Ramon
Ibu memelukku ketika bangun. Tangannya yang dingin menembus lapisan bajuku, yang membuatku merasa nyaman.
“Bangun,” bisiknya.
Aku merasa hampa sekaligus bahagia.
“Bu?” bisikku.
Ibu mengeratkan pelukannya. “Bangun.”
Mataku mulai berair, aku menangis tanpa suara, membiarkan air mataku membasahi pipi, leher, dan seprai bantal.
Dalam tangisan itu, tubuhku bergetar, dan bibirku terasa beku.
Aku tetap berada dalam posisi itu sampai ibu pergi, meninggalkan perasaan nyata yang menendang perutku berkali-kali.
Ketika mendengar Ayah memanggil, aku menghapus air mata di wajah lalu memejamkan mata dan merapalkan doa agar Ayah menjauh. Pergi. Meninggalkanku sendiri.
Ayah tidak pergi, tidak pernah.
Dia akan membayangi seluruh kehidupanku selamanya jika aku tidak berbuat hal yang sama seperti kakak: pergi dari rumah. Meninggalkan semua di belakang, khususnya Ayah. Dia menjengkelkan dan tidak pernah menjadi orang yang ingin kusayangi.
Terkadang, aku bertanya-tanya bagaimana rasanya meninju wajahnya yang berkeriput untuk melihat tatapannya. Dia pasti akan bertanya-tanya seumur hidup kenapa anak-anaknya menjadi bajingan tanpa melihat perbuatannya sendiri yang membuat kami seperti ini.
Aku sedang duduk di meja kantin ketika memikirkan hal ini: bagaimana kalau aku terjebak selamanya bersama Ayah? Merawatnya ketika dia tidak lagi mampu berjalan karena hanya aku yang dia punya.
Suatu hari nanti, mungkin secara tidak sengaja aku akan membunuh Ayah. Saat aku terlalu marah kepadanya, aku akan kehilangan kendali, dan menghabisi nyawanya. Lalu, aku akan menatap mayat itu.
Apa yang akan kurasakan?
Akankah aku menyesal?