Ronan
Dia berdiri di samping mobil menunggu anaknya keluar dari gerbang. Sambil menunggu, dia memperhatikan interaksi para orang tua dengan anak-anaknya di sekitarnya. Semua anak-anak itu tampak baik dan sopan pada orang tuanya. Mereka tidak memandang orang tua mereka seperti cara Ramon memandangnya.
Mungkin, ada yang salah dengan caranya membesarkan Ramon. Atau, mungkin Ramon memang terlahir dengan karakteristik seperti itu. Mungkin ada gen ayahnya yang menempel pada anak itu, membuatnya menjadi bajingan kecil.
Anak itu terlihat berjalan ke arahnya di kejauhan. Ada seorang gadis yang mengikutinya, sepertinya berbicara dengan Ramon. Namun, Ramon terus berjalan lurus tanpa menoleh. Ronan menegakkan tubuhnya, menatap peristiwa itu lebih mendetail.
Ramon sepertinya tahu ayahnya memperhatikan, sehingga dia berhenti berjalan dan mengatakan sesuatu pada si gadis. Gadis itu tampak terkejut dan marah. Dia pergi dari hadapan Ramon dengan wajah memerah.
Ronan berjalan mendekati mereka, Ramon juga berjalan cepat ke arah ayahnya. Ketika jarak mereka sudah dekat, Ramon berkata, “Ke mobil, Ayah!”
Ronan menatap punggung si gadis yang menghilang di balik bangunan sekolah. “Siapa temanmu itu?”
Ramon melewatinya ayahnya, kedua tangannya terkepal di samping badan. “Ke mobil!”
Rasanya peran mereka tertukar sekarang. Ramon terlihat seperti orang dewasanya di situ, memerintah dengan bentakan. Ronan mengikuti perannya yang lunak.
Ketika sampai di dalam mobil, Ramon meledak. “Sudah kukatakan berapa kali, Ayah jangan ikut campur segala urusanku! Ayah kenapa sih?”
Ronan mengeraskan rahang. “Jangan berbicara seperti itu pada Ayahmu,” katanya tenang meskipun darahnya mendidih.
Ramon di sampingnya terus meledak, tidak tahu bahwa kesabaran Ronan sudah berada di puncak kepala. “Aku benci sama Ayah!”
Tangan Ronan terangkat dan mendarat di pipi anaknya dengan sangat cepat, menyebabkan bunyi tamparan yang keras. Dia berani bersumpah, itu pertama kalinya dia menampar anaknya. Dia tidak tahu bunyinya akan sekeras itu. Dia juga tidak tahu rasa sakit seperti apa yang diderita Ramon.
Ramon memegang pipinya sambil bernapas cepat, masih memproses kejadian itu di otaknya. “Ramon,” kata Ronan pelan. Hanya itu yang bisa diucapkannya sekarang. Segala kata-kata serta kalimat melebur menjadi satu kata, nama anaknya.
Ramon membuka pintu mobil lalu berjalan keluar.
Itu sudah cukup.
Ronan menangis di dalam mobil. Entah menangisi apa.