Maesa
Lukisan Psikhe yang berada dalam gendongan Eros membuatku luluh. Aku menatap mata Psikhe yang terpejam, tetapi memancarkan kesedihan serta kebebasan secara bersamaan. Kecantikannya sedikit tersamarkan oleh sayap Eros. Sayang sekali dalam kisah mereka, mereka berakhir bersama. Orang-orang berpikir itu akhir yang bahagia. Menurutku, itu tragedi.
Ini lukisan ibu yang paling membuatku tersentuh. Cara ibu memilih warna-warna gelap menggambarkan kalau dia juga menganggap akhir kisah cinta Psikhe dan Eros merupakan tragedi (aku menyimpulkannya begitu).
Lukisan ini lukisan terakhir yang aku miliki. Semua lukisan ibu sudah dilelang tahun lalu. Hasil lelang itu menghasilkan terlalu banyak uang sehingga rasanya tidak mungkin habis meskipun aku menghambur-hamburkannya.
Aku ingin memutuskan segala hubungan dengan ibu, termasuk semua lukisannya yang selalu berbau Yunani Kuno.
Namun, aku tidak bisa melepaskan lukisan yang satu ini.
Rasanya ibu melukiskan masa depanku di sini bahkan saat aku masih dalam kandungannya.
Aku meletakkan lukisan ini di kantorku, terpajang di samping meja, mengawasiku setiap saat. Maksudku, mengintai.
Aku paling takut dengan tatapan Eros, dengan ketampanannya yang seakan dijadikan lelucon oleh ibu. Di dalam lukisan itu, dia menunduk memandang Psikhe, tetapi jika aku memperhatikan lebih baik, aku melihat bola mata Eros terpaku pada satu momen—seakan dipotret saat dia mau menengadah. Beku di saat yang tepat.
Ibu sudah pasti membenci Eros.
Aku selalu ingat hari ketika ibu membawa kanvas-kanvasnya ke kebun belakang, lalu membakarnya. Wajahnya yang terpantul cahaya api memunculkan perasaan traumatis yang masih kuingat sampai saat ini. Ibu menoleh padaku waktu itu, air mata mengalir di kedua pipinya. “Eros sialan,” katanya.
Dulu, kupikir ibu sedang memaki temannya yang bernama Eros. Tapi, seberapa ajaibkah ibu sampai bisa berteman dengan dewa cinta itu?
Tidak, ibu sedang memaki takdirnya yang harus mencintai ayah. Sehingga dia menderita dan sengsara.
Lukisan ini, secara tidak langsung menjadi awal aku mengenal keluargaku. Tepat di mata Psikhe yang terpejam, seperti putri tidur.
Gina masuk ke ruangan ketika aku menurunkan lukisan itu dan menaruhnya di lantai. Dia tampak terkejut. “Ada masalah?” tanyanya.
Ciri khas menyapa Gina selalu seperti itu. Dia memulai dengan, “Ada masalah?” atau, “Ada yang harus kulakukan?” Seolah kedatangannya merupakan pertanda ada masalah dan dia harus memastikan hal tersebut, selalu.
Aku menggeleng sambil menunjuk lukisan ibu dengan dagu. “Aku akan menyingkirkannya.”
Gina, seperti biasanya tampak mengetahuinya. Dia seperti sel otakku yang tumbuh menjadi manusia dan menjadi mata-mata dalam pikiranku. Dia mengetahui segalanya, bahkan ukuran celana dalamku.
“Oke, mau kubantu?”
Aku duduk di kursi. “Bukan itu alasanku memanggilmu ke sini, Gin.”
Gina juga duduk di kursi, dia mengeluarkan rokok ketika merasa keadaannya tidak terlalu serius. Saat aku mengatakan akan mengadakan konser terakhir, Gina menjatuhkan rokoknya, lalu menginjaknya. “Keputusan bagus,” katanya. “Aku akan mengaturnya untukmu.”
Dia memang harus mengatur segalanya untukku. Dia manajerku. Dan, akan kembali menjadi kakakku ketika aku berhenti menjadi penyanyi nantinya.
“Ronan bagaimana?” tanya Gina. “Aku tidak mau dia meneleponku malam-malam untuk membujukmu berubah pikiran.”
Seperti halnya semua orang yang kukenal, Ronan juga menghubungi Gina jika ingin membuatku mematuhi perkataannya. Gina seperti tombol yang menghidupkan akal sehat dalam diriku. Aku tidak tahu kenapa, ketika Gina mengatakan suatu usulan, aku akan menyetujuinya.
“Aku sudah memberitahukannya hal ini.” Itu tidak cukup, aku tahu. “Dia tampak ... marah,” lanjutku. Sebelum Gina mengatakan pendapatnya, aku melanjutkan, “Tapi, Gin. Aku akan tetap melakukannya.” Aku menatap Gina, matanya tampak seperti kumpulan mata air. “Ini terasa sangat—“
“Penting,” lanjut Gina.
Dia memang tahu segalanya tentang aku.