya jika aku memiliki sebuah ruangan khusus yang hanya ada aku seorang. Di sana aku meletakkan segala cerita, melampiaskan amarah juga emosi, tanpa ada seorang pun tahu. Tanpa perlu ada penghakiman setelah aku melampiaskan segala amarah dan emosiku. Hanya saja, bagiku itu tidaklah mungkin. Jika pun mungkin, hanya kebetulan saja. Seperti yang terjadi kala itu. Aku memasuki ruang yang nyaris mirip dengan imajinasiku yang kubangun tiap kali hendak tidur. Di sana—aku menyebut tempat itu dengan sebutan, di-sini—aku bebas semauku. Marah-marah, tak ada yang melarang. Mengumpat sumpah serapah, juga tak ada yang mencaci. Sungguh, tempat itu menyenangkan, menurutku. Bahkan, saat aku bercerita apa pun itu, tak ada satu pun orang mendengar, dinding di sana tak bertelinga. Tak seperti dinding di tiap-tiap bangunan di sini. Damai, tenteram, dan tak ada sekat di sana. Ruang gerak pun bebas. Hanya saja, barangkali itu hanyalah sekadar mimpi. Buktinya, tiap kali aku ke sana, aku selalu dalam keadaan tertidur. Lalu, saat semuanya benar-benar selesai di sana, barulah kemudian aku terbangun. Andai saja aku bisa ke sana dengan keinginanku, bukan dengan tidak kesengajaanku. Namun, apa di kata. Kurasa, mungkin tempat itu akan mempersilakanku saat aku benar-benar membutuhkannya. Tepatnya, di saat aku lelah dan ketika gamang dan sunyi menyergap diriku dengan brutal.

Mataku lalu terpejam. Tak berjarak lama, aku mendapati Virama di sampingku. Sontak saja aku terkejut, langsung bangun dari tidurku dan menghardiknya, seraya dalam diam memikirkan pertanyaan tentang bagaimana dia bisa tahu rumahku? Bagaimana juga dia bisa masuk ke dalam rumahku? Apalagi pintu rumah sudah kupastikan dua kali, sudah benar-benar terkunci. 

"Tenang saja, aku tidak ada niatan mencuri. Aku ingin tahu bagaimana keadaanmu saja," ujar Virama yang mencoba menenangkanku. Duduk kemudian dia di atas ranjangku.

Aku diam saja.

"Tak perlu kau menaruh curiga kepadaku. Aku orang baik-baik, sama sepertimu."

Lihat selengkapnya