Ruang Sendiri

Terajaana
Chapter #5

Bab 5

Jodoh Untuk Sahabatku

Oleh : Terajaana

 

“Barakallahu laka wabaraka’alaika wajama’a bainakuma fi khair,” doa untuk pengantin, bergema memenuhi seluruh ruangan masjid manakala para saksi menyatakan ‘SAH!’ atas ikrar akad nikahmu. Wajahmu yang tadi terlihat tegang dan berkeringat, kini nampak lega dan bahagia. Harusnya, aku turut berbahagia. Tapi, entah kenapa, ada perasaan sedih dan hawatir dalam hatiku. Bagaimana jika aku menyesal dikemudian hari karena merelakanmu untuk dia.

Rasanya, baru kemarin saat kau diam-diam menyelipkan cokelat di meja kerjaku. Pernah juga, kau simpan boneka disana. “Surprise,” katamu.

Semenjak itu, kau semakin sering menemuiku. Bertemu Paijo˗sahabatmu yang juga rekan kerjaku, selalu jadi alasanmu. Aku kagum dengan kegigihanmu yang tidak pernah lelah mendekatiku. Kau, selalu punya cara dan alasan untuk itu."Namanya juga usaha,” elakmu.

Pernah, sekali, kau tiba-tiba muncul didepan pintu kelasku. Kebetulan, bapak dosen yang harus ngajar saat itu, izin tidak hadir. "Alia, ini dimakan, ya!" Katamu, lalu pergi begitu saja setelah menggantung satu kantong snack dan softdrink di knop pintu kelas.

Mendengar kau menyebut namaku, teman-teman sekelasku tampak heran. Beberapa diantara mereka mulai saling berbisik. Aku rasa, apa yang ada di pikiran mereka tidak jauh beda dengan apa yang aku pikirkan. Bagaimana bisa, seorang Alia yang katrok, bermuka sendu dan tidak menarik ini, tiba-tiba kedatangan laki-laki sepertimu.

***

Saat itu, malam minggu. Malam spesial buat muda-mudi yang sedang jatuh cinta, untuk menghabiskan waktu bersama. Setelah beberapa bulan berlalu, kau tak kunjung juga menyerah dengan sikap dinginku. Akhirnya, malam itu aku putuskan menerima ajakanmu untuk jalan berdua. Entah apalah namanya, dating mungkin. Karena kau tidak pernah membahas dan memperjelas jenis hubungan apa antara kau dan aku selama ini.

Kau membawaku ke taman di tengah kota. Gemerlap lampu dari pedagang kaki lima yang memenuhi sepanjang pintu utama taman, meramaikan suasana malam. Beberapa pasangan muda-mudi tampak asik menikmati jajanan mereka sambil duduk lesehan di tikar yang memang sudah disediakan oleh para pedagang.

“Mau makan apa, Al?” tanyamu sambil melihat sekeliling yang lebih mirip pasar malam ketimbang taman.

“Apa ya? Belum laper, sih. Gimana kalo kita ngopi aja, dulu?”

“Ide bagus, yuk! Gue tau tukang kopi yang enak,” katamu sambil meraih tanganku. Reflek, aku tangkis genggaman tanganmu dengan kasar. Jelas sekali, kau kaget. Begitupun, aku. Kau menatapku heran dan aku menatapmu panik.

“Maaf, Dre, gue…” Aku benar-benar panik dan entah kenapa ada rasa takut yang tiba-tiba muncul. Padahal, aku yakin betul, aku aman bersamamu.

“Gue, yang minta maaf, Al. Gak apa-apa. Yuk, nanti kopinya keburu dingin.” Kau berusaha bercanda untuk mencairkan suasana. Dan itu berhasil.

“Bagaimana kopinya keburu dingin, dipesan saja belum.” Gerutuku sambil berjalan cepat mengikutimu yang sudah lebih dulu pergi meninggalkanku.

Lihat selengkapnya