Ruang Sunyi

Sayyidatul Imamah
Chapter #7

7

Maesa

Aku berdiri di ambang pintu kamar Ramon, anak itu sedang bermain game di laptopnya. Tidak menyadari kehadiranku.

“Ramon, kakakmu akan balik ke asrama,” kataku.

Ramon tidak menjawab, suara bising dari game-nya mengalahkan suaraku. Aku tetap berdiri di ambang pintu, tidak mau masuk lebih jauh. Ada sesuatu yang menahanku, entah apa. Mungkin kemarahan Ramon. Dia selalu marah kalau Ronan atau Roman masuk ke kamarnya, dia juga pernah berteriak padaku karena masuk ke kamarnya ketika dia tidak ada. Dia bilang itu pelanggaran privasi.

Jadi, aku tetap bertahan di ambang pintu sambil mendengarkan bunyi game yang dimainkan Ramon. Ketika dia menghentikan permainannya, dia berteriak, “Aku tidak mau ikut!”

Aku menarik napas dalam. “Kita akan makan malam di luar se—“

“Aku bilang tidak mau ikut!”

“Kamu tidak bisa di rumah sendirian.”

“TIDAK MAU IKUT!” Sambil mengatakan itu, dia melemparkan tetikus yang dipegangnya ke arahku. Membuatku kaget dan melompat mundur.

Roman yang mendengar keributan itu dari kamarnya, keluar dan menghampiriku. Dia memandang tetikus yang berada di dekat kakiku. “Ramon!” teriaknya.

Aku meremas lengannya, mengirimkan perasaan tenang yang kuharap bisa sampai. “Tidak apa-apa, Man. Kami sedang ... berbicara.”

Ramon memainkan game-nya lagi tanpa menoleh pada kami. Roman sudah melangkah ke arahnya ketika aku menarik lengannya dan berkata, “Roman, selesaikan kemas-kemasmu.”

Roman mengeraskan rahang, dia menoleh padaku. “Lain kali aku akan kasih pelajaran kepada keparat kecil itu, Bu.”

“Jaga cara bicaramu,” kata Ronan sambil membawa kunci mobil di tangannya. “Ramon tidak mau ikut?”

Aku mengangguk. Ronan menaruh kunci mobil itu di tanganku tanpa sedikit pun menyentuh kulitku, seakan itu menunjukkan kalau dia masih marah padaku. “Kalau begitu, aku yang jaga dia di rumah. Kamu yang antar Roman.”

Roman menatap kami berdua bergantian. “Yah, itu ide bagus,” kata Roman. Dia langsung berbalik ke kamarnya untuk menyelesaikan mengemas baju. Aku memandang Ronan, tetapi dia langsung berjalan ke dapur. Aku mengikutinya.

“Kita akan terus seperti ini?” tanyaku.

Ronan tidak berbalik, tidak juga menjawab. Ketika dia menghadap panci entah untuk masak apa, aku memeluk pinggangnya dari belakang. “Maaf, Ron.”

Ronan, dengan cepat melepaskan tanganku dari pinggangnya.

“Bukan seperti itu lagi caranya menyelesaikan masalah, Sa,” katanya dengan nada suara yang dingin dan berjarak.

Roman menyetir mobil dengan pelan karena ada aku di sampingnya. Sesekali dia bersiul ketika kami tidak bicara, dia yang selalu memulai percakapan, menghidupkan suasana.

“Nanti Ibu mau mampir ke galeri?” tanyanya.

Aku menggeleng. “Buat apa aku ke sana?”

Roman mengangkat bahu. “Barangkali kangen lukisan nenek.”

“Kenapa harus kangen, Man? Itu hanya benda mati.”

Dia tergelak dengan suara berat. “Yang benar saja, Bu! Lukisan nenek lebih hidup dari sebagian orang yang kukenal.”

Aku ikut tertawa, membenarkan perkataannya.

“Kamu sudah punya pacar?” tanyaku.

Roman pura-pura kaget dengan menunjukkan ekspresi berlebihan. “Apa-apaan itu! Tiba-tiba sekali seorang Maesa Rahayu menanyakan soal perempuan pada anak laki-lakinya! Jangan-jangan Ibu adalah agen penghancur jiwa jomblo seorang anak muda!”

Lihat selengkapnya