Ronan
Anak dan ayah itu makan tanpa bicara di meja makan saat Sabtu siang. Tidak ada yang melakukan kontak mata atau komunikasi lainnya. Hanya terdengar dentingan sendok di piring atau kunyahan di mulut. Mereka terlihat seperti dua orang asing yang tanpa sengaja bertemu.
Ronan yang pertama memecah kecanggungan itu ketika Ramon terlihat sudah selesai makan. “Mau ikut Ayah membeli bahan makanan, Mon?”
Ramon tidak mendongak. Namun, dia mengangguk.
Anggukan kecil itu membuat Ronan bahagia dan lega. Itu tanda kalau anaknya juga mau berdamai.
Setelah itu, mereka berada di mobil menuju pusat perbelanjaan.
Di mobil, hanya musik yang terdengar. Ramon terus-menerus menatap keluar jendela, sedangkan Ronan pura-pura fokus ke jalanan, padahal dia sedang memutar otak untuk memulai percakapan. Dia menjadi bingung dan takut menyinggung perasaan Ramon. Tapi dia juga ingin hal buruk yang terjadi kemarin cepat terselesaikan.
“Ayah minta maaf.” Hanya itu yang mampu dia ucapkan. Ramon tidak menanggapi, tetap menatap lurus keluar jendela. “Tamparan itu berlebihan. Seharusnya Ayah tidak melakukannya.” Itu sikap lunak. Sangat lunak. Kelunakan itu menjadi berbahaya karena akan membuat Ramon yang merasa berkuasa. Tapi Ronan tidak mau memikirkannya, dia hanya ingin Ramon memaafkannya, satu-satunya anaknya yang tersisa, yang mungkin masih bisa dia datangi pernikahannya. “Kamu mau maafin Ayah?”
Ramon menatap bayangan wajahnya di jendela, tampak tidak mau menanggapi. Pada akhirnya dia berkata pelan, sangat pelan. “Iya.”
Ketika sampai di pusat perbelanjaan, anak dan ayah itu berjalan berdampingan dengan Ronan yang mendorong kereta belanja. Mereka sudah membeli setengah dari bahan makanan yang harus dibeli, dan Ronan merasa hanya ini saat yang tepat untuk bertanya pada Ramon.
“Kamu tahu tentang kakakmu?”