Ramon
Aku duduk di halte bus. Memandang orang-orang berlalu-lalang dengan segala macam ekspresi. Terkadang, salah satu dari mereka bertanya apa aku tersesat, dan aku hanya menjawab dengan pelototan. Aku tidak tahu kenapa semua orang dewasa selalu ingin ikut campur urusanku, urusan duniaku. Bukan dunia orang dewasa.
Saat langit menggelap, aku tahu ayah sedang mencariku. Sebentar lagi dia mungkin akan menemukanku, lalu meminta maaf.
Itu pertama kalinya dia memukulku, dan akan ada pukulan-pukulan lainnya di masa yang akan datang kalau kali ini dia sudah bisa membuat pipiku memar.
Seharusnya itu membuatku takut, memang iya. Namun, perasaan tertantang jauh lebih menguasaiku mirip salah satu karakter game-ku yang berhasil menguasai wilayah orang lain.
Lampu-lampu mulai dinyalakan di jalanan, juga di halte.
Orang-orang yang berlalu-lalang mulai berkurang, tidak ada lagi yang menunggu bus di sampingku, keadaan menjadi tidak terlalu bising lagi.
Lalu, aku melihat ibu di seberang jalan. Dia memakai bajunya yang norak, yang selalu membuatku ingin menjerit padanya. Dia menyeberang dan berdiri di depanku. Tampak sangat hidup.
“Pulanglah, Ramon,” katanya dengan lembut.
Aku menoleh ke kanan dan kiri, hanya ada seorang gadis kuliahan yang berdiri di dekat halte, menunggu bus. Dia berdiri beberapa meter jauhnya dariku. Apa dia akan tetap mendengar suaraku?