Ronan
Ramon tampak terkejut ketika melihat kakaknya berdiri di ambang pintu kamarnya untuk menemuinya. “Wah, apa ini?” tanya kakaknya. “Oh, adikku!” katanya lalu memeluk Ramon. Ramon berusaha berkelit tetapi badan Roman lebih besar darinya sehingga dia hanya bisa berteriak menyuruhnya pergi.
Setelah puas menggoda Ramon, Roman duduk di ranjang adiknya. “Masih bau dan pendek,” katanya. “Berapa peringkatmu di sekolah, Mon?”
Ramon tampak tak peduli. “Kenapa Kakak di sini?”
“Apa? Kamu tidak senang aku pulang?”
Ramon duduk di kursi. “Kenapa tiba-tiba pulang?”
“Karena ada kepentingan mendadak, nanti aku pergi lagi kok, tenang aja.”
Ramon memandang kakaknya. Dia terlihat lebih tua dengan bulu-bulu halus yang memenuhi dagunya, juga bentuk tubuhnya yang terlihat gemuk oleh otot. “Kakak sampai kapan di sini?”
Roman berdiri dan berkeliling untuk melihat-lihat kamar adiknya. “Sampai urusannya selesai.”
“Urusan apa?”
“Semacam urusan orang dewasa.”
Ramon mendelik. “Kakak kehabisan uang ya?”
Dengan tiba-tiba, Roman melingkarkan lengannya di leher Ramon lalu mencekiknya. Ramon menepuk-nepuk lengan kakaknya, minta dilepaskan. “Minta maaf,” kata kakaknya.
“Maaf!”
Roman melepaskan lengannya dari leher Ramon. Lalu, Ramon berdiri dan menendang kaki kakaknya. Mereka saling bergulat di kamar Ramon. Roman dengan badan besarnya mampu membuat adiknya berteriak kesakitan, dia tertawa puas. Dia menggelitiki adiknya sampai tertawa juga. Tawa mereka berdua mengisi seluruh ruangan dan sampai ke telinga ayah mereka yang sedang memasak untuk makan malam.
Ronan tersenyum hangat mendengar suara tawa anak-anaknya. Dia lebih bersemangat memasak dan bersyukur sudah membeli banyak bahan makanan sebelum Roman datang. Sekarang, dia merasakan ada kehidupan di rumah ini.
Setelah selesai memasak, dia memanggil anak-anaknya. Mereka datang dengan patuh. Rambut Ramon berantakan dan Roman kelihatan puas menjaili adiknya. Mereka bertiga makan dalam hening, sampai Ronan berkata, “Ayah senang kalian di sini.”
Tidak ada yang menanggapi. Ramon dan Roman fokus memakan makanannya. Mereka terlihat tidak mendengar apa pun yang dikatakan ayahnya, seolah ayahnya tidak hadir di sekitar mereka. Ronan tidak terlalu kecewa melihat itu, dia memakluminya. Tidak mungkin dalam satu hari keluarganya akan langsung baik-baik saja setelah hancur berkeping-keping selama bertahun-tahun.
Setelah semua orang makan, Ronan mencuci piring dan duduk di sofa. Roman juga duduk di sofa, tidak pergi ketika ayahnya bergabung bersamanya menonton televisi. Ketika malam semakin larut, Roman bertanya pada ayahnya. “Apa yang kalian tengkarkan waktu itu?”
Ronan menoleh. “Apa?”
“Kalian. Di mobil. Ramon cerita kalau kalian hampir kecelakaan karena bertengkar setelah selesai menonton pertunjukanku di kampus.”
Ronan langsung mengingatnya. Dia mengeraskan rahang, mengira bahwa topik itu tidak akan dibahas secepat ini. Dia masih merasa itu masih tidak pantas dibahas bersama anak-anaknya. Mengingat, Maesa sudah pergi.