Ramon
Kakak terlihat kaku saat menyetir, aku yakin sudah lama dia tidak pernah berada di belakang kemudi. Aku dengan ragu memandang ke depan untuk berjaga-jaga jika kakak membahayakan nyawa kami.
Seharusnya dia tidak usah repot-repot mengantarkanku, tetapi ada untungnya juga bukan ayah yang mengantar karena akan repot jadinya kalau ayah melihat rumah siapa yang kudatangi. Rumah si gadis kelereng. Dia mengirim pesan satu jam yang lalu mengatakan kalau aku harus datang dan membantunya melukis karena itu adalah tugas kelompok. Aku tidak menanggapi pesan itu sehingga dia menelepon. Aku juga tidak mengangkatnya. Kemudian, nomor tak dikenal meneleponku. Kali ini aku mengangkat karena kukira itu bukan si gadis kelereng. Dan, memang bukan. Itu Elang.
“Datang, bocah.”
Tanpa banyak tanya, aku langsung datang setelah diberitahu alamat rumah si gadis kelereng. Aku bahkan tidak penasaran bagaimana cara Elang mengetahui kalau si gadis kelereng ingin aku ke rumahnya untuk mengerjakan tugas kelompok. Kalau Elang menyuruhku datang, aku akan datang. Semudah itu.
Ketika lampu jalanan berubah merah, kakak menghentikan mobil terlalu jauh dari mobil di depan sehingga ada sepeda motor yang mengisi ruang di depan kami. Aku memandang punggung orang di atas motor itu ketika kakak bertanya. “Berapa umurmu?
Aku menoleh, tetapi tidak menjawab.
Kakak menoleh padaku. “15? 17?”
Dia payah. Aku kembali memandang lurus ke depan.
“Serius, Mon. Berapa umurmu?” tanyanya lagi, terdengar tidak sabar.
Aku mengangkat bahu. “Kenapa?”
“Pastinya kamu sudah cukup dewasa untuk tidak merasa ke-trigger kan?” Dia mengatakannya dengan sedikit terseleo yang samar, aku mengenalinya karena dulunya dia selalu banyak bicara. “Bener kan?”
Aku menoleh padanya. “Apa sih?”
Kakak menarik napas, lampu hijau menyala. Dia kembali menjalankan mobil lalu menepi di tempat sepi. Suasana menjadi agak aneh ketika dia mengetukkan jari di atas kemudi. Aku ingin menyuruhnya agar kembali menghidupkan mesin karena aku ada tugas kelompok. Namun, dia mendahuluiku. “Ini tentang Ibu,” katanya. “Jadi, aku punya ide agar ada konser peringatan untuk Ibu. Tante Gina mau membantuku, dia juga setuju. Lalu, Paman Redi, kamu tahu dia? Dia teman nenek kita, aku tahu seharusnya tidak memanggil Paman karena dia sudah setua kekek, jadi ... maksudku dia juga membantu kami dan juga memberikan banyak usul. Aku selalu ingin—“
“Katakan intinya, Kak.” Jantungku sudah berdetak cepat. Cara kakak menyebut ibu membuatku ketakutan.
“Jadi ... ada surat kabar yang akan menerbitkan berita tentang Ibu, dan beberapa stasiun televisi juga. Kamu tahu kalau Ibu jadi sangat terkenal sejak....” Kakak mengusap rambutnya dengan gusar. “Jadi, di surat kabar itu ... seseorang akan menulis tentang Ibu. Tentang....” Dia tampak berusaha mati-matian untuk tidak meledak di dalam mobil. Aku bisa melihat seluruh tubuhnya bergetar. “Ibu tidak kecelakaan,” katanya begitu cepat, sangat cepat sampai aku harus memproses kata-kata itu kembali di otakku.
Aku diam. Seharusnya aku menghentikan kakak, seharusnya aku tidak diam.
“Ibu bunuh diri.” Dengan kecepatan yang sama kakak mengatakannya. Dia meletakkan kepalanya di atas kemudi. “Kamu harus mengetahuinya sebelum surat kabar itu terbit.”
Keheningan menguasai mobil dan berputar-putar di atas kepala kami, membuatku tidak bisa bernapas. Aku ingin keluar dari mobil. Aku ingin pergi dari sini.
Gadis kelereng itu yang membukakan pintu. Dia memandangku heran, mungkin melihat kantung mataku atau suasana yang kubawa. Namun, dia mempersilakanku masuk. Tidak ada orang tua yang menyambut kami. Rumahnya terasa nyaman, sangat nyaman sampai aku hanya ingin tiduran di sofa. Seluruh energiku tersedot ke dalam keheningan di mobil. Aku sangat lelah.
Lalu, ketika kami pergi ke belakang rumah si gadis kelereng aku melihat Elang sedang berjongkok di depan kanvas. “Bocah!” katanya. “Sulit sekali membawamu ke sini ya.”
“Pergi, Lang,” kata si gadis kelereng dengan nada jengkel.
Demi melihat Elang, aku tersenyum dan berusaha untuk melupakan apa yang terjadi di mobil.
“Aku punya ide untuk membuat lukisan pemandangan, kayaknya itu mudah.” Si gadis menunjuk cat-cat dan kanvas yang ada di lantai. “Menurutmu bagaimana?” Dilihat dari caranya mengatur kanvas serta cat-cat di sekelilingnya membuatku yakin kalau si gadis kelereng sudah putus asa dengan pekerjaannya. Itu sebabnya dia menghubungiku. Seharusnya dari awal kukatakan kalau melukis itu tidak mudah.
Elang menyingkir dari hadapan kanvas dan berdiri bersandar di dinding. Dia memandangku. “Voila!” katanya.