Maesa
Itu pertengkaran yang panjang.
Aku berdiri dekat meja rias, tanganku memegang ujung meja agar tubuhku tidak ambruk. Ronan mondar-mandir di depanku.
“Siapa!” pekiknya.
Aku mengusap mataku. “Ronan. Cukup.”
“Siapa?!”
Dia sudah mengulang pertanyaan itu selama puluhan menit sampai aku tidak tahan, sampai aku ingin keluar dari kamar dan meninggalkannya. Tapi dulu ibuku tidak pernah meninggalkan pertengkaran, meskipun ayah memukulinya sampai babak belur, ibu tidak menyerah. Dan, aku juga tidak akan menyerah. Apalagi Ronan belum menyentuhku sama sekali.
“Siapa, Sa? Siapa!” Ronan memekik, dia mendatangiku, berdiri tepat di depanku. “Siapa bajingan itu?!”
Kami melanjutkan pertengkaran di mobil. Aku sudah tahu kalau Ronan akan terus mengungkitnya. Dia akan menjadi gila kalau aku terus diam.
“Kamu tidak akan tahu dia, Ron,” bisikku. “Maafkan aku.”
Ronan mengangguk. “Jadi, siapa?”
Aku menggeleng, berusaha untuk tidak meledak. “Ron. Itu tidak penting.”
“Kenapa itu tidak penting?!” Ronan mundur sambil berteriak. “Karena laki-laki itu hanya memanggilmu sayang? Karena aku terlalu tua untukmu sekarang? Karena kamu mengira aku sudah tidak pantas jadi suamimu? Karena kamu lupa kalau sudah punya dua anak? Iya? Itu sebabnya ini semua tidak penting?”
Aku menangis.
Ronan mengusap wajahnya. “Siapa, Sa?” Suaranya bergetar. “Siapa?”
Setelah berusaha agar tidak ambruk saat itu juga, aku berbisik, “Penggemarku. Kami bertemu di konser terakhir kami—“
Ronan meninju dinding dekat kamar mandi. Tidak seperti di film-film, dinding itu tidak retak. Ronan meninjunya lagi. Lagi. Lagi. Terakhir, ketika dia menarik tangannya, aku bisa melihat kalau buku jarinya lebam dan lecet.
Aku tidak mau menghentikannya karena aku sudah tahu bagaimana meladeni orang-orang yang marah seperti kerasukan setan. Ayahku yang mengajarinya secara tidak langsung. Aku selalu mengamati pertengkaran orang tuaku, dan aku mempelajarinya. Jika ayah marah, ibu hanya mendiamkannya. Maka, yang bisa kulakukan sekarang hanya mendiamkan Ronan, dan tidak ikut campur dalam caranya mengatasi kemarahan itu. Karena, kemarahan itu biadab, itu kata ibuku.