Ramon
Aku sedang duduk di kantin ketika melihat gadis itu datang dan duduk di depanku. “Aku mau kita mengerjakannya bersama.”
Dia gigih, itu yang kutahu. Mata kelerengnya terus menatapku, menantang. Aku membuang muka ke arah lain. Berharap dia pergi saja. Enyah dari hadapanku.
Lalu, aku melihat Elang melambai dari ujung kanan kantin. Aku selalu mengagumi Elang karena dia terlihat kuat dan unik. Dia dan teman-temannya selalu membuka kancing seragam yang memperlihatkan kaus hitam bergambar tengkorak. Aku ingin bergabung ke kelompok mereka agar tidak ada yang menganggapku remeh. Tapi orang seperti aku mungkin tidak akan pernah masuk ke kriteria anggota kelompoknya.
Sekarang, dia tiba-tiba melambai ke arahku.
Aku menunduk untuk memandang seragamku. Apa yang membuat Elang tiba-tiba tertarik padaku? Apa aku memakai sesuatu yang menarik?
Sebelum aku menemukan jawabannya, Elang berdiri dan berjalan ke arah kami. Si gadis kelereng memutar bola matanya.
“Hai, Dra. Lagi gangguin anak orang ya?” kata Elang setelah sampai di meja yang ditempati aku dan si gadis kelereng. Dia duduk di sampingku tanpa melihatku. Dia fokus memandang gadis itu.
Oh, dia melambai pada si gadis.
Kenapa ... kenapa orang sekeren Elang harus tertarik pada gadis seperti dia?
Si gadis kelereng menatapku. “Aku boleh minta nomormu?”
Elang bertepuk tangan heboh, teman-temannya datang menghampiri. Tiba-tiba meja kesukaanku (yang selalu kutempati sendirian jika ke kantin) dipenuhi anak-anak keren. Mereka mengerubungi meja kami, dan menanyakan apa yang terjadi sampai Elang bertepuk tangan seperti itu. Anak-anak di kantin melihat ke meja kami. Sepertinya merasa tertarik juga.
Si gadis kelereng menatap Elang untuk pertama kalinya. “Pergi, Lang. Bawa temen-temen idiotmu.”
Ada seruan panjang dari masing-masing mulut teman Elang. Elang merangkul bahuku. “Jangan gitu dong, Dra. Kan aku lagi melindungi kepolosan anak cupu ini.”
Aku terkejut mendengar itu. “A-aku tidak cupu,” bisikku.
Elang dan seluruh temannya memandangku. Elang meralat ucapannya. “Anak baik! Itu maksudku.”
“Pergi, Lang.” Si gadis kelereng tidak tampak marah, hanya jengah.