Maesa
Keheningan itu membara ketika mereka semua keluar. Aku ditinggal sendirian di ruang tamu yang berbau melati karena tiba-tiba Ronan merasa lebih berkonsentrasi jika seluruh rumah berbau bunga putih itu.
Aku duduk di sofa, memandang sisa kebisingan yang ditinggalkan mereka. Rasanya menyakitkan mengetahui bahwa aku tidak pernah dibutuhkan dalam hidup orang-orang yang sangat kusayangi. Ketika aku pergi, mereka melanjutkan hidup seperti biasa. Dan, ketika aku kembali, rasanya aku dipaksa masuk ke rutinitas mereka. Menjadi orang asing di antara orang-orang yang (kupikir) sangat kukenal.
Tidak ada yang bisa kulakukan lagi selain menikmatinya. Berusaha menikmatinya.
Semua hal ini membuatku berpikir lebih baik untuk memutuskan sekarang. Lalu, aku akan memberitahukan Ronan.
Akhirnya akan sama, kami bertengkar. Ronan selalu mencemooh segala niatku untuk berhenti dari pekerjaan yang kujalani, dan aku mengkritiknya karena tidak pernah mendukungku.
Dia tidak pernah memiliki hal yang kumiliki. Itu sebabnya dia tidak mengerti. Pekerjaannya sebagai penulis, membuat kepalanya buntu oleh kisah-kisah dan perasaan-perasaan fiksi. Dia membangun segalanya di atas kertas putih, melalui laptop. Lalu, dia bertindak seolah dia lelaki paling tahu segalanya. Bahkan, perihal keputusanku.
Aku ingin bersama mereka. Di rumah ini. Membuat rutinitasku sendiri, bukannya dipaksa masuk ke rutinitas mereka yang melelahkan.
Namun, keheningan itu membara dan membakarku hidup-hidup dari dalam. Mempertanyakan tujuan itu.
Benarkah ini yang kuinginkan?